Bahasa dan sejarah nasionalisme di indonesia

Sejarah nasionalisme bangsa indonesia

Perkembangan bahasa indonesia
Dalam UUD 1945, dinyatakan dengan jelas bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan, sekaligus memperteguh ikrar Sumpah Pemuda 1928. Ketika istilah bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan lahir, terdapat sebuah realitas fungsi yang melekat pada referensi konsep tersebut, yaitu bahasa Indonesia sebagai wahana pemersatu yang mampu menciptakan semangat persatuan antarelemen kebangsaan di seluruh wilayah nusantara. Artinya, pada masa -masa yang lalu, peran bahasa Indonesia sebagai pemersatu perbedaan–perbedaan unsur kebangsaan di Indonesia memang sudah teruji. Sekarang pun konsep bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan masih tetap dipertahankan dan selalu menjadi simbol dari kejayaan yang pernah dicapai bahasa Indonesia. Sementara itu, dalam kapasitas fungsinya sebagai sarana komunikasi masyarakat, secara kuantitatif bahasa Indonesia pun masih berada pada posisi sebagai major language.

Usaha pemerintah pun tidak sedikit untuk mempertahankan keberadaan bahasa Indonesia sejak jaman orde lama sampai sekarang. Misalnya pada jaman orde lama pemerintah melakukan penerjemahan buku-buku berbahasa Belanda, diterbitkannya ejaan R. Soewandi yang dilanjutkan dengan sistem Ejaan yang disempurnakan pada masa orde baru. Perkembangan berikutnya justru membuat bahasa Indonesia menjadi sebuah sistem dengan aturan-aturan rumit, tidak alamiah dan penuh rekayasa. sehingga dalam prakteknya berbahasa hampir tidak ada seorang pun yang dapat menerapkan kaidah-kaidahnya dengan benar dan rapi.

Bagaimana pun sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia sudah cukup efektif untuk mempersatukan masyarakat Indonesia yang majemuk. Bahasa Indonesia berhasil membangkitkan imajinasi masyarakat sebagai komunitas yang bersatu di bawah naungan negara Indonesia walaupun berbeda bahasa daerah dan tidak saling mengenal. Namun melalui bahasa Indonesia, semua masyarakat dari berbagai suku dapat berkomunikasi dan bangga menggunakan bahasa Indonesia.

Pendahuluan
Nasionalisme Indonesia tidak terlepas dari sejarah panjang terbentuknya Nusantara di jaman kejayaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Dalam pidato-pidatonya maupun tulisannya, Bung Karno selalu mengagung-agungkan peranan kerajaan-kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai pembangkit semangat dan solidaritas kebangsaan. Walaupun belum tentu kebenarannya, apakah mitos atau fakta, namun Soekarno berhasil menjadikan kejayaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai peneguh nasionalisme yang bersifat integratif.

Cerita mengenai Sriwijaya dan Majapahit ini adalah hasil rekonstruksi sejarawan berdasarkan sumber yang tidak sahih dan amat tidak memadai. Rekonstruksi itu segera dianggap sebagai kebenaran oleh kaum nasionalis Indonesia untuk mendukung mitos yang sedang mereka rangkai, yaitu mitos yang berbunyi bahwa Indonesia (yang ketika itu bernama Hindia Belanda) itu dari dulu sudah satu dan yang mereka lakukan hanya melanjutkan sejarah lama. Tujuan Soekarno adalah melihat bahwa bangsa ini punya sejarah, punya visi yang perlu diperjuangkan bukan hanya karena sudah takdirnya atau nasibnya harus ada. Misalnya dalam kajian tentang Sriwijaya, ternyata muncul dan runtuhnya kerajaan Sriwijaya tidak semua ahli sejarah atau peneliti tentang kerajaan Sriwijaya sepakat (Wendra, 2003, hal. 370-403). Indonesia tidak muncul begitu saja tetapi merupakan hasil perjuangan akibat dari pergolakan sejarah sehingga kehadiran bangsa Indonesia dapat dijelaskan.

