10 Mitos tempat misteri situs sakral di indonesia

Mitos di indonesia

Situs sakral alami masih banyak terdapat di berbagai negara. Indonesia masih memilikinya di berbagai daerah, khususnya daerah yang masih terdapat masyarakat tradisional. Sebagai contoh masyarakat Baduy dan sekitar Jawa Barat, masyarakat Kampung Naga, masyarakat Suku Anak Dalam di Jambi, dan lainnya. Di berbagai wilyah di belahan dunia lain sekitar Asia, Africa dan wilayah lainnya masih ditemukan eksistensinya. Masyarakat yang mempunyai situs sakaral alami ini biasanya memiliki mitos-mitos tertentu akan wilayah yang mereka tempati.

Selanjutnya, atas dasar kepercayaan tersebut masyarakat melakukan ritual-ritual tertentu. Setidaknya, mereka memperlakukan situs tersebut dengan cara yang khas. Kebanyakan dari adanya mitos, ritual dan kepercayaan masyarakat tersebut akan berakibat positif bagi pengembangan dan konsesvasi lingkungan. Hal ini terungkap dalam berbagai studi yang dilakukan berkaitan dengan konservasi biodiversitas yang ternyata banyak dilakukan oleh masyarakat tradisional. Pada penelitian ini adakan ditunjukkan beberapa contoh mitos tentang situs sakral alami di berbagai daerah, sebagai penggambaran bahwa eksistensi tersebut berkontribusi banyak bagi pengembangan kearifan lingkungan dan disiplin Etika Lingkungan secara umum.

1. Mitos Onggoloco dan Hutan Wonosadi
Mitos Onggoloco dipercaya oleh masyarakat Beji Ngawen Gnung Kidul dan sekitarnya. Ini seperti hanya diurakikan dalam penelitian Sartini (2009:26-31). Mitos yag dipercayai masyarakat berawal dari kepercayaan mereka mengenai kedatangan orang-orang Majapahit karena adanya tekanan dari kerajaan Demak yang beragama Islam. Sekelompok keluarga yang terdiri dari antara lain seorang ibu, Roro Resmi, dan dua anak lelakinya ynag dikenal dengan Onggoloco dan Gadhingmas kemudian menetap di Wilayah Duren Beji Gunung Kidul dan menguasai lahan sampai hutan Wonosadi.

Perjuangannya menguasai tempat itu harus dilakukan dengan berjuang melawan penguasa makhluk halus yang bernama Gadhung Mlathi. Gadhung Mlathi yang takluk diperbolehkan tinggal di hutan dan bersedia membantu masyarakat sekitar dan tidak boleh menggangu. Onggoloco dan Gadhung Mlathi kemudian memanfaatkan hutan ini untuk memberi kepintaran kepada para pemuda dan juga untuk semadi. Pada masa tua, Onggoloco dan Gadhing Mas sering mengumpulkan para anak cucu keturunan dan mereka yang sudah berhasil dalam hidup. Para anak cucu diberi wejangan oleh para sesepuh ini dan mereka melakukan makan bersama untuk membangun kebersamaan.

Pada akhir masa tuanya, Ongoloco bersemadi dan mengalami moksa. Ia meninggal dan jasadnya tidak diketemukan. Sedangkan Gadhing Mas bertapa di Gunung Gambar, namun cerita tentang Gadhing Mas ini belum didapatkan secara cukup. Masyarakat sekitar hutan Wonosadi percaya akan kemampuan spiritual Onggoloco. Mereka juga mempercayai wasiat atau pesan yang disampaikan sebelum meninggalnya Onggoloco. Sebagian pesan adalah agar masyarakat menjaga hutan dan memelihara tanam-tanamannya yang dapat difungsikan sebagai obat. Para warga juga diberikan pesan untuk mengadakan acara serupa pada setiap tahun. Mereka anak cucu berkumpul agar dilanjutkan untuk menyambung tali kebersamaan atau silaturahmi dan waktunya ditentukan setelah panen sawah pada hari Senin Legi atau Kamis Legi. 

