Asal-usul seni kuntulan dan proses terwujudnya

Seni kuntulan
Banyuwangi merupakan daerah yang kebudayaannya terbentuk dari keberagaman suku yang pernah singgah di sana, antara lain Jawa, Madura, Bali, Tionghoa dan lain-lain. Keberagaman suku tersebut membentuk sebuah suku baru yang diduga menjadi suku asli Banyuwangi. Yaitu suku Osing. Suku Osing merupakan hasil akulturasi budaya yang ada di Banyuwangi, memiliki ciri tersendiri seperti: bahasa, adat istiadat, sistem masyarakat, kesenian, ciri fisik dan pola pikir yang berbeda dengan suku lainnya. Hingga saat ini budaya dan kesenian yang hidup di Banyuwangi merupakan kesenian dan budaya asli maupun hasil akulturasi budaya antar etnis yang sangat digemari antara lain, kesenian kuntulan.

Kesenian kuntulan merupakan kesenian hasil dari akulturasi budaya agama Islam dengan budaya asli Banyuwangi. Secara harafiah kuntulan berasal dari bahasa Arab, tersusun atas dua suku kata, yaitu kunyang artinya terjadi, dan lail yang artinya malam. Hal ini dapat diartikan kuntulan dilaksanakan pada malam hari. Kesenian kuntulan berawal dari kegiatan para santri yang selesai mengaji di malam hari kemudian mengembangkan kesenian hadrah dengan menambahkan jidor pantus dan jidor bass pada bagian musiknya, yang berfungsi sebagai pengatur dan pengendali irama.

Namun penyajian kesenian ini kemudian berkembang dengan gerakan-gerakan tari sederhana, seperti gerakan sholat, wudhu (bersuci) dan berdo’a. Seluruh pemain baik pemusik dan penari seluruhnya adalah laki-laki, menggunakan kemeja putih, celana putih dan menggunakan peci (kopyah hitam), serta pemakaian dengan nama kuntulan. Asumsi Masyarakatawam disebut kuntulan karena kostumnya yang menyerupai burung kuntul.

Hingga sekarang kesenian Kuntulan masih dilestarikan oleh Suku Osing. Kesenian tersebut juga menjadi ciri khusus suku Osing dengan suku yang lain dan sebagai warisan budaya mereka.

Asal-usul seni kuntulan
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa kesenian Kuntulan ada sejak awal datangnya para santri sebagai penyebar Islam. Kesenian Kuntulan awalnya dilahirkan dari lingkungan Pondok Pesantren merupakan suku perguruan Islam tempat mendidik dan mengembangkan santri (kader umat Islam) guna kelanjutan perjuangan penyebaran Islam. Selain melakukan kegiatan belajar agama Islam, para Santri juga melakukan aktivitas berkesenian yaitu menyanyikan Shalawat Nabi berisi tentang puji-pujian (Barzanji) kepada Nabi Muhammad SAW.

Dengan demikian penyebaran Islam yang dilakukan oleh para Santri bertujuan melakukan aktivitasberkesenian dengan menyanyikan Sholawat Nabi.Selain itu, Masyarakat Using biasanya menyebut kesenian kuntulan sebagai Kesenian Hadrah Kuntul dan Kundaran, akan tetapi kebanyakan dari seluruh masyarakat Banyuwangi menyebutnya kesenian Kuntulan, hanya berbeda penyebutanya saja, tetapi makna yang terkandung di dalamnya sama-sama mengandung unsur Islamnya. Adapun Seni Kuntulan yang biasanya dilakukan oleh para santri ini menyajikan Sholawat dengan melakukan tata cara sendiri Penyajian tersebut.

Penyajian ini berupa vocal puji-pujian oleh seorang rodat (penyannyi yang menyanyikan lagu Arab) dan diiringi oleh permainan ritmis terbang (rebana berjumlah 5 buah. Kesenian ini dimanfaatkan oleh para santri sebgai seni pertunujan pada hari-hari besar Islam, seperti : Maulid Nabi, Tahun Baru Islam (Muharram, Isra’ Mi’raj dan lain sebagainya.

Dengan adanya penyajian tersebut kita dapat mempelajari kebudayaan-kebudayaan yang selama ini belum kita kenal baik masyarakat dari suku Osing sendiri maupun dari luar Suku Osing.

Proses terbentuk/terwujudnya seni kuntulan
Proses Terbentuknya Seni Kuntulan sendiri sebenarnya berasal dari kesenian Hadrah yang muncul pada awal. Kesenian Hadrah ini dulu sebenarnya digemari oleh masyarakat suku banyuwangi namun karena ada perkembangan zaman kesenian hadrah menjadi kuntulan.

Sekitar tahun 1950 kesenian Hadrah muncul. Pada awalnya hadrah sangat kental dengan nuansa Islam yang sifatnya mutlak, isinya 100% dakwah Islam, sumbernya dari Kitab Berzanji. Instrumen musik yang mengiringinya adalah rebana dan kendang. Penarinya laki-laki dengan bentuk tarian menyerupai tarian Saman dari Aceh. Tembang yang dilantukan adalah bait-bait burdah dan pelakunya para santri yang ada di pesantren tersebut. Pada waktu itu Hadrah sangat digemari oleh masyarakat Banyuwangi, akan tetapi setelah perkembangan zaman Hadrah mulai memudar dan munculah kesenian Handrah Kuntul atau kesenian Kuntulan.

