Latihan fisik pada penyakit jantung & asma

Disadari bahwa keadaan sakit disamping membutuhkan biaya untuk perawatan dan pengobatan, juga mengurangi pendapatan, sehingga terjadi kerugian ganda. Kerugian materiil dapat diperhitungkan, namun bagaimana dengan rasa sakit yang harus ditanggung?. Sungguh tak dapat dinilai dengan uang. Untuk itulah tindakan pencegahan merupakan tindakan bijaksana yang harus lebih diupayakan. Olahraga berperan sangat besar untuk suksesnya tindakan pencegahan dengan jalan meningkatkan daya tahan tubuh seseorang. Olahraga terutama akan mencegah atau menunda timbulnya penyakit degeneratif, seperti misalnya: Diabetes Melitus, Hipertensi, Jantung Koroner dan Rematik sendi. Meskipun demikian , penyakit infeksi atau menular pun dapat tercegah karena adanya efek olahraga pada peningkatan daya tahan tubuh seseorang. Seperti diketahui serangan penyakit infeksi tergantung oleh tiga faktor yaitu: faktor penyebab penyakit, faktor lingkungan, dan faktor manusia.

Faktor penyebab penyakit dibedakan menjadi menjadi faktor yang berasal dari luar tubuh (eksogen) dan dari dalam tubuh (endogen). Faktor dari luar tubuh misalnya bibit penyakit, racun, dan makanan, sedangkan faktor dari dalam tubuh misalnya perawakan, penyakit keturunan dan usia. Faktor lingkungan meliputi lingkungan biologik, fisik, ekonomi, mental dan sosial. Faktor manusia sangat ditentukan oleh daya tahan tubuhnya. Cita-cita untuk hidup bebas dari penyakit mungkin tak akan pernah tercapai. Manusia mengalami perkembangan, demikian pula dengan penyebab penyakit dan lingkungan. Meskipun demikian manusialah penentu utama bagi kesehatan tubuhnya.

Olahraga preventif
Olahraga yang dimaksudkan untuk usaha preventif pada dasarnya sama dengan olahraga untuk kebugaran. Memilih jenis latihan yang disenangi akan menjamin keberlangsungan latihan yang teratur. Joging, bersepeda, jalan, berenang, mendayung, senam dan latihan beban bisa dijadikan pilihan (Sumosarjuno, 1993).

Macam latihan diatas dapat menjamin keberlangsungan CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance). Latihan yang terus menerus dan ritmis mempunyai berbagai kelebihan antara lain: mudah dilakukan, mudah dipantau intensitasnya dan memberi efek besar terhadap kebugaran dan daya tahan tubuh. Meskipun demikian sebagai selingan dan rekreasi, olahraga permainan tetap dianjurkan. Yang perlu diwaspadai dalam olahraga permainan ini adalah kecenderungan seseorang untuk bermain melebih kapasitas fisiknya. Pada orang dengan berat badan berlebih (kegemukan) dianjurkan untuk memilih renang atau bersepeda agar beban pada lutut dapat terkurangi.

Olahraga preventif untuk penyakit jantung honorer
Penyakit Jantung Koroner dipermudah oleh multifaktorial yang disebut faktor resiko. Ada dua kelompok faktor resiko yaitu yang menetap dan yang tidak menetap. Termasuk dalam faktor resiko menetap antara lain umur, sex, dan keturunan, sedang yang tidak menetap antara lain obesitas, hipertensi, diabetes melitus, stres, kurang kegiatan fisik, kepribadian, dan gaya hidup. Walaupun terdapat keterbatasan, penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan yang cukup kuat akan adanya peran latihan fisik teratur sebagai salah satu faktor proteksi dalam pencegahan primer dan sekunder pada penyakit jantung koroner.

Menurut American Heart Association Subcomitee on Exercise/Cardiac Rehabilitation, latihan dapat meningkatkan kapasitas fungsional kardiovaskuler dan menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung baik pada orang sehat maupun penderita penyakit jantung koroner. Program olahraga yang teratur akan mengurangi faktor resiko yang tidak menetap, seperti misalnya obesitas, hipertensi, diabetes melitus, hiperlipidemi, stres, dan gaya hidup (Boestan, 1990). Bila seseorang mulai berolahraga biasanya ia akan mengubah gaya hidupnya menjadi lebih aktif bergerak, dan lebih memperhatikan kesehatan. Aktivitas reguler (paling tidak selang-seling hari) akan memberi perubahan pada sistem kardiorespirasi (Dotson, 1988).