Kekhawatiran akan memudarnya nasionalisme dirasakan pada saat muncul perasaan ketimpangan pembangunan daerah dan pusat, aloksi dana yang tidak seimbang, dan merasa adanya perasaan dieksploitasi oleh pemerintah pusat di Jakarta. Bahkan ada pula yang mendikotomikan antara pembangunan yang lebih berorientasi Jawa dibandingkan luar Jawa, ketidakadilan dan ketidakseimbangan birokrasi pemerintahan antara Jawa dan luar Jawa. Jika nasionalisme pada masa pergerakan nasional lebih bersifat perekat untuk mempertahankan keutuhan bangsa (bersifat integratif) sedangkan nasionalisme sekarang ini lebih bersifat mengancam keutuhan dan persatuan bangsa (bersifat disintegrasi).

Untungnya Indonesia mempunya pemersatu bangsa yang dirasa semakin menguatkan rasa persatuan dan kebersamaan yaitu bahasa Indonesia. Kedudukan bahasa Indonesia dalam NKRI sebagai bahasa pemersatu diikrarkan secara tegas pada saat Sumpah Pemuda tahun 1928 yang menyatakan bahwa putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia. Pasal 36 UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 menyebutkan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara, sehingga bahasa Indonesia mempunyai fungsi yang berbeda-beda namun fungsi-fungsi itu saling menguatkan dan memperkokoh persatuan bangsa Indonesia.

Melihat kenyataan tersebut, maka diperlukan kajian historis dan empiris untuk melihat perkembangan nasionalisme di Indonesia mulai dari masa kolonial sampai ke masa sekarang. Selain itu juga peranan bahasa Indonesia sebagai benang merah nasionalisme dari masa ke masa dapat terlihat seiring dengan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

Perkembangan Nasionalisme
Sebelum melihat bagaimana proses perkembangan dan perubahan nasionalisme di Indonesia, maka sangat penting juga melihat dan menjelaskan bagaimana nasionalisme di beberapa negara lain, terutama di Negara Eropa dan Amerika. Hal ini sangat penting sebab, konsep nasionalisme itu sendiri adalah suatu konsep yang bersifat universal atau global. Bahkan dapat dianggap sebagai suatu konsep yang bergulir secara psikologis dari Negara Eropa dan Amerika hingga ke negara-negara Asia, termasuk Indonesia, atau suatu konsep yang lahir dari adanya suatu peristiwa yang mendahuluinya yang bermula di negara-negara tersebut. Hal penting yang lain mengapa perlu menelusuri dan menjelaskan bagaimana nasionalisme di Eropa dan Amerika adalah, setidaknya dapat menjawab pertanyaan yang muncul mengenai “kapan konsep nasionalisme itu lahir?”

Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut, memang membutuhkan suatu studi tertentu dalam bentuk penelusuran informasi dan fakta secara historis. Akan tetapi jika kita melihat tulisan Erik Hobsbawm yang berjudul “Nations and Nationalisme since 1788” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Nasionalisme Menjelang Abad XXI (1990) menunjukkan bahwa sejak tahun 1780 konsep “nasionalisme” sudah ada di belahan benua Amerika dan Eropa, atau mungkin telah ada sejak tahun-tahun sebelumnya. Bahkan menurut Kohn, bahwa nasionalisme modern terjadi pada abad ke 17 di Inggris, yaitu munculnya kesadaran bangsa Inggris sebagai sebagai bangsa yang memiliki tanggung jawab dan beban atau kedudukan memimpin negara Eropa. Dengan kata lain, nasionalisme di Inggris merupakan penjelmaan semangat abad tersebut dalam hal mengutamakan perseorangan dan hak-haknya. Gagasan ini terlihat dalam filsafat John Locke, yang menekankan bahwa individu berserta kemerdekaannya, kemuliaan dan kebahagiaannya tetap merupakan unsur-unsur asasi dari semua kehidupan nasional, dan bahwa pemerintah suatu bangsa adalah suatu kepercayaan moral yang tergantung kepada izin bebas dari yang diperintah. Semangat nasionalisme di Inggris saat itu memasuki semua lembaga dan menciptakan ikatan hidup antar golongan yang memerintah rakyat.