Hal tersebut membuat kesenian kuntulan yang berasal dari Banyuwangi terus berkembang dan tidak menjadi masalah adanya pergantian dari kesenian Hadrah menjadi kesenian Kuntulan. Dalam perkembangan selanjutnya, penyebab kesenian Hadrah mulai memudar dan muncul kesenian Kuntulan dikarenakan mengalami berbagai perubahan baik dalam instrument musik, tarian, busana, maupun penampilanya. Setelah itu kesenian kuntulan berubah lagi menjadi kesenian Kuntulan Wadon.

Kuntulan Wadon, muncul sekitar tahun 1955. Kesenian ini sudah menyebar dibeberapa desa di Kecamatan Kabat dan Kecamatan Rogojampi antara lain: Desa Badean, Tambong, Kawang, Pengantingan dan Pendarungan. Tahun 1960-an kesenian Kuntulan mengalami penurunan peminat, sampai akhirnya pada tahun 1979, sebuah kelompok kesenian bernama Jingga Putih yang berada di bawah pimpinan Sumitro Hadi melakukan perubahan bentuk pertunjukan Kuntulan dari penari lanang (laki-laki) menjadi penari wadon (perempuan). Bersama kelompok lain keseniannya, Sumitro membuat karya-karya pertunjukan, seperti menciptakan tari jejer jaran dawuk, rodat siirian, dan termasuk didalamnya Kuntulan Wadon. Kelompok kesenian Jingga Putih berada di Desa Gladak, kecamatan Rogojampi. Perubahan yang dilakukan oleh Sumitro Hadi didasari karena penari perempuan lebih menarik dan tidak membosankan. Menurut Siti Lailatul Nur Azizah, (2014:45).

Perubahan penari ini juga diikuti dengan perubahan kostum dan tata rias penari. Kostum yang digunakan tidak lagi kemeja dan celana putih, tetapi berupa atasan kuning dan warna lain, penutup kepala dihiasi dengan hiasan bunga, mirip omprok (penutup kepala) pada penari Gandrung atributnya berupa kaus kaki dankaus tangan, dan tata rias yang digunakan sudah menggunakan make up seperti warna bibir, pemerah pipi dan pewarna kelopak mata.

Kesenian Kuntulan Wadon menjadi popular dikalangan masyarakat suku banyuwangi pada waktu itu, banyak masyarakar Banyuwangi yang menyukai dengan gaya dan penampilannya. Akan tetapi setelah adanya berkembangnya zaman Kuntulan Wadon mengalami perubahan menjadi kesenian Kundaran.

Kundaran didirikan pada tanggal 1 Januari 1980 oleh Sahuni, seniman asli dari Banyuwangi. Bersama kelompok kesenianya Sahuni menciptakan perubahan baru terhadap pertunjukan kesenian Kuntulan Banyuwangi. Sahuni memberikan ide pertujukan yang berbeda dengan kesenian Kuntulan biasa, hampir secara keseluruhan peyajian Kuntulan diubahnya. Perubahan tersebut meliputi: penambahan ensambel musik pengiring Damarwulan, yaitu reong, (sepasang kendang Bali lanang wadon), penambahan ensambel musik pengiring Gandrung, yaitu: kendang, kethuk, kenong, kluncing (triangle), serta penambahan pada instrumen pengiring kesenian Jaranan, berupa slompret. Dengan demikian perubahan ini dinamakan “Kuntulan Dadaran” karena pada dasarnya semua yang ada pada kesenian kuntulan terdahulu diubah dengan sedemikian rupa, dan terciptalah “seni pertunjukan”,
Menurut Siti Lailatul Nur Azizah (2014:47).

Penyajian kesenian Kundaran lebih bersifat instrumental yang lebih banyak menonjolkan komposisi musik dengan memadukan irama-irama baru ke dalam irama musik Kuntulan, sehingga Kundaran lebih variatif dan meluas dari pada kesenian Kuntulan terdahulu. Dengan demikian masyarakat lebih menyukai kesenian ini karena sifatnya yang lebih bervariasi dan tidak monoton.

Dalam wawancara bersama Sahuni selaku seniman Kuntulan, yang ditulis oleh Siti Lailatul Nur Azizah(2014:48) mengenai bagaimana perubahan kesenian Kuntulan dari waktu ke waktu dikatakan sebagai berikut:

“Perubahan pada kesenian Kuntulan di karenakan pertemuaannya dengan kesenian-kesenian khas Banyuwangi seperti Gandrung, Damarwulan dan tarian lainnya, sehingga merubah bentuk asli kesenian Kuntulan menjadi kesenian Kundaran atau Kuntulan Dadaran (seni Kuntulan yang diperlebar). Kenapa bisa dinamakan Kundaran? Karena pada kesenian ini lebih fleksibel dan melua, dari musik, tarian juga mengalami perubahan dan penambahan pada alat musik, tidak hanya itu saja para penari Kuntulan yang tadinya lakilaki ikut berubah menjadi penari perempuan (Wadon). Sehingga masyarakat Banyuwangi semakin tertarik, karena kesenian ini tidak monoton. Sedangkan sifat dari kesenian Kuntulan dan Kundaran sama-sama berdakwah Islam.”

Hingga saat ini kesenian Kuntulan menjadi warisan budaya di Banyuwangi dan tidak bisa ditinggalkan sebagai kebiasaan bagi warga Banyuwangi, khusunya bagi orang-orang suku Osing.


Referensi:
Azizah, Siti Lailatul Nur. 2014. Kesenian Kuntulan Dalam Suku Using Di Banyuwangi Tahun (1950-1980): Studi Akulturasi Antara Unsur Islam Dengan Kesenian Kuntulan. PhD Thesis. UIN Sunan Ampel Surabaya.
Susanti, Kristina Novi. Kesenian Kuntulan Banyuwangi: Pengamatan Kelompok Musik Kuntulan Mangun Kerto.

Komentar