Bagi masyarakat tradisional, alam dan segala materinya baik makhluk hidup, benda mati, dan segala energi yang ada adalah semesta dunia religi mereka. Dalam konstruksi batin yang demikian, maka kerap kali terdapat kepercayaan bahwa sesuatu yang terdapat di alam adalah perpanjangan tangan Dewa-dewa, Roh leluhur, atau Sang Maha Kuasa. Sehingga segala bentuk aktivitas religi masyarakat tradisional begitu dekat dengan lingkungan alamnya. Biasanya, konsepsi kepercayaan tersebut mereka rangkumkan dalam sebuah inskripsi, pustaha, atau pembukuan tradisionil lainnya, bahkan hanya tradisi lisan saja yang bekerja dalam pewarisan khasanah kebatinan mereka. Dalam konsepsi kebatinan masyarakat tradisional seringkali hadir mitos-mitos tentang asal mula kehidupan, penciptaan manusia pertama, hukum karma, ajaran moral kehidupan, mesianisme, dewa-dewi kehidupan, Hari Penghabisan, hingga adanya negeri impian, ideal atau surga pasca kehidupan di dunia.
Mitos dan kekinian dalam kehidupan manusia
Bagi masyarakat tradisional, yang disebut sebagai manusia religius arkhais oleh Mircia Eliade, mitos merupakan dasar kehidupan sosial dan kebudayaannya yang mengungkapkan cara beradanya di dunia ini. Mitos merupakan realitas kultural yang kompleks dan karena itu sulit untuk memberikan batasan-batasan yang definitif terhadap mitos. Eliade memandang mitos sebagai usaha manusia arkhais untuk melukiskan lintasan yang supra-natural ke dalam dunia dan memiliki makna yang esensial. Sehingga mitos menjadi suatu kebenaran yang pasti dan menetapkan kebenaran absolute yang tak bisa diganggu gugat. Dalam hal ini akan dibicarakan mitos kosmogoni yang jelas selalu ada dalam seluruh segi kehidupan, sebagai contoh soal untuk mempermudah sebuah pemahaman tentang mitos dan kekinian.
Mitos kosmogoni mengisahkan terjadinya alam semesta secara keseluruhan, dan merupakan contoh model yang paling utama dari segala macam bentuk penciptaan dan pembangunan (dunia). Bagi manusia religius, istilah dunia tidak mencakup seluruh alam raya sebagaimana dimengerti oleh ilmu zaman sekarang, melainkan terbatas pada pengertian dunia kita yaitu dunia yang sudah dikenal, yang dihuni atau didiami, yang teratur dan berbentuk sebagai kosmos. Sedangkan segala sesuatu di luar wilayah itu masih merupakan dunia lain, dunia yang kacau atau khaos. Namun daerah yang termasuk khaos dapat dijadikan daerah kosmos, dengan jalan menduduki dan menjadikannya tempat tinggal. Dunia yang akan didiami atau diduduki pertama-tama haruslah diciptakan kembali. Penciptaan tersebut membutuhkan contoh model sebagai tindakan yang harus dilakukan untuk menjamin kesuksesannya, yaitu dengan peniruan dan peragaan kembali kosmogoni (penciptaan semesta alam oleh para „dewa‟).
Oleh karena itu, dunia yang akan menjadi daerah baru dan akan diduduki perlu disucikan dan diciptakan, dari khaos menjadi kosmos dengan suatu upacara religius, agar tempat tersebut menjadi kawasan suci secara dominan dan merupakan simbolisme kota suci atau pusat dunia, teori geomantik sebagai ritus konstruksi mengatur pondasi kota, konsep yang membenarkan ritus menyertai bangunannya. Objek atau tindakan yang menjadi real hanya sejauh hal itu meniru atau mengulangi arketipe. Dengan demikian, realitas itu diperoleh hanya melalui pengulangan atau partisipasi; segala sesuatu yang tidak memiliki model yang ditiru itu “tidak bermakna”: dalam keadaan “menjadi”, sehingga tidak memiliki realitas dan manusia berkecenderungan untuk menjadi arketipis dan paradigmatik.
Dalam kasus ini, Plato dapat dipandang sebagai pemikir yang berhasil memberikan nilai dan validitas filosofis bagi cara hidup dan perilaku manusia kuno. Dengan mengakui struktur Platonik pada ontologi kuno itu, yang penting adalah pembebasan waktu profane dan proyeksi individu di dalam waktu mistik tentunya tidak terjadi kecuali pada periode yang esensial, yaitu periode ketika individu benar-benar merupakan dirinya sendiri. Hegel menyatakan bahwa di dalam alam segala sesuatu mengulangi dirinya sendiri untuk selama-lamanya dan bahwa “tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari ini”. Namun pengulangan ini memiliki makna yang semata-mata memberikan realitas atas peristiwa; peristiwa mengulangi dirinya sendiri karena peristiwa tersebut meniru arketipe.