Selanjutnya, atas pengaruh nasionalisme liberal Inggris, Perancis pada abad 18 berjuang melawan kekuasaan pemerintah yang lebih besar, melawan intoleransi, dan pengawasan dari pihak gereja dan negaranya, yang dikenal sebagai era “Renaisance” (abad pencerahan). Gagasan tentang rasa nasionalisme di Perancis terlihat dalam gagasan J.J. Rousseau yang mengatakan bahwa masyarakat politik yang sejati hanya bisa didasarkan atas sifat-sifat luhur warganya dan cinta mesranya kepada tanah air. Kemudian, munculnya kemerdekaan dalam dimensi agama, Politik, dan sosial di Perancis, merupakan faktor kuat yang menyebabkan lahirnya nasionalisme Amerika pada tahun 1775. Adapun puncak nasionalisme di dunia yaitu sekitar tahun 1918-1950, sedangkan berakhirnya gelombang nasionalisme menurut Anderson (1999, hal. 192) kebanyakan menerpa wilayah-wilayah jajahan di benua Asia dan Afrika. Dan di Indonesia yaitu pada Zaman pergerakan nasionalisme Syahrir dalam menentang kolonialisme Belanda.

Nasionalisme di Indonesia
Nasionalisme di Indonesia muncul sebagai salah satu respons terhadap kolonialisme. Pengaruh kolonialisme di Indonesia sudah dirasakan semenjak tahun 1511, yaitu ketika portugis menundukkan Malaka. Kemudian sekitar tahun 1940-an ketika VOC berhasil merebut Malaka dari tangan Portugis dan menguasai perdagangan interinsuler di hampir seluruh Nusantara menunjukkan proses awal masuknya kolonialisme Belanda, terutama di Jawa ketika Raja Mataram menyerahkan kekuasaan atas daerah pantai utara Pulau Jawa kepada VOC pada tahun 1749.Adapun eksploitasi kolonial di Indonesia, terutama di Jawa mulai dirasakan saat memasuki tahun-tahun pembubaran VOC pada tahun 1795, dan awal pembentukan Cultuurstelsel, terutama rencana Daendels membangun sarana dan prasarana yang membutuhkan pengerahan tenaga kerja paksa dan rencana Raffles menerapkan sistem pajak tanah. Puncaknya ketika Jenderal Van den Bosch pada tahun 1830 mengeluarkan kebijakan tentang eksploitasi negara tanah jajahan menjadi pedoman kerja pemerintah kolonial.

kebijakan ini adalah dimaksudkan untuk mencapai “peningkatan semaksimal mungkin produksi pertanian untuk pasar Eropa”. Kebijakan dan alasan kolonialisme pada tahun ini lebih bersifat ekonomi. Akan tetapi setelah permulaan abad ke 20 yang ditandai oleh perkembangan ekonomi yang sangat pesat, dibarengi pula kebijakan-kebijakan yang bersifat politis, yaitu adanya perluasan jabatan pemerintahan kolonial secara besar-besaran di Indonesia mulai dari keresidenan hingga ke distrik. Sistem pemerintahan kolonial pada fase ini lebih bersifat sentralistik yang ekstrim, birokrasinya yang kaku, dan otokrasinya yang mutlak. Tidak ada badan politik satupun yang menjadi alat penyalur suara rakyat1. Berangkat dari fenomena tersebut, bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tertindas, jelas memunculkan suatu bentuk kesadaran tersendiri untuk melepaskan diri dari kungkungan dan ketertindasan kolonialisme. Bentuk kesadaran ini pada akhirnya mengarahkan pada suatu bentuk ikatan sentimen dan solidarits sosial berupa rasa “nasionalisme”.

Nasionalisme sebagai gejala historis telah berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial yang khusus yang ditimbulkan oleh situasi kolonialisme (Kartodirdjo, 1972, p. 44). Antara nasionalisme dan kolonialisme tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab terdapat hubungan timbal balik antatara nasionalisme yang sedang berkembang dan berproses dengan politik dan ideologi kolonial. Pada situasi kolonial, nasionalisme dianggap sebagai kekuatan yang sosial yang mempunyai orientasi terhadap masa depan, sedangkan ideologi dan politik kolonial melihat masa lampau. Berikut cuplikan pidato Soekarno:
Nationalism! To be a nation! It was no later than the year 1882 that Ernest Renan published his idea of concept of ’nationhood’". "Nationhood", according to this author is a spirit of life, an intellectual principle arising from two things: firstly, the people in former times had to be together to face what came, secondly, the people now must have the will, the wish to live and be one. Not race, nor language, nor religion, nor similarity of needs, nor the borders of the land make that nation.

