Kisah nyata lukisan pencabut nyawa

Kisah mistis lukisan pencabut nyawa
Tiga belas tahun yang lalu, aku baru saja pensiun dari TNI AD dengan pangkat terakhir Mayor. Setelah itu, ekonomi rumah tanggaku jadi morat-marit. Dan pensiunku pun tak cukup untuk mebiayai sekolah anak-anak. Beruntung, aku mempunyai isteri yang ulet dan sabar. Hobi membuat kue sewaktu gadis dulu, kini dimanfaatkannya. Kue-kue itu dititipkan ke warung-warung langganannya. Bukan aku tak kasihan melihat kerja kerasnya. Tetapi aku sendiri mempunyai hobi melukis yang tak bisa diabaikan dengan begitu saja. aku belajar melukis pada seorang teman, pelukis senior kota bandung. Dan kini, hampir setiap hari aku nongkrong di studionya.

Dalam setahun, aku sudah mahir melukis apa saja. Mulanya, aku melukis wajah istri ku, lalu anak-anakku. Melihat hasil karyaku, teman yang juga guru lukisku berdecak kagum. "Kau berbakat untuk jadi seorang pelukis, Han. Lukisanmu sudah cukup sempurna dan mirip dengan aslinya," pujinya tulus. "Terima kasih, Tom,"jawabku dengan hati berbunga-bunga. Dan aku bertekad untuk berlatih sendiri di rumah. Hingga suatu hari, Budi, temanku, datang. Dia menyatakan bersedia untuk memperkenalkan karyaku pada peminat di pasar seni."Mas Han, ada teman pelukis dan juga memiliki kios di pasar seni. Siapa tahu, setelah melihat karya-karyamu, dia akan tertarik dan mau menjualnya. Dan katanya, bulan depan dia akan membuka pameran. Tapi, sekarang dia masih mencari pasangan pelukis yang bisa diajak kerja sama."

Aku langsung tertarik. Dan setelah makan siang, kami berangkat menuju pasar seni Saburai dengan menggunakan mobil milik Budiman. Di dalam mobil, hatiku telah dipenuhi anggan-anggan yang indah. Suatu hari kelak, setelah menjadi pelukis terkenal, aku akan membuka sebuah pameran tunggal yang spektakuler. Ketika sampai di pasar seni, Busiman langsung mengajakku ke sanggar lukis dan mengenalkanku pada Pak Ashari. Budiman pun langsung menceritakan maksud kedatangan kami. "Apakah dia membawa contoh lukisan itu?" Tanya lelaki itu dingin. "Ada pak, biar aku ambilkan sebentar," jawab Budiman cepat.

Dengan gerakan yang gesit, Budiman beranjak ke arah mobilnya dan membuka bagasi. Sebentar kemudian, dia sudah kembali dengan membawa contoh lukisanku. Pak ashari segera mengamati dan meneliti lukisanku dengan kening berkerut. "Sayang, lukisan ini belum sempurna. Warnanya masih pucat. Sudah berapa lama saudara menjadi pelukis?" Tanya dingin, sambil menyulut sebatang rokok."Kurang lebih baru satu tahun, pak," jawabku dengan pelan. "Pantas! Dan saya minta maaf sebelumnya, karena belum bisa menerima lukisan ini untuk menjadi pasangan pada pameran lukisan saya. Saudara harus lebih tekun dan serius lagi berlatih."

Aku diam, tidak menjawab. Memang kuakui, lukisan Pak Ashari sangat baik dan sempurna. Juga tampak lebih bersinar dan hidup. Sejak pertemuan itu, aku semakin giat berlatih di studioku. Hingga tiba-tiba, di suatu pagi yang dingin, datang keponakan istriku dari medan. Dia datang bersama kedua orang tua dan adiknya. Orang tua bayu adalah kakak istriku yang tertua. Mereka mengajak serta keluargaku untuk mengunjungi familinya yang tinggal di Kalianda.