Atas dasar pesan inilah maka masyarakat setempat setiap tahun melakukan ritual Sadranan Wonosadi untuk memenuhi wasiat tersebut. Mereka mempercayai mitos-mitos terkait dengan kekuatan Onggoloco dan Gadhung Mlathi yang menguasai hutan. Mereka juga merasa harus selale menepati waktu diadakannya ritual Sadranan.

Sadranan dilakukan dengan ritual tertentu dan dengan perlengkapan (ubo rampe) yang sudah dtentukan seperti nasi tumpeng dan panggang ayam, atau nasi liwet dengan lauk pauknya yaitu sambel gepeng, gudheg, pencok dan gudhangan/uraban. Tidak jelas apakah jenis makanan ini sebagaimana yang disajikan pada waktu Onggoloco masih ada atau tidak. Bagaimana pun, kegiatan ini adalah bentuk penghargaan terhadap para leluhur. Biasanya, dalam budaya Jawa, ubo rampe upacara memiliki maksud simbolik tertentu yang melambangkan maksud dari kegiatan tersebut.

Di samping kepercayaan tersebut masyarakat sangat percaya pada kekuatan supranatural para penghuni hutan Wonosadi. Bahkan ketika dilakukan Sadranan, masyarakat sekitar Wonosadi mempercayai kedatangan roh Onggoloco dalam acara tersebut. Kekuatan para makhlus lain juga dipercayai menjaga hutan dengan adanya gangguan-gangguan bagi para warga masyarakat yang melakukan kegiatan di hutan tidak dengan cara yang baik, misalnya merusak, mengambil dan menebang pepohonan.

Masyarakat juga mempercayaai bahwa para makhluk halus tersebut akan menjaga mereka dari orang-orang jahat misalnya pencuri. Atas dasar kepercayaan ini maka memperkuat kesungguhan dan loyalitas untuk selalu melakukan ritual Sadranan untuk menghargai keberadaan mereka. Kepercayaan ini sangat bermanfaat bagi fungsi konservasi hutan sehingga diversitas kekayaan hutan masih terjaga, baik flora maupun faunanya. Terutama kekayaan tumbuhan dan aneka obat menjadi kekayaan hutan ini. Semangat memelihara alam menjadi bagian dari hidup masyarakat sekitar karena dibarengi dengan kepercayaan akan kekuatan spiritual yang berkaitan dengan keberadaan hutan tersebut.

2. Mitos Leuweung Titipan di Gunung Halimun
Di kawasan Gunung Halimun hidup sekelompok masyarakat yang masih kukuh memegang kebiasaan adat nenek moyangnya. Salah satu konsep yang mereka pegang adalah tentang hutan. Bagi mereka hutan disebut sebagai leuweung titipan `hutan yang dititipkan`. Hutan ini diakui oleh mereka sebagai hutan keramat. Menurut pandangan mereka, hutan leuweung titipan merupakan lahan cadangan atau tanah awisan incu-putu yang diperuntukkan anak-cucu yang penggunaannya dalam wewenang pimpinan adat mereka yang disebut sesepuh girang setelah mendapat wangsit karuhun.

Mereka percaya bahwa pada suatu saat nanti, apabila perintah dari karuhun tiba, kampung gede, yang merupakan pusat kegiatan pemerintahan dan upacara adat kasepuhan , akan pindah dari lokasi sekarang di kampung Ciptagelar ke wilayah rurukan jero di sekitar wilayah leuweung titipan. Keyakinan itu mereka sebut uga yaitu hari yang ditentukan oleh karuhun. Perpindahan kampug gede itu diyakini sebagai perpindahan terakhir yang mereka lakukan selama ini.

Adapun tugas utama sesepuh girang adalah menjaga dan memelihara leuweung titipan tersebut. Pelanggaran terhadap ketentuan karuhun itu diyakini akan menyebabkan bencana yang dirasakan baik berupa gangguan fisik atau psikis bagi mereka yang melanggarnya, yang disebut dengan istilah kabendon.

3. Mitos Kerbau Liar di Desa Tenganan, Bali
Cerita yang berkembang dan dipercayai oleh masyarakat di desa Tenganan, Pegringsingan, kabupaten Karangasem adalah sebagai berikut. Pada abad XV Raja Maya Dewawa sang penguasa di kerajaan Karangasem berselisih dengan Dewa Indra. Percecokan itu hingga terjadi secara terbuka berupa peperangan. Peperangan itu akhirnya dimenangkan oleh Dewa Indra. Untuk mengenang dan menghormati peristiwa itu maka di tempat tersebut diadakan upacara penyucian dengan menyembelih seekor kuda. Kuda korban tersebut disebut oncesrawa.