Perkembangan nasionalisme dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Perkembangan nasionalisme secara internal berawal dari adanya rasa kesadaran yang terus berkembang, yaitu kesadaran terhadap situasi yang tertindas, terbelakang, dan diskriminasi yang melahirkan suatu keinginan untuk bebas, merdeka dan maju. Sedangkan secara eksternal, dipengaruhi oleh kemenangan Jepang terhadap Rusia tahun 1905, kemudian Gerakan Turki Merdeka, Revolusi Cina, dan gerakan-gerakan nasional di negara-negara tetangga, seperti India dan Philipina. Peristiwa-peristiwa tersebut memperbesar kesadaran nasional dan menyebabkan bangsa Indonesia memiliki rasa harga dirinya kembali. Artinya, setelah kemenangan Jepang atas Rusia, muncul kesadaran dari kalangan pemuda dan mahasiswa Indonesia bahwa ternyata orang Asiapun mampu mengalahkan orang Eropa. Meskipun dimensi eksternal ini juga berpengaruh, akan tetapi pengaruh internal inilah yang paling dominan, sebab sangat dirasakan langsung oleh bangsa Indonesia.

Adapun bentuk gerakan dari proses awal perkembangan nasionalisme Indonesia adalah munculnya “Gerakan Emansipasi Wanita” yang dipelopori oleh R.A. Kartini pada tahun 1912, Kongres Pemuda pertama dan berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908, Gerakan Jawa Muda (Jong Java) tahun 1911, Gerakan Pribumi(Inlandsche Beweging) tahun 1914, Kongres Kebudayaan tahun 1916, dan Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, berdirinya organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda, yaitu Indische Vereeniging tahun 1908, kemudian berkembang dan berubah menjadi organisasi identitas nasional yang baru pada tahun 1925 dengan nama baru Perhimpunan Indonesia dan berubah lagi menjadi "Indonesia Merdeka”, berdirinya Sarikat Islam (SI) pada tahun 1912 yang dipelopori oleh Tjokroaminoto, dan berdirinya PNI tahun 1927, dan berbagai bentuk organisasi kepemudaan, dan organisasi lainnya yang lebih bersifat kesukuan, seperti Jong Sumatra, Jong Celebes dan lain-lainnya.

Meskipun muncul berbagai gerakan yang lebih bersifat kesukuan, seperti Boedi Oetomo, Jong Java, Jong Sumatera dan Jong Celebes, akan tetapi pada akhirnya dapat dipersatukan oleh berbagai gerakan atau organisasi lainnya yang lebih bersifat integratif karena merangkul berbagai gerakan kesukuan antara lain Gerakan Pribumi, Perhimpunan Indonesia, dan puncaknya saat Sumpah Pemuda tangal 28 Oktober 1928. Perhimpunan Indonesia (PI) dikatakan sebagai suatu bentuk gerakan yang lebih bersifat integratif dan nasionalis karena memiliki berbagai fikiran pokok yang lebih mengarah pada “Ideologi Nasionalis”, antara lain: 

