Mitos dan tradisi berkaitan dengan nyi roro kidul

Nyi roro kidul

Mitos nyi roro kidul
Jawa merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terkenal dengan mitos. Terdapat beberapa dongeng yang tersamar berkembang dalam kebudayaan Jawa, khususnya yang berkaitan dengan Ratu Kidul yang mendiami dan menguasai Samudra Hindia (Samudra Indonesia). Mitos tersebut tersebar dari Parangtritis selatan Yogyakarta, Karangbolong di Selatan Gombong, Cilacap di Selatan Banyumas (Jawa Tengah), sampai ke Pelabuhan Ratu di Selatan Sukabumi (Jawa Barat). Ratu Kidul inilah yang dikenal oleh banyak orang awam sebagai Nyai Roro Kidul. Keberadaan Sang Nyai tersebut sangat diyakini oleh masyarakat Surakarta dan Yogyakarta sebagai istri raja dari dinasti Mataram Islam, sejak zaman raja terdahulu, Raden Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati.

Mitos tentang Nyai Roro Kidul masih dipercayai rakyat setempat hingga saat ini, baik dari pihak Keraton (Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta), maupun rakyat kedua keraton tersebut dan dari bekas wilayah Kraton Galuh Padjajarandi Tanah Sunda (Jawa Barat). Mitos berawal dari kisah kisah pertemuan antara Panembahan Senopati dengan Nyai Roro Kidul di Babad Tanah Jawa:

Setelah Panembahan Senopati mendapat wahyu pada suatu malam, Ki Juru Mertani, paman sekaligus penasehatnya, belum merasa yakin jika kemenakannya itu telah menerima wahyu. Untuk memastikan, Panembahan Senopati diminta bertapa ke Laut Kidul, sedangkan Ki Juru Mertani bertapa ke Gunung Merapi. Panembahan Senopati segera berangkat, dan ia menceburkan diri ke laut Opak, bertapa dengan menghanyutkan diri mengikuti arus sungai Opak (tanpa mbathang) sampai di Laut Kidul. Mengetahui hal itu, Ratu Kidul menemui Panembahan Senopati, dan diajaknya Senopati ke keratonnya di dasar samudera.

Menyadari akan kecantikan Ratu Kidul dan ketampanan Senopati, keduanya saling terpikat dan menyatu dalam asmara. Sejak saat itulah Ratu Kidul menjadi istri Panembahan Senopati. Ketika Senopati mengajaknya hidup bersama dan mendampinginya sebagai Raja Mataram, Ratu Kidul dengan halus menjelaskan bahwa itu tidak mungkin dilakukan, karena ia makhluk halus/peri. Meski tak dapat mendampingi Senopati, Ratu Kidul berjanji akan selalu siap membantunya jika keraton Mataram sewaktu-waktu menghadapi bahaya.

Dari kisah tersebut diketahui bahwa mitos Nyai Roro Kidul hidup karena kepercayaan masyarakat akan rajanya yang memperistri seorang makhlus halus atau peri. Mitos ini berkembang di masyarakat karena terbukti dengan kisah tersebut adanya keselarasan kehidupan Jawa di lingkungan Yogyakarta meliputi wilayah Laut Selatan, Keraton, dan Gunung Merapi. Selain Ratu Kidul, raja wanita yang menempati keraton di dasar Laut Kidul (laut Selatan Pulau Jawa), yang bergelar Kanjeng Ratu Kidul, dikenal juga panglima atau senapati perangnya yang bergelar Nyai Rara Kidul. Namun, sering terdapat kekeliruan pengertian dari orang awam tentang kedua sosok tersebut. Untuk mempermudah, maka dalam penelitian ini menekankan pada tokoh Nyai Roro Kidul yang dikenal masyarakat Jawa.