Ketika akan disembelih kuda oncesrawa rupanya mengetahuinya maka kuda tersebut melarikan diri dan menghilang. Masyarakat menjadi gaduh, ramai-ramai menangkap kuda oncesrawa, akan tetapi usahanya tidak berhasil. Masyarakat lalu mengaduh dan memohon petunjuk kepada Dewa Indra. Permohonannya dikabulkan bahkan Dewa Indra akan memberi penghargaan kepada siapa pun yang dapat menemukan kuda tersebut, baik dalam keadaan mati atau pun hidup. Dikatakan oleh Dewa Indra bahwa hadiah yang akan dijanjikan adalah berupa wilayah kekuasaan dengan batas wilayah bau bangkai kuda sampai tidak tercium lagi.

Masyarakat segera memburu kuda oncesrawa yang menghilang tersebut. Ada sekelompok orang yang yang biasa disebut wong paneges atau wong penengen. Mereka ini termasuk orang-orang yang dikasihi karena selalu taat dan menghormati kepada Dewa Indra. Bangkai kuda berhasil ditemukannya. Wong penengen tersebut diberi daerah dengan batas seperti yang dijanjikan. Oleh wong penengen daerah pemberian tersebut diberi nama desa Tenganan, yang berasal dari kata tengen.

Daerah Tenganan, tempat matinya kuda oncesrawa, ini sangat subur, banyak jenis tumbuhan hidup. Di samping itu banyak dijumpai beraneka satwa liar, misalnya, ular, kera, burung, musang, landak, dan kerbau. Mereka ini keberadaannya dilindungi oleh masyarakat Tenganan. Bahkan, di desa ini terdapat sekelompok kerbau yang liar, tidak dipelihara. Mereka bebas ke mana saja, mau hidup yang di perkampungan maupun di hutan. Masyarakat desa Tenganan tidak mengusik atau merasa terganggu atas keberadaan kerbau liar tersebut. Masyarakat merasa mendapat berkah dan bersahabat terhadapnya. Oleh karena itu, kerbau liar dan jenis-jenis satwa lain yang hidup di daerah ini dilindungi keberadaanya oleh masyarakat supaya tidak punah.

Kerbau liar yang misterius ini biasanya mencari makan di kawasan hutan dan perkampungan. Kalau ke rbau berada di depan rumah seseorang,maka orang tersebut percaya mereka mendapat kunjungan, sehingga mereka wajib memberikan makan, karena “kehadiran tamu”. Biasanya kerbau tersebut diberi makan daun kelor dan berbagai jenis tumbuhan yang ada di sekitar kampung.

Masyarakat Tenganan mempercayai kerbau liar itu mempunyai keajaiban, misalnya kotorannya dapat digunakan sebagai obat, kutunya dapat menyembuhkan berbagai penyakit, dan sebagainya. Kerbau hanya boleh digunakan untuk upacara suci di pura yang digunakan sebagai caru, yang berlangsung setiap tahun sekali. Caru kerbau ini diyakini mempunyai makna dapat mengembalikan kekuatan bumi ke kekuatan yang ada di sekitarnya.

Agar keberadaan kerbau liar yang diyakini telah membawa berkah, maka masyarakat melakukan hal-hal sebagai berikut.

a. Menjaga keberadaanya, tidak boleh diperdagangkan. Kerbau liar hanya boleh dimanfaatkan untuk caru pura yang dilakukan setahun sekali.
b. Untuk mencukupi makan kerbau liar, maka masyarakat berusaha menanam tanaman di lahan perkampungannya dan melestarikan hutan agar tetap lebat.