(1) Kesatuan Nasional: perlunya mengesampingkan perbedaan-perbedaan sempit dan perbedaan berdasarkan daerah dan perlu dibentuk suatu kesatuan aksi melawan Belanda untuk menciptakan negara kebangsaan Indonesia yang merdeka dan bersatu; 
(2) Solidaritas: tanpa melihat perbedaan yang ada antara sesama orang Indonesia, maka perlu disadari adanya pertentangan kepentingan yang mendasar antara penjajah dan yang dijajah, dan kaum nasionalis haruslah mempertajam konflik antara orang kulit putih dengan kulit sawo matang; 
(3) Non-Kooperatif: keharusan untuk menyadari bahwa kemerdekaan bukan hadiah sukarela dari Belanda, akan tetapi harus direbut oleh bangsa Indonesia dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri dan oleh karena itu tidak perlu mengindahkan dewan perwakilan kolonial seperti Volksraad; 
(4) Swadaya: dengan mengandalkan kekuatan sendiri perlu dikembangkan suatu struktur alternatif dalam kehidupan nasional, politik, sosial, ekonomi dan hukum yang kuat berakar dalam masyarakat pribumi dan sejajar dengan administrasi kolonial. Dari keempat bentuk ideologi nasionalis dari oraganisasi Perhimpunan Indonesia (PI) seperti di atas, menunjukkan pada kita, dan menjadi suatu bukti nyata bagaimana ideologi itu muncul sebagai suatu bentuk reaksi terhadap kolonialisme Belanda. Bahkan ideologi tersebut dianggap sebagai suatu manifestasi dari kesadaran dan rasa nasionalisme yang tinggi. Fenomena di atas menunjukkan bahwa kesadaran akan ketertinggalan dan kungkungan kolonialisme, serta munculnya gerakan-gerakan yang bersifat nasionalisme, umumnya dipelopori oleh para pemuda, terutama para mahasiswa dan kaum terpelajar lainnya.

Umumnya diakui bahwa kaum terpelajar merupakan pemain-pemain inti dalam kebangkitan nasionalisme di wilayah-wilayah jajahan, bukan hanya karena kolonialisme menjamin kelangkaan relatif tuan-tuan tanah, pedagang besar, wirausahawan swasta, bahkan juga kelas profesional besar pribumi. Lebih lanjut Anderson mengatakan bahwa umum pula diakui bahwa peran “perintis garis depan” yang dipangku kaum terpelajar pribumi berasal dari kemelek-hurufan dan dwibahasa mereka, atau mungkin lebih tepat lagi kemelek-hurufan dan kemampuan dwibahasa.

Nampaknya, kemampuan kemelek-hurufan dan kemampuan dwibahasa untuk kasus di Indonesia lebih disebabkan oleh adanya perubahan ideologi kolonialisme karena adanya tantangan dan kritik dari kaum sosialis dari orang Belanda sendiri. Dengan demikian terjadi perubahan dari politik kolonial ke politik ethis atau politik “Hutang Budi”. Muncul dan lahirnya politik Ethis ini disebabkan oleh munculnya kesadaran sebagian pihak bangsa kolonial akan ketertinggalan dan kemerosotan kesejahteraan bangsa jajahan. Implikasi lebih lanjut dari kebijakan politik tersebut adalah adanya peluang bagi sebagian kalangan bangsa Indonesia untuk melanjutkan pendidikan, terutama di negeri Belanda. Dengan demikian, tak pelak lagi sebagian pemuda Indonesia menerima pedidikan gaya modern (gaya eropa), yang bukan saja dilakukan oleh pemerintah negara penjajah, namun juga oleh sebagian lembaga keagamaan.

Kekalahan Belanda dari Jepang pada tahun 1942 membuat mayoritas kaum terpelajar Indonesia menerima kedatangan Jepang dengan penuh semangat. Jepang mengetahui secara psikologis beberapa hal yang diinginkan oleh rakyat Indonesia seperti:

1. Diperbolehkannya mengibarkan Bendera Merah Putih dan mengumandangkan lagu Indonesia Raya.
2. Diyakini dapat meningkatkan status sosial ekonomi tanpa kekerasan dengan memberikan kesempatan kepada orang Indonesia untuk mengisi jabatan yang kosong yang dulu diduduki oleh Belanda atau Indo-Belanda.
3. Memenjarakan semua penduduk Belanda, Indo-Belanda dan Kristen yang dicurigai sebagai pro Belanda.

Ketiga hal diatas sedikitnya telah memenangkan dukungan dari kaum pelajar sekaligus menetralisir antipati sebagian dari kaum pelajar tersebut. Penerimaan dari kaum pelajar tersebut membuat rasa percaya diri Jepang tumbuh begitu kuat sehingga Jepang mengabaikan rasa nasionalisme Indonesia dan mempropagandakan Tiga A3 namun hal tersebut gagal dilakukan. Jepang menguras habis kekayaan Nusantara, mulai dari bahan makanan sampai dengan produk perkebunannya, tidak masuknya bahan sandang dan onderdil mesin, pengawasan kurikulum sekolah dengan tangan besi, pemaksaan bahasa Jepang sebagai bahasa resmi. Kekerasan dan kekurangajaran ditunjukkan oleh orang Jepang dalam bergaul dengan orang Indonesia.