Karena terus dipaksa, akhirnya aku ikut bersama mereka. Dan tak lupa, aku membawa peralatan lukisku. Sementara Dewi dan saudaranya sibuk mencari rumah familinya, aku meminta keponakanku, Bayu, untuk mengantarkanku menuju pantai Marina. Dan ketika kami telah sampai di bawah juntaian akar pohon beringin yang berdaun rindang dan sebuah batu besar di pinggir pantai, disitulah kami berhenti. Dan tak lama kemudian, Bayu pun mohon diri.

Sepeninggal keponakanku, aku segera menyiapkan peralatan lukisku. Kain kanvas lebar putih yang masih polos kuhadapkan ke pantai. Sementara aku sendiri menghadap ke laut. Pandangan mataku tak lepas dari batu besar yang terendam. Mulanya aku melukis bebatuan yang menonjol dengan kokoh. Kemudian laut dan selanjutnya ombak yang bergulung-gulung. Mata dan imajinasiku seluruhnya kutuangkan ke dalam lukisanku. Tanganku terus bergerak. Semakin lama semakin gesit. Aku merasa seperti ada kekuatan gaib yang menuntunku untuk terus melukis.

Dan ketika mataku melirik ke arah batu, aku terpekik kaget. Jantungku nyaris copot. Di atas batu besar itu telah duduk berselonjor seorang perempuan cantik. Dia mengenakan kain kemben yang berwarna hijau pupus keemasan. Di atas kepalanya ada tiara kristal berkilauan. Rambutnya hitam panjang, terurai sampai ke pinggang. Bentuk tubuhnya padat berisi. Sewaktu aku menatapnya, tiba-tiba dia tersenyum manis padaku.

Tanpa kusadari, hari telah sore. Aku merasakan hawa dingin meresap pada kaki. Rupanya air laut mulai pasang. Sebelum aku menyadari apa yang terjadi, beberapa pasang tangan kokoh menarikku ke atas. Ternyata separuh tubuhku telah terendam. Anehnya, aku sama sekali tidak menyadari semua itu. Benar-benar ajaib!

"Hampir saja Om Han tenggelam!" kata Bayu cemas. "Papa seperti orang gila saja! apa papa tidak tahu, air laut sudah mulai pasang?" Gerutu istriku dengan nada cemas. Dan setelah aku dibawa dan naik ke mobil, barulah aku merasakan kepalaku pusing dan tubuh begitu lelah. Dan malam itu, kami semua menginap di suatu penginapan yang cukup asri.

Ketika kami sudah kembali ke rumah, aku meneruskan lukisan yang belum selesai di studioku. Sebelum kembali ke medan, Bayu, keponakanku sempet melihat hasil lukisanku." Apakah Om han melukis perempuan yang muncul di atas batu besar itu?" Tanya bersemangat sekali. "Ya, aku telah melukisnya. Perempuan cantik itu memang ada. Sewaktu sedang melukis, tiba-tiba ia sudah muncul dan duduk di batu itu." Terangku.

Saat matanya menatap lukisan, Bayu tampak ketakutan. Pemuda ganteng berkulit putih bersih itu keluar dari ruangan dengan wajah sepucat kapas. Lalu, ia berkumpul kembali bersama-sama mereka. "Sorry, kalau tadi aku berbohong. Ha... Haa... Haaa...!" kataku sambil tertawa keras-keras dan berjalan mendekati mereka. Anehnya, tak seorang pun dari mereka ada yang terpengaruh akan suara tawaku. Setelah itu, pada semua orang kukatakan bahwa aku ingin melanjutkan lukisanku dan tak ingin diganggu.