4. Wana Ngkiki pada Masyarakat Toro Sulawesi Tengah
Golar Baso (dalam Soedjito, 2009:251-253) menjelaskan bahwa pada masyarakat adat Toro di Sulawesi Tengah, dikenal adalah kawasan hutan keramat yang disebut Wana Ngkiki dan Wana. Menurut Taswirul Aliyatin Widjaya (2009), Ngkiki adalah kawasan hutan primer yang hanya ditumbuhi rerumputan dan lumut sedangkan Wana adalah hutan primer yang di dalamnya hidup hewan dan tetumbuhan langka yang bisanya dipakai sebagai obat. Wilayah ini miliki kolektif masyarakat kecuali damar dapat dimiliki oleh orang pertama yang menemukannya. Selain kedua jenis kawasan hutan, masih ada kawasan hutan lain yang dapat dimanfaatkan secara lebih bebas dengan pengaturan masyarakat adat Toro, yang berkaitan dengan pembukaan lahan, pemanenan kayu dan juga pengambilan rotan.

Lanjut Baso, bagi masyarakat Toro, wilayah hutan ini dianggap keramat karena di dalamnya masyarakat sering melakukan aktivitas spiritual. Wilayah hutan ini tidak boleh diubah fungsinya oleh masyarakat, misalnya menjadi hutan produktif. Sesuai dengan fungsinya yang hanya menjadi tempat melakukan kegiatan spiritual, maka hutan ini memiliki nilai konservasi tinggi. Wilayah ini dipastikan menjadi sumber udara segar dan daerah tangkapan air hutan. Wilayah ini menempatkan fungsinya sebagai pengkeramatan sosial, spiritual dan adat.

5. Mitos Hutan Keramat Suku Baduy
Menurut kepercayaan suku Baduy bahwa bumi dianggap bermula dari masa yang kental dan bening, lama-kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal, tempat diciptakan bumi tersebut diyakini terjadi di daerah Sasaka Buana, di Gunung Pamuntuan, di daerah hulu sungai Ciujung, bagian selatan kampung Cikeusik, daerah Tangu (Baduy Dalam).

Sementara, Batara Cikal, salah satu tujuh batara yang dianggap leluhur suku Baduy dipercayai diturunkan di Parahiangan atau biasa disebut Sasaka Domas, yang menjadi tempat awal kelahiran Sunda wiwitan. Hutan Sasaka Domas ini termasuk daerah yang paling disakralkan. Daerah ini menjadi tempat pemujaan, tidak boleh dikunjungi setiap waktu, termasuk orang Baduy sendiri.

Dua daerah hutan yaitu Sasaka Buana dan Sasaka Domas merupakan kawasan yang dilindungi dan disakralkan keberadaannya. Mereka yakin bahwa awal dunia dan awal manusia lahir dari daerah tersebut. Mereka menggunakan sistem perlindungan untuk menjaga kawasan tersebut. Orang Baduy membagi menjadi tiga zona perlindungan hutan, yaitu.

a. Daerah perkampungan dan dukuh lembur. Daerah yang tidak boleh dibuka dijadikan huma atau ladang.
b. Daerah untuk huma atau reuma, yaitu hutan sekunder bekas ladang yang diberakan.
c. Daerah hutan tua, yaitu hutan yang dikonservasi dan dicadangkan, tidak pernah dijadikan ladang.

Pada zona pertama dan kedua, daerah perkampungan dan dukuh lembur serta daerah huma dan reuma, menjadikan daerah ini rimbun ditutupi beraneka vegetasi. Hal ini berfungsi penting bagi pelestarian keanekaragaman hayati, perlindungan tanah dari bahaya erosi, pengaturan sistem hidrologi, habitat satwa liar, memelihara iklim mikro, dan fungsi sosial ekonomi. Sementara, pada zona ketiga, hutan titipan atau leuweung kelot, mempunyai fungsi ekologi hayati.

Oleh karena itu, hutan keramat tersebut terhindar dari penebangan, pembukaan sawah dan kerusakan, serta memiliki fungsi sangat penting bagi tujuan konservasi, yaitu konservasi jenis-jenis tumbuhan, sebagai habitat jenis-jenis fauna,fungsi perlindungan tanah dan hidrologi air sungai,fungsi menjaga iklim mikro, dan fungsi sosial budaya untuk kepentingan agama/kepercayaan masyarakat lokal seperti orang Baduy.

