3 Ritual pemujaan pada gunung di negara jepang

Gunung fuji di jepang

Wilayah daratan Jepang yang sempit ternyata sebagian besar (85%) terdiri dari pegunungan. Gunung-gunung ini sangat erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari, misalnya sayur-sayuran dan buah-buahan yang sebagian besar dihasilkan di daerah pegunungan, dan kayu untuk bangunan rumah serta peralatan rumah tangga. Tetapi, gunung juga sering mendatangkan bencana bagi masyarakat yang tinggal di gunung dan sekitarnya, misalnya dengan adanya gempa tektonik dan letusan gunung berapi.

Di lain pihak, gunung-gunung ini memegang peranan yang cukup penting dalam kehidupan kerohanian masyarakat Jepang, terutama bagi yang tinggal di gunung dan sekitarnya. Sejak zaman dahulu hingga sekarang gunung telah menjadi obyek pemujaan orang, tidak hanya di Jepang tetapi juga di seluruh dunia, karena gunung selalu memberikan kemakmuran kepada umat manusia. Pepohonan di gunung menyerap air hujan, lalu mengalirkannya kembali melalui sungai-sungai. Tidak salah kalau banyak kuil didirikan di pegunungan sebagai hulunya dengan tepi laut sebagai hilirnya, suatu konsep yang bagi umat Hindu diyakini menjadi dualitas yang menjadi sumber kemakmuran. 

Keberadaan gunung dengan sosoknya yang agung dan pada umumnya dikelilingi oleh hutan lebat, menimbulkan kesan di dalam benak manusia sebagai sesuatu yang sakral dan misterius. Kuil yang berada di pegunungan pun akan menimbulkan kesan sakral, memberikan kesejukan pikiran dan kenyamanan, apalagi dengan pemandangan alam yang indah akan mampu mewujudkan gunung menjadi tempat yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk berkonsentrasi menuju, memuja, dan mendekatkan diri kepada para dewa.

Di Jepang, keberadaan gunung juga diperlakukan sebagai sesuatu yang sakral dan objek pemujaan. Jepang memang dikenal sebagai negara kepulauan yang mempunyai lebih dari empat puluh gunung, baik yang masih aktif maupun tidak aktif lagi. Gunung-gunung yang terkenal sebagai obyek pemujaan antara lain gunung Fuji, Haguro, Yoshino (Kinpu), Omine, dan Kumano. Faktanya pada hampir semua gunung tinggi di Jepang mempunyai kuil pemujaan sendiri-sendiri. Orang Jepang hingga kinipun masih melakukan pemujaan secara religius terhadap gunung, misalnya dengan cara mendaki gunung pada musim panas dan melakukan ritual-ritual keagamaan tertentu di gunung.

Upacara Pemujaan terhadap Gunung bagi masyarakat jepang
Pemujaan terhadap gunung sudah menjadi salah satu bagian kehidupan orang Jepang sejak zaman dahulu. Hingga sekarang masih bertahan dalam bentuk pemujaan yang dilakukan orang per orang atau dalam suatu institusi keagamaan. Salah satu institusi keagamaan yang terbesar dalam pemujaan gunung adalah Shugendō. Shugendō adalah aliran keagamaan yang banyak mendapat pengaruh Budha Mantrayana yang didirikan oleh seorang yamabushi bernama En no Gyōja pada pertengahan abad ke tujuh. Shugendō sendiri berarti “jalan” pelaksanaan dan penguasaan kekuatan magis yang dilakukan melalui proses pertapaan. Proses pertapaan tersebut dilakukan di gunung-gunung, sehingga orang-orang yang melakukannya disebut yamabushi (orang/pendeta yang bertapa dan tinggal di gunung). Yamabushi inilah yang biasanya menjadi pembimbing dalam ritual-ritual keagamaan di gunung-gunung atau ritual keagamaan yang berhubungan dengan gunung.