Hanya dalam waktu beberapa bulan saja, Jepang tidak mendapat dukungan dari rakyat dan kaum terpelajar Indonesia. Rasa tidak senang terhadap Jepang tumbuh terus, bahkan rakyat mulai melakukan pemberontakan. Ini dilakukan sebelum tahun 1942 berakhir. Jepang baru menyadari bahwa gerakan kebangsaan Indonesia adalah suatu kekuatan yang nyata dan kuat sehingga akan melawan bentuk penjajahan sekecil apa pun. Gerakan-gerakan bawah tanah yang muncul didominasi oleh mahasiswa dan pemimpin politik yang matang memaksa Jepang secara radikal merubah haluan politiknya secara radikal dengan memberikan perhatian kepada pemimpin nasionalis yang benar-benar disukai oleh rakyat Indonesia.

Dibebaskannya Soekarno, pembentukan Poetra (Poesat Tenaga Rakyat) yang dipimpin langsung oleh Soekarno malahan menjadi bumerang bagi Jepang sendiri. Tujuan awal pembentukan Poetra beserta turunannya ( Hei ho, Peta, Romusha) adalah untuk mendapatkan bala tentara yang akan membantu Jepang melawan sekutu tidak terlaksana, bahkan Poetra lebih memenuhi pergerakan kebangsaan Indonesia. Kaum pelajar lebih menunjukkan anti-Jepang dari pada anti-sekutu hingga akhirnya Poetra dibubarkan dan digantikan oleh Perhimpoenan Kebaktian Rakyat (Djawa Hokokai) dan mencari dukungan dari para kiai dengan memberikan kedudukan yang terhormat dan penting. Alasan yang diberikan oleh Jepang adalah melawan orang kafir yang memperbudak penduduk muslim di Indonesia. Namun hal ini pun tidak membuahkan hasil karena banyak kyai yang tidak sudi menjadi alat tujuan Jepang.

Gerakan bawah tanah yang semakin marak memaksa Jepang untuk membentuk Angkatan Muda yang terdiri dari kaum terpelajar5 yang dipaksa untuk memgang jabatan kepemimpinan yang bertanggungjawab terhadap gerakan-gerakan yang dilakukan di Indonesia. Inipun gagal dilakukan, hingga pada tahun 1944 PM Koiso mengumumkan bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan dalam waktu dekat dan memberikan peluang kepada pemimpin gerakan bawah tanah untuk bebas berbicara tentang kemerdekaan sampai dibentuknya pemerintahan Indonesia merdeka dan pembentukan BPUPKI (Dr. Radjiman diangkat sebagai ketua) semua dengan tujuan sama yaitu meminta dukungan untuk melawan sekutu.

Penolakan pemimpin Indonesia untuk melawan sekutu menemukan puncaknya pada saat Soekarno dihadapan PPUKI menunjukkan secara terang-terangan rasa anti-Jepang lewat pidatonya yang menggariskan lima prinsip dasar, Pantja Sila yang dianggap dapat membimbing dan memenuhi syarat sebagai dasar filsafat suatu Indonesia yang merdeka. Lima prinsip itu adalah:

1. Nasionalisme
Makna Nasionalisme secara politis merupakan manifestasi kesadaran nasional yang mengandung cita-cita dan pendorong bagi suatu bangsa, baik untuk merebut kemerdekaan atau mengenyahkan penjajahan maupun sebagai pendorong untuk membangun dirinya maupun lingkungan masyarakat, bangsa dan negaranya. Kita sebagai warga negara Indonesia, sudah tentu merasa bangga dan mencintai bangsa dan negara Indonesia. Kebanggaan dan kecintaan kita terhadap bangsa dan negara tidak berarti kita merasa lebih hebat dan lebih unggul daripada bangsa dan negara lain. Kita tidak boleh memiliki semangat nasionalisme yang berlebihan (chauvinisme) tetapi kita harus mengembangkan sikap saling menghormati, menghargai dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain.
2. Internasionalisme/Perikemanusiaan.
Nasionalisme tidak dapat berjalan tanpa internasionalisme (kekeluargaan bangsa-bangsa). Demikian pula sebaliknya, internasionalisme tidak akan hidup subur bila tidak berakar pada nasionalisme.
3. Perwakilan/Permusyawaratan.
4. Keadilan sosial dan kesejahteraan.
5. Kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa.