Menurut kepercayaan suku Baduy bahwa bumi dianggap bermula dari masa yang kental dan bening, lama-kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal, tempat diciptakan bumi tersebut diyakini terjadi di daerah Sasaka Buana, di Gunung Pamuntuan, di daerah hulu sungai Ciujung, bagian selatan kampung Cikeusik, daerah Tangu (Baduy Dalam).

Sementara, Batara Cikal, salah satu tujuh batara yang dianggap leluhur suku Baduy dipercayai diturunkan di Parahiangan atau biasa disebut Sasaka Domas, yang menjadi tempat awal kelahiran Sunda wiwitan. Hutan Sasaka Domas ini termasuk daerah yang paling disakralkan. Daerah ini menjadi tempat pemujaan, tidak boleh dikunjungi setiap waktu, termasuk orang Baduy sendiri.

Dua daerah hutan yaitu Sasaka Buana dan Sasaka Domas merupakan kawasan yang dilindungi dan disakralkan keberadaannya. Mereka yakin bahwa awal dunia dan awal manusia lahir dari daerah tersebut. Mereka menggunakan sistem perlindungan untuk menjaga kawasan tersebut. Orang Baduy membagi menjadi tiga zona perlindungan hutan, yaitu.

a. Daerah perkampungan dan dukuh lembur. Daerah yang tidak boleh dibuka dijadikan huma atau ladang.
b. Daerah untuk huma atau reuma, yaitu hutan sekunder bekas ladang yang diberakan.
c. Daerah hutan tua, yaitu hutan yang dikonservasi dan dicadangkan, tidak pernah dijadikan ladang.

Pada zona pertama dan kedua, daerah perkampungan dan dukuh lembur serta daerah huma dan reuma, menjadikan daerah ini rimbun ditutupi beraneka vegetasi. Hal ini berfungsi penting bagi pelestarian keanekaragaman hayati, perlindungan tanah dari bahaya erosi, pengaturan sistem hidrologi, habitat satwa liar, memelihara iklim mikro, dan fungsi sosial ekonomi. Sementara, pada zona ketiga, hutan titipan atau leuweung kelot, mempunyai fungsi ekologi hayati. 

Oleh karena itu, hutan keramat tersebut terhindar dari penebangan, pembukaan sawah dan kerusakan, serta memiliki fungsi sangat penting bagi tujuan konservasi, yaitu konservasi jenis-jenis tumbuhan, sebagai habitat jenis-jenis fauna,fungsi perlindungan tanah dan hidrologi air sungai,fungsi menjaga iklim mikro, dan fungsi sosial budaya untuk kepentingan agama/kepercayaan masyarakat lokal seperti orang Baduy.

6. Mitos Tana Toa di Bulu Kumba Sulawesi Selatan
Menurut kepercayaan masyarakat Tanah Toa, Kajang, bahwa hutan merupakan pusat kehidupan dan dipercayai di hutan ini bersemayam para arwah dan roh-roh nenek moyang mereka. Para roh dan arwah dapat naik turun, dari bumi ke langit dan sebaliknya dari langit turun ke bumi. Dari konsep ini dapat diambil pengertian bahwa asal usul manusia Tanah Toa,Kajang itu berasal dari kehidupan hutan.

Manusia pertama Amma Toa turun dari langit ke bumi terjadi di daerah hutan Tombolo atau kawasan hutan. Keberadaan bumi pertama kali dipercayai dibuat oleh Turie’Ara’na. Turie’ Ara’na ini adalah yang menguasai kawasan hutan yaitu tanah tua atau Tana Toa. Turi Ara’na dan manusia digambarkan mempunyai hubungan yang erat. Tuhan dan alam adalah satu adanya. Konon menurut kepercayaan Patuntung yang dianut oleh orang-orang Tanah Toa, Kajang, bahwa dalam diri manusia terbentuk dari unsur dari ibu, unsur dari ayah, dan unsur dari Turie’ Ara’na. Ibu memberikan darah daging, urat, dan otak. Ayah memberikan bulu, kulit, kuku, dan tulang. Sedangkan Turie’ Ara’na memberikan mata, telinga, hidung, mulut, dan hati/perasaan.

Manusia dan hutan mempunyai keterkaitan sejak adanya manusia. Oleh sebab itu bagi masyarakat Tanah Toa, Kajang, kehadiran hutan tidak dapat dilepaskan dengan kehidupannya. Aturan-aturan yang mengatur hidup kemasyarakatannya tertuang dalam ajaran Pasang.