Pengaruh agama dan filsafat Islam dalam tindakan simbolis orang Jawa terdapat dalam rangkaian upacara sekatenan. Upacara ini berkaitan dengan simbol pantai selatan sebagai wilayah kekuasaan Nyai Roro Kidul, hal ini dilakukan dengan melarung pakaian wanita persembahan dari raja yang merupakan keturunan Panembahan Senopati. Kisah panembahan Senopati atau yang disebut sebagai Wong Ngeksi Ganda terdapat dalam Serat Wedatama karya Mangkunegara IV. Tindakan simbolis upacara tersebut menampakkan pengaruh mitos mengalirnya kesaktian Panembahan Senopati yang telah berhasil menyatukan dirinya dengan kesaktian Nyai Roro Kidul demi kesejahteraan keturunannya yang bertahta di wilayah kerajaan.

Tradisi yang berhubungan dengan nyi roro kidul
Sebagai bentuk hegemoni yang lain, Nyai Roro Kidul juga menghegemoni tradisi dan adat istiadat masyarakat Jawa. Hal ini mencakup tradisi labuhan dan tradisi ziarah ke Cepuri Parangkusumo.

1. Tradisi Labuhan
Labuhan atau sedekah laut merupakan bentuk upacara yang dilakukan oleh warga pesisir. Tradisi ini sangat erat kaitannya dengan Nyai Roro Kidul karena dilakukan di tepi Pantai Selatan. Harus ada izin dari Nyai Roro Kidul jika ingin mengadakan labuhan, karena tradisi ini merupakan hubungan timbal balik antara raja yang berkuasa, dengan pemimpin Laut Selatan tersebut. Kewajiban Labuhan selalu dijalankan oleh raja setiap tahunnya, namun pada saat terjadi peristiwaperistiwa tertentu yang mengancam Yogyakarta maka ritual labuhan akan diselenggarakan. Dalam novel Sang Nyai, kondisi Merapi sedang berada dalam tahap hampir meletus. Untuk itulah, Ngarsa Dalem meminta rakyat di pesisir untuk melakukan labuhan guna meminta pertolongan pada Nyai Roro Kidul. Ritual labuhan itu mempunyai beberapa langkah, yaitu menyiapkan sesajen, selamatan,kenduri, dan upacara labuhan. Berikut uraiannya.

a. Sesajen
Sesajen merupakan simbolisme dalam adat Jawa. Maksud dibuat sesajen adalah untuk mendukung kepercayaan terhadap adanya roh halus yang berdiam atau mbahu reksa di tempat-tempat tertentu agar jangan mengganggu keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan yang mengadakan sesajen, atau sebaliknya untuk meminta berkah dan lindungan dari yang mbahu reksa untuk menjauhkan atau menghindarkan dari gangguan maupun bencana.

Sesajen merupakan tradisi yang dilaksanakan oleh orang Indonesia khususnya Jawa dalam peristiwa tertentu. Dalam novel Sang Nyai, sesajen diadakan untuk keperluan sebelum labuhan. Biasanya berisi makanan, kembang, bubur, tumpeng, rempah-rempah, atau semacamnya yang mempunyai nilai-nilai tertentu. Perhatikan kutipan berikut:

“Monggo, monggo, silakan.” Mbak Sum membuka taplak penutup sesajen yang akan dilabuh. “Ini ada tujuh tumpeng dan ingkung utuh satu. Ada jajan pasar lengkap. Tujuh macam kembang. Urap dari tujuh macam sayuran dan bubur tujuh warna,” jelas perempuan itu. Semua sesajen itu diletakkan di atas tampah, nampan besar terbuat dari anyaman bambu (Sang Nyai).

Sesajen yang disiapkan tersebut semua serba angka tujuh. Dalam bahasa Jawa tujuh adalah pitu. Jadi, sesajen tersebut mempunyai makna untuk mohon pitulungan atau pertolongan kepada Sang Pencipta agar diberi keselamatan. Sesajen yang diadakan tersebut juga bersamaan dengan kondisi Merapi yang sedang dalam keadaan darurat, sehingga dengan sesajen tersebut penduduk Pantai Selatan berharap bagi keselamatan saudara-saudara mereka yang tinggal di lereng Merapi. Perhatikan kutipan berikut ini:

