Selama abad XIX dan dasa warsa pertama abad XX, di seluruh Hindia Belanda sering terjadi perlawanan para penguasa lokal terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Setiap agresi Belanda dianggap memperkosa kemerdekaan dan merendahkan martabat raja serta rakyat yang diserangnya.1 Bahkan dalam sejarah Indonesia, periode tersebut dikatakan sebagai periode perlawanan terhadap kolonial Belanda.
Perlawanan ini dapat dianggap sebagai bentuk gerakan protes melawan dominasi Belanda atau reaksi terhadap segala tindakan penjajah. Perlawanan-perlawanan serupa sangat laten dan sering terjadi di berbagai daerah. Di Bali, sejumlah perlawanan telah terjadi sejak tahun 1846 dan baru berakhir setelah Belanda berhasil menaklukkan kerajaan Klungkung pada tahun 1908.
Tragedi kemanusiaan yang pernah membudaya di Bali adalah perdagangan budak. Sangat ironis dalam sejarah Bali bahwa perekonomian Bali sampai pada permulaan abad XIX masih sangat tergantung pada ekspor budak. Jumlah budak yang dijual oleh para bangsawan Bali setiap tahun sebanyak 2.000 orang. Sebaliknya, mereka meng-impor koin-koin tembaga, senjata dan terutama candu yang dikonsumsi secara luas oleh masyarakat Bali.
Sejak masa pemerintahan sementara Inggris sudah diusahakan untuk membatasi perdagangan budak dan akhirnya memang berhasil menghapuskannya. Akan tetapi hal ini mengancam pendapatan kaum bangsawan Bali tepat ketika Gunung Tambora sedang melancarkan aksi penghancurannya atas perekonomian pertanian Bali. Beruntunglah di kemudian hari letusan gunung Tambora itu memberikan dampak yang positif. Timbunan abu Gunung Tambora segera menaikkan kesuburan tanah, sehingga tanah Bali menghasilkan produk-produk pertanian. Singapura yang merupakan daerah jajahan Inggris, menjadi pasar ekspor Bali yang baru untuk komoditi khususnya beras, kopi dan nila serta daging babi. Para raja dan bangsawan Bali tidak lagi menjual rakyatnya tetapi tenaga mereka dibutuhkan untuk menggarap lahan-lahan pertanian.
Dalam bidang ekonomi dan politik, kontak dengan bangsa Belanda telah mengakibatkan semakin merosotnya kedudukan para penguasa pribumi. Namun demikian Belanda memang memiliki dua alasan sepihak untuk menempatkan pulau Bali di bawah pengaruh atau bahkan kekuasaannya. Yang pertama adalah perampokan dan perampasan yang dilakukan oleh orang-orang Bali terhadap kapal-kapal yang terdampar dan yang kedua adalah kekhawatiran akan adanya kemungkinan kekuatan Eropa lainnya yang akan melakukan intervensi atau menguasai Bali.
Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 24 Mei 1843 antara pemerintah Hindia Belanda dengan tujuh kerajaan Bali, yaitu Klungkung, Karangasem, Buleleng, Gianyar, Bangli, Payangan dan Mengwi, antara lain mencantumkan masalah Tawan Karang. Belanda menuntut dihapuskannya Tawan Karang (Undang-Undang Tawan Karang=Klip Recht). Tawan karang merupakan lembaga hukum adat antar bangsa yang berlaku di Bali dan Lombok, suatu hak yang dimiliki oleh raja dan rakyat pantai untuk merampas kapal atau perahu yang kandas di perairan pantainya. Kapal atau perahu yang terdampar itu hanya boleh ditolong oleh penduduk pantai di wilayah kerajaan itu.
Belanda menganggap Tawan Karang ini sebagai perintang yang sangat merugikan aktivitas perdagangannya, namun bagi raja-raja Bali peraturan Tawan Karang merupakan undang-undang maritim warisan nenek moyang yang tidak perlu dipermasalahkan. Perlawanan raja dan rakyat Badung terhadap Belanda yang dikenal dengan istilah Puputan Badung,3 bermula dari terdamparnya sebuah perahu dagang bernama Sri Komala di daerah Badung pada tahun 1904. Sri Komala adalah sebuah perahu dagang milik orang Cina tetapi berbendera Hindia Belanda. Ada dugaan sebetulnya perahu itu milik perusahaan Belanda yang disewa oleh orang Cina untuk berdagang ke Pulau Bali-Lombok atau pulau-pulau lainnya.
Puputan Badung memang hanya berlangsung selama enam hari yaitu dari tanggal 15 September sampai tanggal 20 September 1906. Namun demikian perang itu menunjukkan bagaimana raja dan rakyat Badung menanggapi situasi kolonial dan memberikan interpretasi terhadapnya serta bagaimana sikap yang paling tepat mereka lakukan. Mereka berani mempertahankan jiwa raga melawan musuh demi membela kerajaannya. Meskipun masih dalam lingkup Bali, rasa nasionalisme muncul mulai dari raja hingga seluruh rakyat demi untuk mempertahankan harga diri dan adat istiadat.
Penyebab utama Puputan Badung adalah ketika pemerintahan Hindia Belanda secara sepihak memaksa raja Pemecutan untuk mengganti kerugian perahu Sri Komala beserta isinya yang terdampar di pantai dalam wilayah Badung. Selama dua tahun dilakukan perundingan-perundingan untuk mencari jalan keluar secara damai, namun tidak berhasil. Raja dan rakyat Badung yang merasa tidak melakukan penjarahan terhadap perahu Sri Komala tentu saja menolak untuk membayar ganti rugi, sementara pihak Belanda bersikeras menimpakan kesalahan kepada raja dan rakyat Badung dengan ancaman akan memblokade Badung dan Tabanan yang berada di belakangnya.