Ajaran Pasang itu dianggap kehendak dari yang Maha Berkehendak yang disampaikan dengan lisan dan tidak boleh ditulis, yang diturunkan pada Ammatoa I, kemudian diteruskan ke Ammatoa penerus dan dianggap sebagai sumber nilai yang mengatur kehidupan dunia dalam perjalanan menuju khidupan kemudian. Pasang ini dianggap sebagai sumber hukum (adat) lingkungan keammatoaan, yang paling dasar.

Pasang tidak boleh diubah atau ada yang berusaha mengubahnya. Larangan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk melestarikan, baik Ammatoa, lingkungan , dan budaya. Ammatoa adalah pemimpin kepercayaan patuntung yang dianut oleh masyarakat Tanah Toa, Kajang. Ammatoa ini bertugas membimbing masyarakatnya agar berperilaku layak dan benar. Seorang Ammatoa harus buta huruf.

Masyaratkat Tanah Toa, Kajang, menganut kepercayaan Patuntung dengan ajaran yang disebut Pasang atau pesan. Adapun beberapa pesan tersebut misalnya sebagai berikut.
a. Jagalah dunia beserta isinya, langit, manusia, dan hutan.
b. Hujan dan hutan tak dapat dipisahkan. Penebangan yang tak terkendali akan akan mengurangi hujan dan hilangnya sumber mata air. Oleh karena itu penebangan hutan dianggap sebagai sebuah pelanggaran.
c. Urusan penebangan hutan adalah tugas dan kewenangan Ammatoa untuk menghalangi dan melarangnya.

Selanjunya, dalam hukum adat untuk penebangan kayu di hutan wilayah TanahToa Kajang, dijelaskan sebagai berikut.

a. Pokok Babbalak, yaitu kalau batang kayu diambil dari Borongna Karamaka, hutan lindung keramat, maka akan didenda sebesar Rp. 800.000,00 dan segulung kain putih.
b. Tannga Babbalak, yaitu kalau pohon yang ditebang di Borongna Battasaya, hutan dekat kebun, maka akan didenda sebesar Rp. 400.000,00 dan segulung kain putih.
c. Cappak Babbalak, jika pohon yang ditebang dari koko atau kebun orang, maka didenda sebesar Rp. 200.000.00.

7. Kawasan Larangan di Mandailing Natal Sumatera Utara
Zulkifli Lubis (dalam Soedjito, 2009: 165-172) mengadakan kajian tentang daerah Mandailing Natal. Dan menemukan istilah “rarangan” atau larangan, daerah yang dilarang dijamah manusia dengan semena-mena. Ada beberapa wilayah yang termasuk daerah larangan antara lain kawasan yang berhubungan dengan sumber mata air.

Yang termasuk kawasan dilarang adalah kawasan hutan “arangan rarangan”, juga daerah aliran sungai yang dipantangkan untuk mengmbil ikan atau disebut lubuk larangan. Narobo-robo, daerah yang dingin-dingin, atau yang lembab-lembab, pantang dimasuki manusia atau paling tidak bila seseorang ingin memasukinya harus dengan cara hati-hati. Kawasan semacam ini diangap sebagai hunian makhluk halus atau kekuatan supraalami. Kawasan ini biasanya terdapat di hulu sungai, sekitar mata air, tau di lereng atau puncak gunung. Dalam bahasa Mandailing kawasan ini disebut rubaton, kawasan yang dipercayai dikuasai oleh makhluk halus.

Kepercayaan akan wilyah kekuasaan makhuk halus ini berkaitan dengan kepercayaan animistik. Masyarakat dulu mempercayai bahwa menebang kayu sembarangan akan membuat celaka. Anak-anak juga dilarang bermain di aliran sungai dan di lubuk yang dalam dengan pohon-pohon rimbun. Anak-anak dilarang mengganggu sigulambak, makhluk halus yang sedang mandi di sungai atau anak-anak dilarang mengganggu ikan-ika peliharaan makhluk halus tersebut.