Rombongan orang yang mau mengadakan labuhan lalu masuk kembali ke dalam rumah Mas Darpo dan tetangganya. Padahal, mereka sudah siap-siap melakukan prosesi. Berangkat dari rumah Mas Darpo sebagai juru kunci, lalu masuk ke Cepuri Parangkusumo. Di situ, semua sesajen dan barang-barang labuhan diletakkan dulu di atas selo gilang. Mas Darpo mendoakannya. Mempersembahkan semuanya itu untuk Panembahan Senapati dan Nyai Roro Kidul. Dengan harapan, keduanya bertemu lagi di selo gilang itu untuk memberikan berkah pertolongannya. Setelah itu, barulah prosesi dilanjutkan menuju pantai (Sang Nyai).

Berdasarkan kutipan tersebut jelas sekali bahwa hegemoni mitos Nyai Roro Kidul sangat mempengaruhi prosesi ini. Masyarakat membuat sesajen yang telah didoakan oleh Mas Darpo juga untuk dipersembahkan pada Panembahan Senopati dan Nyai Roro Kidul. Mereka percaya bahwa pertemuan keduanya akan dapat memberikan berkah pertolongan berkaitan dengan keadaan darurat di Merapi.

Sesajen yang disediakan dengan barang labuhan akan dilarung ke Laut Kidul dengan tujuan agar Nyai Roro Kidul mau membujuk Eyang Sapu Jagad di Merapi supaya tidak marah. Benda-benda itu juga bisa dimaknai sebagai alat untuk perantara, dengan menyediakan barang-barang kesukaannya diharapkan Nyai Roro Kidul merasa iba dan sanggup membujuk Eyang Sapu Jagad agar meredakan kemarahannya, sehingga Merapi tidak meletus. Kepercayaan ini masih berkembang di masyarakat sehingga hegemoni mitos Nyai Roro Kidul masih tertanam kuat di dalam jiwa masyarakat Jawa. Tradisi ini dapat dipercaya atau pun tidak, tetapi inilah upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh masyarakat pesisir Pantai Selatan untuk membantu saudara-saudara mereka yang tinggal di sekitar
Merapi.

b. Selamatan
Tradisi selamatan atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan slametan merupakan budaya Jawa asli. Slametan berasal dari kata bahasa Jawa slamet yang mempunyai arti selamat, bahagia, dan sentosa. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang biasanya digambarkan sebagai pesta ritual untuk mengawali proses upacara-upacara tertentu. Selain itu, tujuan dari selamatan adalah untuk tolak bala atau menahan gangguan dan musibah yang akan terjadi.

Kegiatan berwujud perjamuan makan sederhana dengan dihadiri kerabat dan seluruh tetangga untuk mencapai keselarasan dengan alam. Nilai dari acara selamatan ini antara lain berwujud kerukunan, kekeluargaan dan kebersamaan karena semua orang berkumpul dalam satu tempat. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di mata masyarakat atau dalam bertetangga.

Pada hakikatnya, ritual ini merupakan wujud dari permohonan izin kepada Sang Pencipta untuk mengawali suatu kegiatan yang lebih besar. Tradisi selamatan dalam novel Sang Nyai merupakan bentuk dari tradisi masyarakat Pesisir Selatan yang akan memulai upacara labuhan di pantai Selatan tempat Nyai Roro Kidul berkuasa. Selain itu, selamatan ini dalam rangka untuk menolak bencana yang akan menimpa akibat kondisi Merapi yang berbahaya. Perhatikan kutipan berikut ini:

“Pokoknya, utusan dari keraton,” jawab Mas Darpo kalem. “Mereka hanya meminta agar saya dan masyarakat di sini membantu keselamatan saudara-saudara kita yang tinggal di sekitar Merapi. Maka, kami lalu mengadakan selamatan, kenduri, dan nanti malam mengadakan labuhan. Yah, hanya itu yang bisa kami lakukan.” (Sang Nyai).