Pada hakikatnya, kehidupan manusia, dari sekian banyak suku bangsa dengan etnik tertentu dan kebudayaannya masing-masing di Indonesia, masih mengikuti pertumbuhan dan perkembangan dari suku bangsanya sendiri, Jawa misalnya. Kehidupan orang Jawa di mana pun ia berada, akan membawa kekhasan Jawanya, baik dari segi bahasa, sikap, pandangan, dan tindakannya dalam bertingkah laku mengikuti mitos-mitos dan pola-pola yang tumbuh dan berkembang dalam kebudayaannya. Kalau pun terdapat sebuah pengecualian, adanya asimilasi atau alkulturasi misalnya, tidak akan mengubah 100 % kesejatian yang telah mengakar dalam kehidupannya. Dengan demikian, mitos akan terus tetap ada selama kehidupan itu masih berlangsung.
Meskipun dalam kehidupan manusia modern dicirikan oleh ketidakpercayaan akan mitos-mitos, namun di lain pihak, manusia modern masih membutuhkan mitos-mitos dan kenyataannya dalam masyarakat modern sekarang ini masih terdapat sisa-sisa sikap mitologis. Hanya saja di luar kesadarannya; manusia modern sesungguhnya telah mengalami dan menerima transformasi informasi yang diberikan secara turun menurun tentang segala aspek yang seharusnya dilaksanakan dalam seluruh segi kehidupan di dunia ini, baik berdasarkan agama yang dianut oleh keluarganya, adat istiadat, pranata, tradisi, maupun nilai-nilai atau norma-norma yang berkembang di dalam masyarakatnya.
Namun karena merasa tidak memperoleh kebebasan bertindak dan bertingkah laku dalam menjalani kehidupan, maka manusia modern „seolah‟ menciptakan dunia baru, di luar dunia yang dianggap sebagai mitos. Oleh karena itu, dalam masyarakat modern, mitos cenderung merosot menjadi legenda, epos, dan balada atau roman. Padahal bila kita amati tindakan atau tingkah laku yang dijalankan manusia modern, mereka secara tidak langsung mengikuti apa-apa yang telah terbentuk dalam masyarakatnya. Dengan kata lain, tindakan manusia modern memiliki kecenderungan melakukan apa yang dikatakan orang lain dari orang-orang yang terdahulu atau segala sesuatu yang berkembang dari budaya yang melingkupinya, dalam selamatan kelahiran, perkawinan, dan kematian misalnya.
Berarti kesemuanya merupakan tindakan dan tingkah laku budaya dari masa lalu. Apa-apa yang dilaksanakan berdasarkan dari masa lalu itulah yang disebut mitos. Walaupun di lain pihak, hal itu dinyatakan sebagai sesuatu yang mentradisi, tetapi dari tindakan tradisi yang terus berlangsung tersebut nyata terlihat di dalamnya sebagai tindakan yang terpola sebagai pengulangan kosmogonik. Apapun yang dilakukan oleh manusia telah dilakukan oleh manusia sebelumnya. Hidupnya merupakan pengulangan yang terus-menerus atas sikap yang diawali oleh orang lain.
Memang mitologi manusia arkhais sedikit demi sedikit akhirnya mengalami desakralisasi. Namun sebagai ganti mitologi kudus tersebut, manusia modern mempunyai mitos-mitos sekular dan mitos-mitos politik. Menurut Eliade, pergeseran mitologi itu terjadi karena pengaruh-pengaruh pemikiran yang rasionalistis. Meskipun demikian, mitos-mitos sekular yang baru itu mempunyai fungsi asasi yang sama seperti mitos dalam masyarakat arkhais, sekalipun mungkin mempunyai makna-makna yang berbeda. Kini jika kita perhatikan lebih seksama, dalam semua konsep kosmiko-mitologis terjadi gerakan kembali yang abadi. Di sini ditemukan motif pengulangan isyarat arketipe, yang diproyeksikan pada seluruh bidang kosmik, biologis, historis, dan manusia, serta struktur waktu siklis, yang diregenerasikan pada setiap “kelahiran baru” pada bidang apa pun.
Eliade mengungkapkan bahwa gerakan kembali yang abadi ini mengungkapkan ontologi yang tidak terkontaminasi oleh waktu dan menjadi (becoming). Segala sesuatu mulai dan mulai lagi pada permulaannya, pada setiap saat. Masa lampau tidak lain merupakan prefigurasi bagi masa depan. Walaupun tidak ada kejadian yang tidak dapat diubah, namun tidak ada transformasi yang bersifat final. Bahkan dapat dikatakan bahwa tidak ada sesuatu yang baru yang terjadi di dunia, karena segala sesuatu tidak lain merupakan pengulangan atas arketipe primordial yang sama. Waktu tidak memiliki pengaruh akhir pada eksistensi waktu itu sendiri, karena waktu terus-menerus mengalami regenerasi.