8. Potingan di Rokdok Siberut Sumatera Barat
Menurut Darmanto, dalam Soedjito (2009: 139-141), di wilayah Siberut terdapat satu daerah yang sangat dikeramatkan yaitu di dusun Rokdok, yang luasnya hanya sekitar lima kilo meter persegi. Kawasan Rokdok dapat dikategorikan sebagai hutan sekunder, tetapi dikeramatkan dan tidak sembarang orang bisa masuk. Kawasan ini dianggap keramat karena menurut pengalaman masyarakat sekitarnya, wilayah ini mempunyai kegaiban-kegaiban.

Potingan berasal dari kata po atau polak yang berarti tanah, dan ngaaat, yaitu tiruan bunyi pintu yang berderit dari rumah tua Mentawai jaman dulu. Bunyi seperti pintu berderit ini dipercayai berasal dari satu dinding di salah satu tebing. Bunyi tersebut sangat ditakuti masyarakat karena bila terdengar, dipercayai akan muncul kejadian luar biasa seperti orang meninggal, wabah penyakit massal, atau bencana alam. Masyarakat juga mempercayai adanya ayam jantan raksasa, yang bia ayam tersebut berkoko juga merupakan pertanda kematian.

Tidak hanya bunyi pintu dan kokok ayam, masyarakat sekitar mengaku sering mendengar bunyi tetabuhan, gong dan gendang. Suara ini juga dianggap sebagai pertanda mala petaka, bencana alam, wabah penyakit atau kematian. Masyarakat juga mempercayai bau harum “sikopuk” yang tanaman ini hanya dapat dilihat oleh orang pintar. Dari beberapa sumber dijelaskan bahwa sikerei adalah pimpinan adat yang dapat berkomunikasi dengan makhluk halus atau dukun yang bisa mengobati orang sakit. Masyarakat dapat menghirup bau sikopuk ini sebagai obat.

Mereka mempercayai salah satu bagian, di wilayah puncak kawasan ini, merupakan tempat berkumpulnya roh para leluhur mereka. Bagi masyarakat Rokdok, semua kegiatan yang berhubungan dengan hutan harus dilakukan dengan ijin. Ijin dilakukan dengan mengadakan upacara yaitu upacara Paniki yang ditujukan kepada leluhur. Pengalaman seorang informan, Fransiscus Aman Lauren, menunjukkan keganjilan ketika ia tidak sengaja melempar puntung rokok dan membakar ranting-ranting. Pada perjalanan pulang, tiba-tiba rambut kepalanya habis terbakar. Masyarakat juga percaya bahwa mereka dilarang mandi telanjang di sungai yang melintasi Potingan maka orang tersebut akan mengalami sakit. Menebang kayu tanpa melakukan Punaki juga dilarang karena dipercaya dapat menimbulkan celaka. Masyarakat percaya tidak boleh berbicara dan berbuat buruk di wilayah hutan.

Pola kepercayaan masyarakat yang sangat kuat, secara tidak langsung berakibat pada pemeliharaan hutan. Masyarakat akan sangat terbatasi untuk memanfaatkan hutan sehingga konservasi hutan dan kerusakan lingkungan hutan relatif lebih dapat terjaga.

9. Tempat-tempat Keramat pada Masyarakat Suku Dani-Baliem Papua
Menurut penelitian Purwanto, dalam Soedjito (2009:192-203), disimpulkan bahwa sekalipun masyarakat suku Dani-Baliem Papua memiliki kawasan-kawasan hutan yang dikeramatkan, tetapi mereka pada dasarnya tidak menempatkan fungsi konservasi sebagai efek dari pengkeramatan hutan. Hal ini mungkin berkaitan dengan kehidupan masyarakat yang cenderung banyak melalukan peperangan antar suku. Pengeramatan hutan bagi masyarakat ini lebih merupakan alasan tradisi dan penguasaan teritori dibandingkan dengan motivasi melakukan konservasi. Meskipun demikian, apa yang mereka lakukan sesungguhnya berdampak pada fungsi konservasi.