Peringatan untuk mengadakan selamatan, kenduri, dan labuhan berasal dari utusan Keraton, sehingga hal ini merupakan perintah secara langsung dari Ngarsa Dalem atau sang Sultan. Jadi, secara tidak langsung Ngarsa Dalem meminta rakyatnya untuk melakukan ritual itu agar Nyai Roro Kidul memberi izin dalam melaksanakan labuhan jaladri agar prosesinya lancar dan agar ia mau membantu rakyat yang sedang prihatin terhadap bahaya Merapi. Secara tidak langsung, Nyai Roro Kidul merupakan tokoh yang dominan dan dipercaya sebagai perantara dengan Sang Pencipta.

c. Kenduri
Kenduri dalam bahasa Indonesia baku memiliki arti perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, minta berkat. Kenduri merupakan bagian rangkaian dari selamatan, atau merupakan puncak kegiatan selamatan itu sendiri. Kenduri mempunyai makna untuk sedekah, wujud berbagi dengan keluarga, sanak saudara, serta tetangga. Dari kenduri inilah maka tercipta kerukunan yang mempererat kesatuan. Kesatuan kepentingan, kesatuan cita-cita, dan juga kesatuan masing-masing individu yang ikut dalam ritual ini.

Jika selamatan itu meminta izin, maka kenduri adalah wujud sedekah untuk memperlancar perizinan itu. Prosesi dilakukan dengan membagi-bagikan nasi berkat atau nasi besek dan nasi tumpeng yang telah didoakan sebelumnya. Berkat yaitu wadah dari anyaman bambu yang dialasi daun pisang, diisi dengan tatanan nasi putih, mie goreng, telor rebus, daging ayam, sambal goreng kentang, acar wortel atau ketimun, kerupuk udang, dan pisang (isi berkat menyesuaikan yang punya hajat). Dalam acara kenduri harus ada pemimpin yang akan memimpin dalam pembacaan doa-doa. Dalam novel Sang Nyai acara kenduri tersebut dipimpin oleh juru kunci Parangkusumo, yakni Mas Darpo. Berikut kutipannya:

Mas Darpo mengangguk-angguk. Ia melihat jam tangan. Lalu, minta maaf karena harus pamit. Ia akan segera memimpin kenduri. “Silakan kalau Mas Sam mau istirahat dulu. Karena labuhan baru akan kami lakukan sekitar pukul delapan malam nanti,” katanya memberi informasi (Sang Nyai).

Acara selametan dan kenduri merupakan satu rangkaian ritual orang Jawa, yang dilanjutkan dengan prosesi labuhan jaladri dalam novel Sang Nyai. Ritual tersebut merupakan sebuah bentuk hegemoni dari penguasa. Masyarakat dengan senang hati melaksanakannya karena menganggap hal itu penting. Selamatan dan kenduri itu juga sebagai wujud kepedulian bagi sesama karena manusia hidup untuk saling membantu. Jika yang lain mengalami kesusahan, wajibnya yang lain mengulurkan tangan memberi bantuan dan turut prihatin. Seperti halnya warga di lereng Merapi yang membutuhkan bantuan doa dari saudaranya yang tinggal di pesisir pantai Selatan Yogyakarta agar terhindar dari bencana.

d. Upacara Labuhan
Labuhan merupakan bentuk kebudayaan Jawa pesisir. Secara etimologis, labuhan berasal dari kata labuh atau larung yang mempunyai arti membuang sesuatu ke dalam air baik sungai maupun laut. Labuhan mempunyai maksud memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat. Dalam hal ini labuhan dimaksud untuk memberi sesaji kepada Nyai Roro Kidul, penguasa Laut Selatan.

Menurut Wiryapranitra dalam Babad Tanah Jawa, Raden Sutawijaya atau yang lebih dikenal sebagai Panembahan Senopati penguasa Mataram kala itu, pernah mengadakan perjanjian dengan Nyai Roro Kidul. Sang Nyai yang telah diperistri oleh Panembahan Senopati hendak dibawa hidup bersama dan mendampinginya sebagai Raja Mataram. Namun, Nyai Roro Kidul menjelaskan bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan karena sang Nyai merupakan makhluk halus atau peri. Meskipun tak dapat mendampingi Sang Raja, Nyai Roro Kidul akhirnya berjanji akan selalu siap membantunya jika keraton Mataram sewaktuwaktu menghadapi bahaya.