Eliade pun menggambarkan bahwa dalam kehidupan manusia religius mengenal tiga dunia, yaitu pertama dunia atas: dunia ilahi, surga, tempat para dewa, para pahlawan, dan nenek moyang; kedua, dunia yang didiami manusia; dan ketiga, dunia bawah: dunia kematian. Pola kehidupan tersebut hingga saat ini ternyata masih ada. Dalam kehidupan masyarakat Jawa misalnya, juga dikenal pola konsep tiga dunia tersebut, yakni alam wasana, madya, purwa. Dalam kehidupan Islam dikenal dengan baitul makmur, baitul mukharam, baitul muqaddas. Dan kemungkinan besar pola semacam itu terdapat pula dalam kehidupan masyarakat-masyarakat lain, tentunya diperlukan penelitian lebih lanjut.
Pada dasarnya, Eliade mengungkapkan bahwa ketiga dunia itu membentuk tiga lapisan yang dihubungkan oleh satu poros yang disebut axis mundi. Poros dunia ini sering dilambangkan dengan tiang, tangga, pohon, dan gunung. Melalui axis mundi ini manusia religius dapat mengadakan hubungan dengan dunia atas dan dunia bawah. Karena hubungan antara ketiga dunia itu terletak pada pusat dunia, maka dunia yang sejati selalu terdapat pada pusat dunia. Dengan demikian, pusat itu merupakan zona suci, zona realitas mutlak.
Sama halnya dengan semua simbol yang lain tentang realitas mutlak (pohon kehidupan dan keabadian, Sumber Remaja, dan sebagainya) ditempatkan sebagai pusat. Jalan yang mengarah pada pusat merupakan “jalan yang sulit”, dan hal ini diverifikasikan pada setiap tingkat realitas: lilitan yang sulit dari sebuah candi (seperti pada Borobudur); ziarah ke tempat suci (Mekkah, Hardwar, Jerusalem); petualangan yang berbahaya pada ekspedisi heroik dalam mencari Rampasan Emas, Apel Emas, Jamu Hidup; petualangan dalam labirin; kesulitan pencari jalan menuju diri, menuju “pusat” keberadaannya, dan sebagainya. Jalan tersebut sulit, penuh dengan bahaya, dalam kenyataannya merupakan ritus perjalanan dari yang profan ke yang sakral, dari yang sementara dan khayal menuju realitas dan keabadian, dari kematian menuju kehidupan, dari manusia menuju ilahi. Pencapaian pusat itu ekuivalen dengan pentahbisan, inisiasi; eksistensi yang profan dan khayal kemarin memberi tempat pada yang baru, pada hidup yang nyata, abadi, dan efektif.
Jika aksi Penciptaan mewujudkan jalan dari yang tidak berwujud menuju yang berwujud, atau menurut bahasa kosmologis, dari khaos (kekacauan) menuju kosmos (keteraturan); jika Penciptaan berlangsung dari pusat; jika, akibatnya, segala macam yang ada, dari yang tidak hidup hingga yang hidup, dapat mencapai eksistensi hanya dalam kawasan yang suci secara dominan semua keterangan yang indah ini bagi kita merupakan simbolisme kota suci (pusat dunia), teori geomantik yang mengatur pondasi kota, konsep yang membenarkan ritus yang menyertai bangunannya. Kita mempelajari ritus konstruksi ini, dan teori yang diimplikasikan, dalam karya sebelumnya. Kita dapat mempelajari pada apa yang ditekankan oleh Eliade pada dua proposisi yang penting, yaitu: 1) setiap ciptaan mengulangi aksi kosmogonis yang lebih tinggi (pre-eminent), Penciptaan dunia; 2) akibatnya, apa pun yang didirikan fondasinya berada di pusat dunia (karena, seperti yang kita ketahui, Penciptaan itu sendiri berlangsung dari pusat).
Guna meneguhkan realitas dan pengabadian konstruksi, pada dasarnya terjadi pengulangan aksi ilahi tentang konstruksi yang sempurna: Penciptaan dunia dan manusia. Sebagai langkah pertama, “realitas” situs yang dilindungi melalui pentasbihan bumi, ialah melalui transformasinya ke dalam pusat; kemudian validitas aksi konstruksi dikonfirmasikan melalui pengulangan pengorbanan ilahi. Secara hakiki, pentasbihan pusat terjadi di dalam ruang yang secara kualitatif berbeda dengan ruang profan, melalui paradoks ritus, setiap ruang yang ditasbihkan sama persis dengan pusat dunia, sebagaimana halnya dengan waktu ritual itu sama persis dengan waktu mitis, bila pendasaran dunia terjadi.