Masyarakat Dani-Baliem Papua memiliki empat kawasan hutan yang dilindungi dan dianggap keramat, yaitu:

a. Tempat keramat (wakunmo)
Kawasan ini adalah tempat tertentu di batas daerah kekuasaan dan tempat tersembunyi di kaki-kaki bukit. Kawasan sakral ini dijadikan sebagai tempat untuk menyimpan tombak yang dibungkus alang-alang dan merupakan peninggalan orang yang telah meninggal. Penyimpanannya dilakukan setelah pembakaran mayat (kremasi). Wilayah yang merupakan tempat keramat untuk menyimpan tanda kematian ini merupakan tanda penguasaan wilayah.

b. Tempat sakral dan rahasia (wusanma)
Kawasan ini merupakan tempat menyembunyikan benda-benda adat dan senjata perang seperti anak panah dan tombak. Kawasan ini berkaitan dengan tanda keperkasaan dari seseorang yang telah membunuh musuh-musuhnya. Penyimpanan benda-benda adat ini di masa damai dilaksanakan di pilamo adat (pilamo adalah rumah adat Papua, Honai) sedangkan pada masa perang dan genting penyimpanan dilakukan di tempat rahasia (wusanmo). Kawasan ini disakralkan karena tempat ini juga merupakan tempat nenek moyang mereka disemayamkan.

c. Tempat perang dan tempat terbunuhnya kepala suku (wima-bunasili)
Kawasan ini cukup sempit untuk wilayah hutan, hanya terdiri dari puluhan atau waturan meter persegi saja. Meskipun kawasan ini termasuk keramat tetapi orang awam masih boleh masuk dengan syarat tidak melakukn pengrusakan.

d. Tempat yang dilindungi (wikimono, wileboma,sinoma).
Kawasan ini lebih bebas, merupakan daerah tumbuh jenis tumbuhan tertentu. Wikomono berada di lembah dan merupakan daerah yang banyak ditumbuhi bahan pagar dan kayu bakar. Wileboma adalah wilayah yang banyak ditumbuhi pohon pelindung angin yang biasa dipakai sebagai bahan bangunan. Sedangkan wilayah siroma banyak ditumbuhi pepohonan sin yang dianggap mempunyai nilai tinggi.

10. Faknik di Pulau Panreki Biak-Numfor Papua
Yuanike dalam tulisane (dalam Sudjito, 2009:205-210). Melakukan penelitin di Pulau Panreki Biak-Numfor Papua. Ia mendapatkan adanya fungsi sentral dari faknik, suatu entitas yang dipercaya menguasai tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat.

Faknik, menurut persepsi dan pengalaman masyarakat, adalah hantu laut yang dapat mewujud seperti batu karang yang besar, daratan yang tiba-tiba muncul, ikan atau gurita raksasa, gelobang besar atau adanya cahaya yang terang. Faknik dipercayai muncul pada waktu tertentu misalnya malam hari atau pada malam bulan sabit. Faknik akan muncul ketika seeorang tidak menepati nazarnya atau melakukan tindakan asusila. Kepercayaan pada faknik merupakan pengakuan secara adat pada kekuatan alam dan kekuatan gaib yang memiliki hubungan emosional dengan pulau Panreki.

Ketika orang bertemu dengan faknik, maka ia harus melakukan ritual tolak bala supaya perjalanannya lancar. Ritual tolak bala merupakan ungkapan minta maaf kepda hantu laut. Ritual dilakukan dengan mencuci tangan dan membasuh muka dengan air laut dengan diikuti lafal permohonan maaf. Aktivitas berikutnya adalah melakukan pelemparan sesaji yang terdiri dari sirih, pinang, tembakau dan benda-benda logam seeprti ung, timah, atu perhiasan. Usai melakukan ritual, masyarakat akan merasa aman.

Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa kepercayaan terhadap faknik akan mempengaruhi cara masyarakat berhubungan dan memperlakukan alam. Hal ini termasuk juga tentang moralitas dalam kehidupan.


Referensi:
Sartini, 2009, Mutiara Kearifan Lokal Nusantara, Kepel Press, Yogyakarta.
Soedjito, Herwasono, dkk., 2009, Situs Keramat Alami: Peran Budaya dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati, MAB Indonesia, Jakarta.
Taswirul Aliyatin Widjaya, 2009, “Kearifan Lokal Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu Palu Sulawesi tengah dalam Pengelolaan Hutan dan Pemanfaat Sumber Daya Alam”.

Komentar