Kini, aku duduk dengan tenang. Dengan tak mengenal lelah, aku melanjutkan pekerjaanku dari siang hingga malam. Istirahat pun kulakukan seperlunya, sepertinya ada desakan kuat untuk segera menyelesaikannya. Dua hari kemudian, Mas Darmawan dan keluarganya pamit untuk kembali ke medan. Dan sehari sebelumnya, kembali Bayu menemuiku di studio saat aku tengah asyik dengan pekerjaan ku.

"Om Han, Bayu ingin bicara sebentar," katanya, sambil menarik sebuah kursi dan duduk di depanku. Mendengar kata-katanya, aku menghentikan gerakan tanganku dan menoleh ke arahnya. "Saya punya firasat tak baik dengan lukisan itu. Menurut saya, sebaiknya Om tidak usah melanjutkannya," katanya sambil bangkit dari duduknya dan bersiap-siap hendak keluar dari ruang studioku.

"Gambar wanita di lukisan Om itu seperti hidup. kemarin malam, saya melihat seorang wanita  cantik turun dari ruangan ini. Wajahnya sama dengan wanita yang Om lukis itu," imbuhnya sambil berjalan. Kata kata Bayu membuatku tercenung. Kuamati sosok wanita yang kulukis dengan mata tak berkedip. Semakin lama dipandang, lukisan itu nampak seperti hidup. Apakah aku sedang bermimpi? tiba-tiba bibir wanita itu nampak menyunggingkan senyum manis padaku. Walaupun hanya sekejap, tapi aku sempat terkejut dibuatnya.

Dalam tempo seminggu, lukisan itu pun selesai. Aku berniat membeli pigura yang indah dan mengantungkannya di ruang tamu. Kupikir, uang pensiunku bulan depan lebih dari cukup untuk membeli pigura yang paling indah. Tetapi, angan-angan itu seketika buyar, tatkala aku mendengar teriakan istriku dari ruang tamu.

"Pa! Papa! Sini Pa!" bergegas aku keluar dari ruang studio, dan turun menemui istriku yang masih berteriak-teriak memanggilku. "Ada telegram dari medan, Pa! keponakan kita Bayu meninggal karena kecelakaan," kata istriku, dengan suara bergetar. Dengan segera kurebut kertas telegram yang sedang dipegang dan kubaca isinya. Ternyata, Bayu meninggal semalam karena kecelakaan sepeda motor, dan kami diharapkan untuk hadir pada pemakamannya.

"Uang tabunganku rasanya cukup membeli tiket pesawat untuk dua orang. Bagaimana, Papa mau ikut?" kata istriku sambil menangis.
"Tidak, sebaiknya kau saja berangkat dengan Arya. Mama tahu, aku paling takut berada di ketinggian;" dalihku.
"Hati-hati di rumah ya, Pa?" pesan istriku, sebelum naik ke pesawat.

Telah satu minggu istriku berada di medan. Aku tak tahu kapan dia akan kembali. Mungkin lusa, atau minggu depan. Siang itu, ketika sedang duduk di beranda, aku melihat sebuah mobil berhenti di depan pintu gerbang. Budiman tampak turun dari mobil dna melangkah ke arahku. Setelah berbasa-basi sejenak, ku ajak Budiman naik ke studioku. Kusingkap kain penutup lukisanku, dan kusuruh Budiman untuk melihatnya. Dia tampak terkejut.

"Sangat bagus dan sempurna! Siapakah wanita yang menjadi model Mas Han?" Tanya Budiman. Sementara matanya tak lepas menatap lukisan itu.
Setelah terdiam sesaat, aku pun menjawab," wanita itu bukan modelku. Itu hanya imajinasiku."
"Oh ya, apakah Mas Han berniat menjual lukisan itu?"
"Ya, tapi nanti setelah kulengkapi dengan pigura  yang bagus."
Setelah puas memperhatikan lukisanku, Budiman pun menutup kembali lukisanku dengan kain kasa yang semula menutupinya.
"Mas.., Mas Han boleh percaya, atau tidak. Aku punya firasat buruk dengan lukisan ini."