Pemujaan gunung di Jepang dapat dibagi dalam tiga kategori gunung, yaitu :

1. Gunung berapi tidak aktif yang berbentuk kerucut
Gunung-gunung ini umumnya terletak di dekat pantai. Para pelaut dan nelayan percaya sesuai dengan tradisi yang ada bahwa dewa yang mengendalikan pelayaran berada di puncak gunung-gunung ini. Bagi mereka, gunung-gunung ini dianggap sebagai penghubung antara langit dan bumi.

2. Gunung sebagai sumber air
Pemujaan gunung sebagai sumber air dimulai sejak masyarakat Jepang kuno yang hidup dari bertani membuat kuil-kuil yang ditujukan bagi para dewa gunung yang mendatangkan hujan dan menjaga sumber air. Secara umum, dapat dikatakan bahwa upacara pemujaan terhadap gunung dilakukan petani untuk menjaga sawahnya. Mengingat pentingnya sawah bagi kehidupan orang Jepang, sukar dibedakan apakah upacara tersebut dilakukan untuk yama no kami (dewa gunung) atau ta no kami (dewa sawah). Para ahli menyimpulkan bahwa antara yama no kami dan ta no kami sebenarnya merupakan satu kesatuan. Seperti dikatakan Befu (1981:102), dipercaya bahwa ta no kami tinggal di sekitar gunung yang jauh dari pemukiman dan disebut juga yama no kami. Mereka akan turun pada musim semi dan akan kembali ke gunung pada musim gugur setelah masa panen. Selain petani, pemujaan terhadap yama no kami juga dilakukan oleh pemburu, penebang kayu, dan pengumpul kayu bakar.

3. Gunung dalam hubungannya dengan arwah orang yang sudah meninggal
Gunung yang termasuk dalam kategori ini dianggap memiliki peran penting dalam perkembangan pemujaan terhadap arwah leluhur di Jepang. Dalam hal ini, ada dua hal dasar yang bertentangan satu sama lain. Kepercayaan bahwa gunung merupakan tempat tinggal bagi yang sudah meninggal hal ini mencerminkan kebiasaan di masa lampau tentang penguburan jenazah di gunung dan kepercayaan bahwa gunung merupakan tempat bertemunya dunia ini dan dunia berikutnya adalah didasarkan pada anggapan tradisional bahwa surga atau dunia lain ada di suatu tempat di luar wilayah gunung.

Seperti sudah disebutkan di muka, 85% wilayah daratan Jepang terdiri dari pegunungan. Namun demikian, tidak semua gunung yang ada berfungsi sebagai sumber kepercayaan masyarakat atau dianggap sebagai gunung suci, yang menjadi objek pemujaan religius dan tempat dilaksanakannya praktek-praktek religius. Sementara itu, hampir dalam setiap gunung suci di Jepang mempunyai dua situs pelayanan keagamaan. Situs-situs tersebut adalah yamamiya (kuil di puncak gunung) dan satomiya (kuil di kaki gunung). Kuil-kuil tersebut menjadi simbol kesucian gunung dan tempat melakukan pemujaan pada waktu-waktu tertentu.

Upacara pemujaan terhadap gunung sangat berkaitan erat antara kehidupan manusia, arwah para leluhur, dan kami (dewa). Upacara tersebut dilakukan dalam bentuk matsuri (festival keagamaan). Upacara yang paling terkenal adalah Bon Matsuri atau Obon (festival musim panas untuk arwah para leluhur) bagi umat Budha dan Oshōgatsu (perayaan tahun baru) bagi umat Shintō. Upacara ini menandai berakhirnya kunjungan tahunan arwah para leluhur ke “rumah duniawi” mereka, yang oleh para umatnya dilakukan dengan berkunjung ke jinja (kuil Shintō) atau otera (kuil Budha).


Referensi:
Bellah, Robert N. 1992. Religi Tokugawa : Akar-akar Budaya Jepang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Befu, Harumi. 1981. Japan : An Anthropological Introduction. Tokyo: Charles E. Tuttle.
Earhart, H. Byron. 1970. A Religious Study of the Mount Haguro Sect of Shugendo. Tokyo: Sophia University.
Eliade, Mircea. 1959. The Sacred and the Profane. New York: Harcourt, Brace & World.
Hori, Ichiro. 1983. Folk Religion in Japan, Midway Reprint.

Komentar