Dengan demikian ralitas dan keabadian konstruksi dijamin bukan hanya oleh transformasi ruang profan menjadi ruang transenden (pusat), melainkan juga oleh transformasi waktu konkret menjadi waktu mitis. Ritual dalam bentuk apa pun tersingkap bukan hanya dalam ruang yang ditasbihkan. Candi Borobudur misalnya, merupakan citra kosmos dan dibangun seperti gunung buatan. Dengan mendakinya, peziarah mendekati pusat dunia, dan di terasnya yang paling tinggi perubahan dari satu taraf ke taraf yang lain, melampaui yang profan, ruang heterogen dan memasuki “wilayah suci” berbagai kota dan tempat suci diasimilasikan dengan puncak gunung kosmik. Di luar prototipe mitis bagi semua kegiatan manusia pun mengalami hal serupa. Dalam kenyataan tentang keadilan manusia misalnya, yang didasarkan atas ide tentang “hukum”, memiliki model selestial dan transenden di dalam norma kosmik (tao, artha, rta, tzedek, themis, dan lain-lain), juga sangat kita kenal sehingga harus dipertahankan. “Karya seni manusia merupakan tiruan karya seni ilahi” (Aitareya Brahmana, VI, 27), juga merupakan leitmotiv estetika kuno.
Yang ditekankan di sini adalah struktur kosmogonik. Pada dasarnya hingga kini semua itu masih berlangsung, mitos dan kekinian pun masih terus bergerak mengikuti perkembangan zaman dan tetap mengarah pada pandangan tentang simbolisme pusat. Di mana ritual konstruksi juga mengasumsikan peniruan yang kurang lebih eksplisit atas aksi komogonik. Telah kita lihat bahwa semua ritual meniru arketipe ilahiah dan senantiasa reaktualisasinya yang terus-menerus berlangsung dalam saat mitis atemporal yang sama. Simbolisme Tahun Baru misalnya, mengandung motif pembaruan bagi setiap manusia. Meskipun fungsi eskatologis Tahun Baru (pembebasan masa lampau dan pengulangan Penciptaan) tidak dinyatakan secara eksplisit, namun dapat diasumsikan bahwa Tahun yang telah dilampaui manusia sebagai sebuah “kematian”, dan Tahun Baru merupakan “kebangkitan kembali”, “kelahiran baru” “manusia baru” atau “kehidupan”.
Kematian dan kehidupan dan atau kehidupan dan kematian selalu beriringan mengikuti pola kosmogonik. Dan hal itu masih dilakukan terus-menerus pada masyarakat modern sebagai perayaan akhir dan awal tahun. Setiap penghancuran, pasti diikuti dengan penciptaan kembali, kematian dan kehidupan baru. Penghancuran dan penciptaan dunia kembali ini masih terus berlangsung mengikuti pola kosmogoni, yaitu kembali pada keadaan khaos dan kemudian diikuti dengan penciptaan kembali. Dunia baru yang terjadi sesudahnya itu merupakan dunia yang murni, segar dan penuh daya. Dengan kata lain, seperti dunia yang baru diciptakan untuk pertama kalinya.
Oleh karena itu, menurut Eliade mitos bukan hanya merupakan pemikiran intelektual dan bukan pula hasil logika, tetapi terlebih merupakan orientasi spiritual dan mental untuk berhubungan dengan yang ilahi. Bagi masyarakat arkhais, mitos berarti suatu cerita yang benar dan cerita ini menjadi milik mereka yang paling berharga, karena merupakan sesuatu yang suci, bermakna, menjadi contoh model bagi tindakan manusia, memberikan makna dan nilai pada kehidupan ini. Mitos menceritakan suatu sejarah kudus yang terjadi pada waktu primordial, pada awal-mula. Mitos menceritakann bagaimana suatu realitas mulai bereksistensi melalui tindakan makhluk supra-natural. Mitos selalu menyangkut suatu penciptaan.
Dan mitos dianggap sebagai jaminan eksistensi dunia dan manusia. Dalam perkembangannya kemudian, ternyata struktur mitos dan ritus tetap tidak berubah. Di dunia modern, Tahun Baru masih menyimpan wibawa akhir masa lampau dan permulaan yang segar bagi hidup yang baru, dan seluruh manusia di belahan bumi mana pun masih mengalami hal ini. Dengan atau tanpa kesadaran, perlakuan terhadap perayaan Tahun Baru tersebut merupakan pola struktur kosmogonik. Dan akhirnya dapat dinyatakan bahwa mitos menjadi contoh model bagi semua kegiatan manusia yang bermakna hingga saat ini.
Sumber Referensi:
MIRCEA ELIADE
Komentar
Posting Komentar