Akhirnya, Panembahan Senopati mengabulkannya. Sebagai imbalan dari perjanjian itu Panembahan Senopati memberikan persembahan yang diwujudkan dalam upacara labuhan. Selanjutnya, upacara labuhan menjadi tradisi turuntemurun dalam kerajaan Mataram karena Nyai Roro Kidul dianggap hidup sepanjang masa. Raja pengganti Panembahan Senopati bertugas melestarikan tradisi yang telah ada tersebut sebagai wujud penghormatan terhadap Nyai Roro Kidul dan ikatan perjanjian yang masih tetap terjalin antara Keraton Yogyakarta dengan penguasa Laut Selatan. Dengan demikian, jika memenuhi kewajiban untuk mengadakan labuhan tersebut maka Nyai Roro Kidul akan senantiasa menjaga keselamatan rakyat dan kerajaan Mataram. Bahkan jika sang raja meminta bantuan, dengan senang hati ia akan memberikan bantuannya.

Dalam novel Sang Nyai, Merapi dalam kondisi terancam meletus. Ngarsa Dalem melalui utusannya memerintah Mas Darpo sebagai juru kunci Parangkusumo untuk mengadakan upacara labuhan yang didahului dengan selamatan dan kenduri. Perhatikan kutipan berikut:

“Maksud dari labuhan itu apa, Mas?” “Ya, kami mohon kepada Sang Pencipta agar Merapi tidak sampai menelan korban nyawa. Biarkan meletus, karena memang sudah saatnya.
Ini sudah memasuki siklus empat tahunan. Lalu, kami juga akan minta pertolongannya supaya membujuk Eyang Sapu Jagad di Merapi. Untuk apa? Ya, minta jangan sampai lahar panas Merapi terlalu banyak dimuntahkan, supaya tidak menelan korban nyawa.” (Sang Nyai).

Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa melalui labuhan tersebut Ngarsa Dalem secara tidak langsung meminta bantuan kepada Nyai Roro Kidul untuk melindungi rakyat Yogyakarta dari ancaman letusan Merapi. Meskipun sudah masuk siklus empat tahunan sebuah gunung yang aktif untuk meletus, namun permintaan dari Ngarsa Dalem bertujuan agar Nyai Roro Kidul dapat membujuk Kiai Sapu Jagad sebagai penjaga kawah Merapi agar gunung tersebut tidak meletus. Seandainya meletus, dengan labuhan tersebut meminta jangan sampai lahar Merapi terlalu banyak dimuntahkan, supaya tidak membahayakan penduduk apalagi menelan korban jiwa.

Selain itu labuhan juga disambut antusias oleh warga maupun orang-orang jauh yang ingin berburu barang-barang labuhan tersebut. Barang-barang yang telah dilabuh ke Laut Selatan dipercaya membawa berkah. Seperti penuturan Kang Trisno kepada Sam. Ia mendapat keberuntungan pada labuhan tahun lalu berupa selendang lurik. Berikut kutipannya:

“Di Parangkusumo, sering diadakan juga kok. Ramai sekali, Om. Barang-barang yang dilabuh itu dijadikan rebutan para pengunjung. Sebab, kami percaya jika barang-barang itu bertuah. Buktinya saya. Tahun lalu, saya mendapat selendang lurik. Ada yang mau membeli satu juta rupiah. Tidak saya berikan. Lalu tiba-tiba, datang seorang wanita cantik. Sudah tidak muda lagi. Umurnya kira-kira lima puluh tahun. Dia mau menukar selendang itu dengan sepeda motor baru. Ya sudah, saya berikan. Ini motornya, hahaha.... Rezeki dari Nyai Roro Kidul, Om.” (Sang Nyai).