Aku terkejut dan memandang wajah Budiamn dalam-dalam. Sore itu, Budiman pulang dari rumahku dengan hati penuh harap. Berkali-kali ia mengatakan akan membeli lukisan itu. Sepertinya ia sangat penasaran untuk memilikinya. Sejak sore hingga pagi, kupandangi lukisan itu, dan aku berhenti memandanginya saat kurasakan mataku lelah dan mengantuk. Malamnya, aku memutuskan untuk tidur di studioku. Dan ketika aku terjaga, kembali kupandangi lukisan itu sepuas-puasnya. Sampai kemudian aku terlelap dan bermimpi. Dalam mimpiku, wanita yang berada di dalam lukisanku itu hidup dan membangunkanku. Ia menciumku, dan mengajakku bercumbu. Setelah kami sama-sama puas mereguk puncak kenikmatan, kemudian wanita itu pun kembali masuk ke dalam lukisanku.

Aku terjaga setelah mendengar suara gaduh di bawah. Ternyata, istri dan anaku sulungku ternyata sudah kembali dari medan.
"Papa sudha ambil uamg pensiun?"
"Sudah, tapi uangnya tinggal tersisa sedikit."
"Untuk apa?" tanya istriku kaget. Sambil menjawab aku tak berani menatap wajahnya.
"Untuk membeli pidura lukisanku."

Mendengar itu, istriku langsung berteriak marah. "Gara-gara lukisan itu Papa tega menghabiskan uang belabja!.
Sekarang lebih baik kubakar lukisan yang membuat sial seisi rumah!"
"Jangan!" teriakku. "Kau jangan nekad mmebakarnya. Nanti akan kuganti uang yang telah kupakai itu!"
"Tidak! Aku tetap akan mmebakarnya" teriak istriku kesal.
Aku berlari mengejar ke atas. Kami saling tarik-menarik. Anak-anak berusaha melerai dan akhirnya istriku mengalah. Ia masuk ke dalam kamar.

Malamnya, aku terpaksa tidur di studioku. Dan tiba-tiba saja, aku bermimpi buruk. Aku melihat wanita itu keluar dari lukisanku dan melangkah turun ke bawah. Langkahnya ringan, melayang, masuk ke kamar bahkan menerobos dalam pintu dengan begitu saja. Wanita itu mendekati pembaringan istriku dan mencekiknya. Tak ada keluhan atau erangan yang keluar dari mulutnya. Seketika tubuh istriku lemas tak berdaya. Setelah itu, wanita cantik itupun kembali ke ruang atas dan masuk ke dalam lukisanku.

Paginya, sewaktu aku turun, ternyata istriku masih belum bangun. Kamarnya terkunci rapat, anak-anakpun menjadi cemas. Arya langsung kusuruh naik ke atas genting dan menjebolnya. Sebentar kemudian, terdengar pekik tertahan. Setelah itu, pintu kamar pun dibuka lebar-lebar oleh anak sulungku dari dalam.

"Mama, Pa! Mama tidak bernafas lagi!" Teriak Arya histeris. Aku segera menyerbu masuk dengan diikuti anak-anak. Istriku terlihat terlentang, dengan kedua bola mata melotot. Tubuhnya kaku dan dingin!. Semua anak-anak menjerit histeris dan menubruk tubuh ibunya yang sudah tidak bernyawa lagi. Aku pun langsung teringat dengan mimpi ku semalam. Setelah kuperiksa dengan teliti, ternyata ada guratan merah tanda bekas cekikkan sepasang tangan. Apakah wanita yang ada di lukisanku telah mencekiknya? Mustahil, sungguh tak masuk akal. Menyadari semua itu, aku terkulai lemas tak berdaya, bahkan nyaris pingsan!.


Kisah tragis ini dialami oleh seseorang yang meggunakan nama samaran Handika dan bersumber dari majalah misteri indonesia.

Komentar