Manusia purba tertua di jawa indonesia

Sejarah manusia purba tertua di pulau jawa indonesia
 

Pithecanthropus, yang berarti “Manusia kera” telah ditemukan lebih dari satu abad yang lalu di Trinil, Jawa Timur. Ini merupakan penemuan pertama fosil manusia purba yang berbeda dari manusia modern. Dapat dipastikan bahwa lebih dari satu juta tahun yang lalu mereka sampai di Pulau Jawa dari daratan Asia Tenggara, melalui jembatan daratan yang terbentuk akibat turunnya muka air laut pada zaman es. Menurut beberapa ahli antropologi, asal manusia purba dapat ditelusuri di dalam kelompok Hoino erectus yang muncul di Afrika sekitar 1,7 juta tahun yang lalu, yang kemudian menjelajahi dunia. Akan tetapi, adanya bentuk arkaik di dalam fosil-fosil tertentu, seperti rahang bawah Meganthropus - “Manusia raksasa” - membuat beberapa peneliti berpendapat bahwa ada makhluk yang lebih primitif, mirip dengan Australopithecus di Afrika, yang pernah hidup di Pulau Jawa.

Pithecanthropus, yang fosilnya ditemukan di banyak situs, telah hidup dan berevolusi di Pulau Jawa selama lebih dari satu juta tahun. Kubah Sangiran yang terletak di depresi Solo (di utara kota Solo) merupakan daerah teniuan fosil manusia purba yang paling kaya dan yang paling lengkap dari segi stratigrafi di Pulau Jawa.

Stratigrafi daerah Sangiran diawali dengan batu lempung yang diendapkan di laguna pada akhir Pliosen, sekitar dua juta tahun yang lalu. Laguna tersebut kemudian diisi oleh breksi volkanik dan lahar. Pada Plestosen bawah diendapkan pada lingkungan rawa, yaitu batu lempung Pucangan di mana dijumpai fosil manusia yang paling tua di dalamnya.

Di bagian atasnya terdapat konglomerat yang kemudian diikuti oleh endapan sungai purba (formasi Kabuh, 800.000 tahun yang lalu), di mana ditemukan sebagian besar fosil Pithecantropus. Satuan ini kemudian ditutupi oleh breksi dan lahar Notopuro.

Berdasarkan karakternya, Pithecanthropus mempunyai hubungan dengan Horno erectus khususnya yang ditemukan di Benua Asia. Tulang pahanya menunjukkan bahwa mereka telah berjalan di atas dua kaki dan pada usia dewasa mempunyai tinggi sekitar 1,7 meter. Fosil manusia yang paling arkais memiliki bagian atas tengkorak yang lebar dali datar, membuktikan bahwa otaknya kurang berkembang. Tulang tengkorak umumnya tebal dengan super struktur seperti adanya atap tengkorak yang meninggi (saggital keel) dan tulang alis mata yang sangat menonjol.

Tempat hidup
Pada Plestosen Bawah dan awal Plestosen Tengah (kira-kira antara 1,7 dan 0,7 juta tahun), beberapa daerah di bagian tengah dari timur Pulau Jawa masih berupa lautan. Secara perlahan laut tersebut mundur dan memberikan tempat bagi pegunungan dan gunung api-gunung api busur Sunda seperti Gunung Merapi yang masih aktif hingga sekarang.

Sangat mungkin bahwa Pitecanthropus telah hidup pada tempat dengan relief-relief yang sejak zaman itu sudah sangat berubah. Hal itu mungkin diakibatkan oleh berbagai fenomena alam, seperti pengangkatan, perlipatan, dan sebagainya. Maka tidaklah mudah untuk menemukan situs-situs penghunian tersebut.

Pada masa itu, iklim selalu berubah sejalan dengan penurunan dan kenaikan permukaan air laut di seluruh dunia pada zaman kuarter.

Ketika itu, pemandangan pada umumnya terdiri dari hutan tropis yang lembab di pegunungan dan di dalam depresi merupakan rawa-rawa, yang dihuni oleh hutan bakau di pinggiran pantai. Pada garis lintang yang tinggi, selama zaman es, di sepanjang aliran sungai hutan tropis yang lembab berubah menjadi suatu bentuk hutan galeri yang terbatas, sedangkan perbukitan diisi oleh hutan yang lebih terbuka (monsoon forest).

Bagaimana hidupnya?
Pertanyaan ini menyangkut masalah misteriusnya Pithecanthropus. Fosil-fosil tersebut ditemukan tersebar di dalam endapan sungai dari terisolasi dari tempat kehidupan prasejarah. Pithecanthropus harus beradaptasi dengan lingkungannya dan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya. Penelitian terhadap jejak-jejak guratan mikroskopis pada gigi menunjukkan bahwa makanan Pithecanthropus sebagian besar adalah tumbuh-tumbuhan. Sebagian alat mereka terbuat dari kayu, karena lingkungan geologinya tidak memungkinkan mereka mendapatkan bahan batu yang baik.

Namun, beberapa situs memperlihatkan adanya jejak-jejak industri yang terbuat dari batu. Situs Kedung Cunipleng, di sekitar Miri (Sragen), telah memberikan suatu pandangan tentang lingkungan alam di Pegunungan Kendeng (di sebelah utara kota Solo) 900.000 tahun yang lalu. Di sini telah ditemukan beberapa artefak batu tertua di daerah tersebut.

Salah satu situs yang paling lengkap adalah Ngebung yang terletak di kubah Sangiran (berumur sekitar 700.000 tahun), yang telah mengungkapkan bekas penghunian di tepian sungai purba. Beberapa alat batu, yang cukup sederhana (misalnya kerakal yang dipangkas sebelum digunakan), ditemukan berdampingan dengan tulang-tulang binatang yang pecah-pecah, diantaranya Stegodon (jenis gajah purba), cervidae (kijang), bovidae (kerbau) dan Hexaprotodon (kuda Nil). Adanya banyak tulang yang panjang seperti tulang palia, tulang kering d.an sebagainya, kesemuanya pecah, menunjukkan bahwa mungkin sekali manusiaa purba telah memanfaatkan isi sumsum tulang-tulang tersebut sebagai makanan.


Referensi:
Buku, berjudul anekaragam pendekatan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial dan budaya tentang asia tenggara maritim.

Komentar