Berdasarkan kutipan tersebut maka barang-barang yang dilabuh dianggap telah disentuh oleh Nyai Roro Kidul sehingga dipercayai sebagai barang-barang yang bertuah. Siapa yang memiliki barang tersebut akan mendapat keberuntungan. Seperti Kang Trisno yang mendapatkan motor baru dari menjual selendang lurik hasil dari berburu saat labuhan. Masyarakat percaya bahwa hal itu merupakan rezeki dari Nyai Roro Kidul.

Dengan bentuk labuhan di atas maka diharapkan Nyai Roro Kidul dapat membantu mencegah letusan gunung Merapi, dan dapat memberikan berkah bagi masyarakat yang mendapatkan benda-benda labuhan demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian seperti yang dikutip dari Sunarsih, dkk tujuan diadakannya upacara labuhan ialah untuk keselamatan pribadi Sri Sultan, Keraton Yogyakarta, dan rakyat Yogyakarta. Upacara labuhan juga memperkuat hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap Raja, masyarakat Yogyakarta, dan Gunung Merapi.

2. Tradisi Ziarah
Ziarah merupakan sebuah adat istiadat yang sering dilakukan oleh orang-orang Jawa seperti menengok makam leluhur atau mengunjungi tempat-tempat keramat. Hal tersebut mempunyai maksud untuk mendoakan atau meminta doa dari tempat yang diziarahi. Ziarah dalam novel Sang Nyai tersebut berkaitan dengan ziarah ke tempat keramat di Cepuri Parangkusumo, tepatnya di selo gilang. Selo gilang merupakan batu keramat tempat pertemuan Panembahan Senopati dengan Nyai
Roro Kidul. Berikut kutipannya:

“Nanti di sini, mereka itu sebenarnya mau apa?” tanyaku kepada 
Mas Darpo.
“Ya, intinya ziarah, tirakat, laku prihatin, memohon kepada Sang
Pencipta agar mau mengabulkan permohonan mereka.”
“Katanya, agar permohonannya terkabul, mereka harus
berhubungan suami istri, tetapi tidak dengan pasangan resminya, harus
dengan orang lain. Benar begitu?”
Mas Darpo tertawa terkekeh-kekeh. “Dari mana Mas Sam dengar
hal itu? Ini Parangkusumo, bukan Gunung Kemukus.” (Sang Nyai).

Parangkusumo merupakan tempat yang keramat. Untuk itulah banyak orang, bahkan dari luar kota melakukan ziarah, tirakat, maupun berlaku prihatin dengan mengunjunginya. Mereka berharap dapat memohon kepada Sang Pencipta agar mau mengabulkan permohonan mereka. Di Parangkusumo inilah Mas Darpo sebagai juru kunci bertugas menyampaikan doa dan permohonan para peziarah, dan diharapkan dengan doa tersebut maka Nyai Roro Kidul akan mengabulkannya. Nyai Roro Kidul merupakan perantara dengan Sang Pencipta.

Hal ini menegaskan bahwa hegemoni mitos Nyai Roro Kidul sangat kuat dalam adat ziarah di Parangkusumo. Untuk itulah Ngarsa Dalem memberikan surat tugas atau kekancingan pada Mas Darpo sebagai abdi dalem agar menjadi juru kunci Parangkusumo, yang terletak di Pantai Selatan. Mas Darpo mempermudah orang-orang untuk meminta berkah kepada Nyai Roro Kidul.Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan berikut:

Laki-laki itu memaknai sebagai berkah dari Ngarsa Dalem, sultan di Keraton Yogyakarta yang memberi kekancingan atau surat tugas kepada dirinya untuk melayani para peziarah. Dan, yang tidak boleh dilupakan, Mas Darpo lagi, adalah berkah dari Nyai Roro Kidul! Penguasa Laut Selatan itu seolah mau bermurah hati padanya karena ia telah sudi menjaga selo gilang dengan baik. Itulah upah dari sebuah kesetiaan. Upah dari sebuah kerja yang tulus dan ikhlas. Meski sederhana, namun maknanya bisa sangat dalam jika dikupas (Sang Nyai).

