Siraman, dari kata siram yang artinya menguyur atau mandi. Banyak sekali ritual mandi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama ketika akan melakukan sebuah upacara budaya. Sepasang pengantin akan melangsungkan ijab qabul sehari sebelumnya juga melakukan upacara siraman. Mandi dalam kehidupan sehari-hari dilakukan agar orang menjadi bersih badannya, segala kotoran yang melekat di badan akan hilang tersapu air dan sabun. Akan tetapi hakikat dari mandi (siraman) dalam upacara pengantin adat Jawa tidak hanya sekedar membersihkan wadag badan tetapi juga membersihkan jiwa. Membersihkan diri dari noda dan dosa serta sifat-sifat yang kurang baik. Membersihkan segala gangguan agar supaya pada saat prosesi ijab qabul tidak lagi ada aral yang melintang. Pengantin agar dapat memulai hidup baru dengan keadaan yang bersih dan suci.
Secara rasional siraman (mandi) mempunyai pengaruh secara fisik, badan yang loyo akan menjadi segar apabila terkena siraman air, indera penciuman akan terpuaskan dengan wanginya bunga-bunga sritaman, indera peraba dapat menikmati segarnya air yang menyapu tubuh, indera penglihatan menjadi bahagia melihat air yang diberi berbagai macam bunga, biasanya dengan diiringi musik gamelan maka gelombang otakpun menjadi lebih tenang.
Mandi dalam konteks Islam dan siraman dalam pandangan filsafat memiliki relasi yang sangat sinergis kedua-duanya memiliki makna bahwa baik mandi maupun siraman berusaha menghilangkan kotoran, dalam Islam disebut hadas sedangkan dalam pemaknaan filsafat disebut kotor/dosa. Tujuan dari keduanya sama yaitu untuk mencapai kesucian, dalam Islam agar syah untuk melakukan ibadah shalat, puasa dan haji, sedangkan untuk filsafat agar suci untuk dapat sangkan paraning dumadi.
Kehidupan masyarakat Jawa sangat bersifat seremonial, mereka selalu ingin meresmikan suatu keadaan melalui upacara. Upacara-upacara yang dilakukan masyarakat Jawa berkaitan dengan siklus kehidupan manusia. Upacara-upacara ini dilakukan dalam rangka membereskan suatu keadaan untuk mencapai tujuan. Upacara-upacara ini termasuk adat istiadat yang sifatnya sakral baik mengenai niat, tujuan, bentuk upacara, perlengkapan upacara maupun tata laku pelaksanannya. Sehingga ketika akan melaksanakan upacara maka membutuhkan persiapan yang benar-benar matang bahkan terkesan jlimet.
Salah satu seremonial yang bersifat adat istiadat yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa ketika akan menikahkan putra-putrinya adalah menyelenggarakan upacara siramannya itu disiram atau dimandikan. Siraman merupakan mandi ritual dimaksudkan agar calon pengantin menjadi bersih secara spiritual dan berhati suci. Di dalam upacara siraman ini memiliki tata urutan dan perlengkapan (ubarampe) yang sudah ada aturannya (maton/pakem). Nilai-nilai yang terkandung di dalam setiap rentetean alur pelaksanaan dan peralatannya semua menjadi penting karena memiliki arti dan makna.
Mempelajari dan memahami budaya Jawa, ibarat memasuki hutan simbol yang rimbun, di dalamnya penuh tantangan, keunikan dan sekaligus daya tarik yang menggoda. Sadar atau tidak, banyak falsafah dalam budaya Jawa yang masih memiliki denyut aktualitas. Tidak semua falsafah Jawa usang, tetapi jika dilakukan reaktualisasi akan semakin ada kejelasan makna. Hutan simbol rimbun yang penuh dengan isyarat semu, yang antik, yang artistik, yang memiliki nilai estetik dan nilai etik tidak akan dapat ditangkap arti dan maknanya apabila tidak diungkap secara komprehensif, bahkan bisa jadi menyebabkan pemahaman yang sepotong-potong atau hanya tertangkap kulitnya saja.
Mempelajari dan memahami budaya Jawa, ibarat memasuki hutan simbol yang rimbun, di dalamnya penuh tantangan, keunikan dan sekaligus daya tarik yang menggoda. Sadar atau tidak, banyak falsafah dalam budaya Jawa yang masih memiliki denyut aktualitas. Tidak semua falsafah Jawa usang, tetapi jika dilakukan reaktualisasi akan semakin ada kejelasan makna. Hutan simbol rimbun yang penuh dengan isyarat semu, yang antik, yang artistik, yang memiliki nilai estetik dan nilai etik tidak akan dapat ditangkap arti dan maknanya apabila tidak diungkap secara komprehensif, bahkan bisa jadi menyebabkan pemahaman yang sepotong-potong atau hanya tertangkap kulitnya saja.
Banyak orang yang melihat dan melakukan adat upacara siraman ketika ada prosesi upacara perkawinan, tetapi banyak juga yang tidak tahu makna, arti dan tujuannya, padahal di dalamnya sarat dengan simbol yang perlu dipahami. Masing-masing simbol dalam alur rentetan pelaksanaan dan peralatannya penuh makna maka harus dilakukan sebuah kajian agar makna dan simbol menjadi jelas arti, maksud dan tujuannya, sehingga upacara siraman tidak saja dijadikan lambang kemegahan bagi yang punya hajat dan status sosial dimana seseorang berada, tetapi upacara siraman diadakan dalam rangka melestarikan adat istiadat yang di dalamnya memang sarat dengan makna.
Adakalanya pertemuan antara budaya lokal dengan ajaran agama terlihat tidak sejalan dengan kaidah ajaran agama. Tetapi pengalaman sejarah yang panjang dalam hal integrasi budaya lokal dengan unsur budaya pendatang mampu menyajikan sebuah kekayaan budaya bangsa bahkan sebagai alat pemersatu bangsa, sebab budaya merupakan hasil karya manusia, sehingga manusia sendirilah yang dapat menerima, menolak atau mengubah budaya tersebut.
Salah satu bentuk integrasi budaya lokal dengan budaya pendatang adalah diadakannya upacara siraman ketika akan melakukan pernikahan. Upacara siraman yang di dalamnya memuat nilai-nilai filosofis dan nilai agama (religi), terlepas dari persoalan pro dan kontra, syirik atau tidak syirik, inilah sebuah kenyataan bahwa budaya siraman ini ada di masyarakat Jawa dan dijalankan oleh masyarakat Jawa. Dalam rangka mengungkap makna simbolis yang terdapat dalam upacara siraman yang penuh dengan simbol-simbol dan butuh pemaknaan ini, maka sebuah penelitian tentang upacara siraman penting dilakukan agar masyarakat yang melakukan upacara ini paham akan apa yang dilakukan.
Referensi:
Ahnadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Purwadi, Tata Cara Pernikahan Pengantin Jawa, Yogyakarta: Media Abadi, 2004.
Endah, Kuswo, “Petung, Prosesi dalam Ritual Manten Masyarakat Jawa”, Jurnal Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan Seni UNY, Vol. I No 2 Agustus 2006.
Referensi:
Ahnadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Purwadi, Tata Cara Pernikahan Pengantin Jawa, Yogyakarta: Media Abadi, 2004.
Endah, Kuswo, “Petung, Prosesi dalam Ritual Manten Masyarakat Jawa”, Jurnal Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan Seni UNY, Vol. I No 2 Agustus 2006.
Komentar
Posting Komentar