Olahraga preventif pada penyakit asma bronkial
Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar siswa penerita asma dapat berpartisipasi dalam aktivitas fisik di sekolah dan mengikuti pelajaran pendidikan jasmani tanpa kesulitan. Program latihan yang dirancang bagi penderita asma pada dasarnya menitik beratkan pada latihan pernafasan yang bertujuan untuk:

a. Meningkatkan efisiensi fase ekspirasi
b. Mengurangi aktivitas dada bagian atas
c. Mengajarkan pernafasan diafragma
d. Merelakskan otot yang tegang
e. Meningkatkan fleksibilitas otot intercostalis, pectoralis, scalenius , dan trapezius.

Penderita diajak untuk menyadari pernafasannya. Ia harus dapat membedakan pernafasan costal dengan pernafasan diafragma, dan dapat merasakan kontraksi otot inspirasi meskipun dalam keadaan ekspirasi keras (forced expiration). Pada pernafasan yang biasa, satu-satunya otot ekspirasi adalah diafragma, sedangkan penderita asma lebih banyak menggunakan otot intercostalis daripada otot diafragma. Pernafasan diafragma kadang-kadang disebut sebagai pernafasan perut, karena perut terlihat menggembung pada saat inspirasi, dan mengempis pada saat ekspirasi. Nervus phrenicus yang emnginervasi diafragma sangat peka terhadap rangsangan, sehingga baik batuk, bersin maupun kecemasan akan meningkatkan tonus diafragma, yang selanjutnya menegangkan otot pektoralis, skaleni dan trapezius. Akibatkan penegangan tersebut adalah mengembangnya dada seperti dalam keadaan mengambil nafas dalam waktu lama.

Pada respirasi normal, diafragma bergerak ke atas bawah sepanjang 1-7 cm, sedangkan pada saat serangan hanya terjadi gerakan kurang dari 1 cm. Penderita asma yang terus menerus menggunakan pernafasan costal akan berangsur-angsur kehilangan fleksibilitas pada otot dada bagian bawah. Latihan bernafas harus dilakukan setiap hari dalam beberapa menit dengan cara sebagai berikut:

a. Hembuskan nafas melalui hidung sehingga lendir pada bronkii akan tertarik ke atas.
b. Ambil nafas pendek melalui hidung dan hembuskan panjang melalui bibir yang terkatup renggang, sehingga menimbulkan suara.
c. Panjang fase ekspirasi diusahakan dua kali panjang fase inspirasi. Pengaturan dapat dilakukan dengan stopwatch atau metronom.
d. Kendurkan pakaian dan aturlah nafas sehingga pada saat ekspirasi perut mengempis, untuk menunjukkan bahwa diafragma meninggi kearah dada. Beritahukan bahwa akan ada batuk dan bunyi ngik selama beberapa detik pertama dari pernafasan diafragma.
e. Minumlah segelas air sebelum dan sesudah latihan. Evaluasilah latihan ini dengan indikator meningkatnya Maximal Breathing Capacity (MBC) dan FEV 1 (Force Expiratory Volume for one second), Menggembungnya iga keempat dan menggembungnya perut.

Fein dan Cox merekomendasi 12 macam latihan pernafasan yang dapat dilakukan sebagai latihan harian atau dimasukkan sebagai bagian dari latihan pemanasan dan pendinginan. Latihan inti yang disarankan adalah yang bersifat intermiten, dengan latihan keras yang diselang-seling istirahat aktif, sehingga mencapai durasi tertentu. Renang lebih dipilih dari pada lari karena efek sampingnya terhadap EIA lebih jarang timbul. Meskipun demikian, olahraga permainan dan rekreasi yang terutama meningkatkan ekspirasi, banyak menggunakan otot perut, dan banyak mengandung aktivitas menghembus sangat direkomendasi. Gerakan senam yang dirancang khusus juga dapat memberi manfaat bagi penderita asma. Lari jarak pendek, softball, baseball, dan volleyball juga dianjurkan.