Hal ini menandakan bahwa Sultan mempercayakan tugas untuk menjadi juru kunci Parangkusumo pada Mas Darpo. Kekancingan merupakan surat silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem (Kantor Urusan Keturunan Raja) atas nama sang Sultan. Keluarnya surat tersebut biasanya ditandai dengan penambahan gelar pada nama seseorang yang telah diangkat menjadi abdi dalem, atau merupakan keturunan Keraton.

Dalam novel Sang Nyai, Mas Darpo sebagai abdi dalem termasuk sebagai jajaran Lurah. Sebagai panggilan kehormatan ia dipanggil sebagai Mas Lurah. Walaupun gajinya hanya beberapa rupiah saja, tetapi tugas yang diembankan padanya oleh Ngarsa Dalem serta restu dari Nyai Roro Kidul membuahkan rezeki yang melimpah untuknya melalui tangan para peziarah. Hal itu merupakan upah dari kesetiaan dengan kerja yang tulus dan ikhlas. Hal itu juga yang membuat rakyat semakin tunduk dengan kekuasaan sang Sultan dan Nyai Roro Kidul.

Ziarah yang dipimpin oleh Mas Darpo dilakukan pada setiap malam Jum’at Kliwon. Dalam ziarah tersebut biasanya orang mengantri dengan membawa sebungkus kembang telon, kemenyan, rokok kretek, dan amplop berisi uang seikhlasnya sebagai ucapan terima kasih. Mas Darpo menganggap amplop tersebut sebagai mahar atau maskawin. Ketika saatnya tiba, Mas Darpo akan mulai mendoakan para peziarah di selo gilang yang dikenal sebagai batu cinta, tempat pertemuan Panembahan Senopati dan Nyai Roro Kidul.

Hal tersebut ditandai dengan wangi kembang melati dan hembusan angin yang datang dari selatan pintu Cepuri Parangkusumo, Nyai Roro Kidul hadir ke tempat itu untuk mengabulkan permohonan dari para peziarah sehingga dengan demikian peziarah berharap doanya akan terkabul. Berikut kutipan yang menegaskan hegemoni mitos Nyai Roro Kidul melalui ziarah di Puri Parangkusumo:

Laki-laki itu mengangkat bahu. “Monggo sampean sendiri yang
bisa menyimpulkan. Nanti kalau saya, dikira memaksakan kehendak.
Mentang-mentang Juru Kunci Parangkusumo, lalu berkata begitu. Orang
bisa saja menuduh saya seperti itu. Apalagi, setiap malam Jum’at Kliwon,
Ratusan peziarah minta pertolongan saya untuk mendoakan keinginan
mereka, memohonkan kemurahan Sang Pencipta lewat Nyai Roro Kidul.
Nanti dikira saya mencari kebenaran untuk diri sendiri karena punya
pamrih, hehehe....” (Sang Nyai).

Dari kutipan di atas dapat diyakini bahwa Nyai Roro Kidul dianggap akan bermurah hati dan memohonkan doa kepada Sang Pencipta, sehingga rakyat percaya bahwa doanya dapat terkabul. Hegemoni ini sangat kuat, ditandai dengan banyaknya peziarah yang datang ke Parangkusumo tiap malam Jum’at Kliwon, dan hal itu semakin menguatkan kekuasaan Nyai Roro Kidul sebagai Ratu gaib Pantai Selatan yang dihormati oleh masyarakat Jawa.


Referensi:
Hajarwati, Dwi Isma. 2013. “Mitos dalam Novel Sang Nyai Karya Budi Sardjono.” Skripsi. Jombang: STKIP PGRI.
Permatasari, Intan Dewi. 2013. “Nilai Budaya Jawa dalam Novel Sang Nyai Karya Budi Sardjono dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMA”. Skripsi. Tegal: Universtias Pancasakti.

Komentar

  1. Kalau sasajen ditunjukan kepada roh halus..taw supaya nambah keyakinan masyarakat..pa lagi di suguh kan pada Roro kidul ..belarti dia miskin dong ingin nya di siap kan sasajen..dia aja beli sendiri.bisa ga nego sama roh NYI Roro kidul.

    BalasHapus

Posting Komentar