Prinsip satu dan dua dapat digabungkan menjadi sosio-nasionalisme sementara prinsip empat dan lima menjadi sosio-demokrasi, sehingga tinggal tiga prinsip yang masih bisa diperas menjadi satu prinsip yaitu ”Gotong Royong”. Gotong royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan yang menggambarkan satu usaha, satu amal dan satu pekerjaan. Gotong royong adalah membanting tulang bersama, memeras keringat bersama, perjuangan bantu membantu bersama.7 Tuntutan yang sangat berat dari Jepang dengan melakukan kerja paksa, meruntuhkan sendi-sendi di desa, penculikan orang desa untuk dijadikan romusha, penyerahan hasil bumi secara paksa dengan tiada batas meningkatkan kesadaran nasional secara luar biasa dibantu oleh keinginan untuk merdeka secara politik. Kaum tani menjadi sadar secara politik dengan melakukan pemberontakan-pemberontakan dibanyak tempat. Kepiawaian Soekarno yang di beri kebebasan oleh Jepang untuk berkomunikasi dengan petani membangkitkan kesadaran politik dan keinginan untuk memperoleh kemerdekaan nasional.

Pada masa pendudukan Jepang, Jepang mampu menggunakan pendekatan kultural sebagai saudara tua yang mempunyai nasib yang sama sebagai negara yang pernah dikuasai oleh bangsa lain. Jepang menunjukkan bahwa Indonesia termasuk besar, sehingga harusnya mampu keluar dari penjajahan bangsa Eropa. Sebelumnya memang Jepang sudah mengirimkan orang-orangnya untuk melakukan observasi di Indonesia mulai dari kultur budaya, kondisi geografis, karakteristik masyarakat dan karakter tokoh-tokoh bangsa Indonesia. Orang-orang tersebut mau tidak mau harus menguasai bahasa Indonesia, sehingga mampu melakukan komunikasi serta pendekatan sebagai saudara tua sehingga pada akhirnya diterima oleh bangsa Indonesia secara terbuka. Jepang mempunyai kemampuan menggunakan bahasa Indonesia sebagai jargon perlawanan terhadap bangsa Asing seperti “Inggris kita Linggis, Amerika kita Setrika”.


Referensi:
Abdullah, T. (2001). Nasionalisme dan Sejarah. Bandung: Satya Historika.
Anderson, B. (1999). Komunitas-Komunitas Imajiner: Renungan tentang Asal Usul dan Penyebaran Nasionalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist.
Hobsbawn, E. (1994). Nasionalisme Menjelang Abad XXI. Yogyakarta: Tiara Kencana.
Husken, F. (1998). Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. Jakarta: Grasindo.
Jalal, M. (2001, Januari). Nasionalisme Bahasa Indonesia dan Kompleksitas Persoalan Sosial dan Politik. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV(Nomor 1), 81-92.
Kahin, G. M. (1995). Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia: Refleksi Pergumulan Lahirnya Indonesia. Solo: UNS Press dan Pustaka SInar Harapan.
Kartodirdjo, S. (1972). Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad 19 dan Abad 20. Lembaran Sedjarah No.8, 29-33.
Kohn, H. (1984). Nasionalisme: Arti dan Sejarahnya. Jakarta: Erlangga.
Wendra, I. N. (2003). Kontroversi Kerajaan Sriwijaya: Sebuah Tinjauan menurut Buku Teks Sejarah. Dalam H. Sjamsuddin, & A. Suwirta, Historia Magistra Vitae (Menyambut 70 Tahun Prof.Dr.Hj.Rochiati Wiriaatmadja, MA (hal. 370-403). Bandung: Historia Utama Press.

Komentar