Latihan fisik dengan intensitas tinggi pada penderita asma telah diteliti oleh Emtner (1996) dan didapatkan bahwa semua subyek dapat melakukan latihan fisik dengan intensitas tinggi (80-90% prediksi Dnmax). Tak ada serangan asma pada saat melakukan latihan, dan ke-26 subyek seluruhnya dapat menyelesaikan program serta lebih percaya diri untuk melakukan latihan dengan intensitas tinggi. Disamping itu Emtner (1998) juga membandingkan manfaat latihan di darat dan di air. Ternyata keduanya sama-sama bermanfaat, dan memberi efek yang hampir sama. Tiga tahun setelah mengikuti program rehabilitasi, Emtner (1998) menelusurinya dan mendapatkan kenyataan bahwa penderita asma yang semula takut berolahraga, justru meneruskan latihan secara mandiri.

Efek latihan dalam meningkatkan fungsi paru dan keterampilan gerak pada penderita asma diteliti oleh Schmidt (1997) dan didapatkan adanya efek positif pada keduanya. Pada elit atlet didapatkan bahwa resiko serangan asma lebih banyak didapat pada lari jauh dibandingkan dengan gerakan yang membutuhkan kecepatan dan power (Helenius,1997). Penelitian Lutcke (1996) mendapatkan kesimpulan bahwa disamping dokter, penderita asma juga membutuhkan pelatih fisik, psikolog dan ahli gizi. Kondisi yang hipoksik justru dilatihkan oleh Serebrovskaia (1998) dan didapatkan adanya pengaruh positif terhadap status imunologik spesifik, serta merangsang limfosit dan neutrofil. Prevalensi asma di Australia selatan dipantau pada tahun 1992 -1995 oleh Adam (1997) dan ditemukan adanya peningkatan prevalensi dari 9,3% ke 11,4%. Pemakaian peak flow meter untuk mendiagnosa EIA telah diteliti oleh Kirkby (1998) dan dianjurkan untuk digunakan oleh para guru dalam mendeteksi EIA pada siswanya. Tanaka (1997) mendapatkan pada olahraga renang bahwa disamping asmanya berkurang, tekanan darahnya pun menurun.


Referensi:
Adam R; Ruffin R (1997): Asthma prevalence morbidity and management practices in South Australia 1992 - 1995, Aust NZ J.Med, 27(6):672 - 679. Dec.
Boestan IN (1990): Peranan Olahraga dalam Pencegahan Penyakit Jantung; Simposium Nasional Pencegahan Penyakit Kardiovaskuler, Maret.
Claudine sherill (1981): Adapted Physical Education and Recreation: Wm C.Brown Company Publisher Dubuque, Iowa, USA.
Dotson S (1988): Health Fitness Standards, Aerobic Endurance; Jour of Phys Ed, Recr and Dance; 60 (4): 26 - 31
Emtner M; Herald M. (1996): High intensity physical training in adults with asthma. A 10-week rehabilitation program. Chest, 109(2): 323 - 330.Feb.

Emtner M; Finne (1998): A 3-year follow up of asthmatic patients participating in a 10-week rehabilitation program with emohasis on physical training; Arch Phys Med Rehabil, 79(5): 539-544, May
Emtner M (1998): High intensity physical training in adults with asthma. A comparison between training on land and in water; Scand J. Rehabil Med, 30(4): 201-209, Dec.
Helenius IJ; Tikkaneb HO (1997): Association between type of training and risk of asthma in elite athletes; Thorax, 52 (2): 157-160, Feb.
Kirkby RE; Ker JA (1998): Exercise induced asthma in a group of south African school children during physical education classes. S.Afr Med.J: 88(2): 136-138, Feb.
Lutcke P (1996): Rehabilitation in asthmatic disease. Z Arztl Fortbild (Jena): 90(6): 495-500, Oct.

Schmidt SM; Ballke EH (1997): Effect of ambulatory sports therapy on bronchial asthma in children; Pneumologi, 51(8): 835-841, Aug.
Serebrovskaia TV; Mankovskaia IN (1998). A methods for intermitten hypoxic exposures in the combined treatment of bronchial asthma patient. Lik Sprava, (6): 104-108, Aug
Sumosardjuno S (1984). Kesehatan Olahraga; Grafidian Jaya, Jakarta Tanaka H; Basset DR Jr (1997): Swimming training lowers the resting blood pressure in individuals with hypertension. J.Hypertens, 15(6): 651- 657, Jun.

Komentar