Oleh karena tidak terjadi kesepakatan maka meletuslah Puputan Badung yang dahsat dan berakibat sangat fatal khususnya bagi Badung dan Tabanan. Kedahsatan itu terutama karena Puputan Badung bisa dikategorikan sebagai perang rakyat. Dalam perang itu seluruh rakyat mendapat bagian baik secara aktif maupun pasif. Setiap laki-laki dan wanita bahkan setiap anak-anak ikut menjalankan perannya masing-masing. Peran aktif dilakukan oleh laki-laki yang telah mampu melawan musuh, sementara para wanita dan dan anak-anak berperan secara tidak langsung di garis belakang. Ada beberapa alasan pemilihan topik ini. Pertama, penulisan sejarah perlawanan lokal masa kolonial masih sangat sedikit. Salah satu penyebabnya karena terkendala masalah bahasa lokal dan bahasa asing (Belanda) yang dipakai sebagai sumber baik di dalam buku maupun arsip. Kedua, selama ini belum ada yang mengupas secara gamblang apa yang dimaksud dengan puputan. Masalah puputan hanya ditulis secara sepotong-sepotong dalam buku-buku. Yang ketiga, sumber arsip tersedia cukup banyak walau ditulis dalam bahasa Belanda.
Situasi kerajaan Badung pada waktu mengadakan puputan terhadap pasukan Belanda tergambar dalam sumber tradisional dan arsip kolonial. Di situ tampak bagaimana masyarakat menanggapi situasi kolonial dan memberikan interpretasi terhadapnya serta bagaimana sikap yang paling tepat mereka lakukan. Mereka berani mempertaruhkan jiwa raga melawan musuh demi keajegan kerajaan. Perlu disadari bahwa dua kelompok sumber sama-sama memiliki kekuatan dan kelemahannya sendiri-sendiri, sama-sama dilekati oleh subjektivitasnya masing-masing. Oleh karena itu diperlukan sikap kritis dan senantiasa waspada terhadap segala bentuk subjektivitas yang melekat di dalamnya, sehingga kajian yang mendekati objektivitas lebih tercermin dalam penulisan.
Artikel ini menggunakan metode sejarah dalam lingkup kerjanya. Perlawanan kerajaan Badung di Bali dianalisis dengan menggunakan metode sejarah yang meliputi heuristik, kritik sumber, sintesis dan historiografi/ rekonstruksi. Dalam menjelaskan Puputan Badung sebagai fenomena sejarah, maka akan dikemukakan beberapa faktor yang saling terjalin, faktor-faktor yang mampu mematangkan situasi sehingga meletus berupa puputan. Pendekatan dengan memperhatikan aspek-aspek analitis untuk memandang puputan Badung diharapkan mampu memberi wawasan baru dalam mengungkapkan periode perlawanan terhadap pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia.
Sejarah badung di pulau bali
Kerajaan Badung ini berada di daerah Bali Selatan dengan letak yang cukup strategis, karena berada di jalur perdagangan antara Eropa dengan Australia. Kapal-kapal yang berangkat dari Eropa dengan tujuan akhir Australia, biasanya setelah berhasil melewati Tanjung Harapan di Afrika Selatan, kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Singapura dan terus ke Batavia. Dari Batavia kapal-kapal itu ke Surabaya atau Besuki dan menuju Ampenan di Lombok melalui Selat Bali dan Selat Lombok.6 Badung juga dikenal sebagai daerah penghasil beras berkualitas tinggi yang dikirim keluar Bali. Badung sudah dikenal sejak tahun 1343 pada waktu kerajaan Majapahit menduduki Bali.
Kabupaten Badung dulunya bernama Nambangan sebelum diganti oleh I Gusti Ngurah Made Pemecutan pada akhir abad XVIII. Daerah ini merupakan salah satu pusat perdagangan budak sejak berkeca-muknya perang di Bali tahun 1650. Nama Badung semakin terkenal ketika seorang pembesar Badung bernama Kiai Jambe Pulo ikut dalam memadamkan pemberontakan di Gelgel tahun 1686.
Pada tahun 1696 Badung yang semula menjadi bagian kerajaan Klungkung, kemudian menjadi kerajaan yang berdiri sendiri. Akan tetapi pada tahun 1700 Badung menjadi bagian kerajaan Mengwi yang muncul sebagai sebuah kerajaan akibat dari semakin lemahnya kerajaan Bali karena adanya pemberontakan. Di Bali, sejumlah perlawanan telah terjadi sejak tahun 1846, yaitu Perang Buleleng tahun 1846, Perang Jagaraga I tahun 1848, Perang Jagaraga II tahun 1849, Perang Kusamba tahun 1849 dan Perang Banjar tahun 1868.
Meskipun terjadi konflik bersenjata antara Badung dengan daerah-daerah di sekitarnya, akan tetapi saling hubungan perdagangan di antara mereka yang sudah berlangsung sejak abad XVII masih tetap berjalan. Sebagai contoh hubungan perdagangan Badung dengan Gianyar, Tabanan dan Klungkung tetap berjalan dengan sangat baik. Berbagai komoditi yang diperdagangkan antara lain alat-alat rumah tangga, kapas, candu, beras dan pakaian, bahkan budak, senjata dan amunisi.
Dari Mengwi dikirim barang dagangan seperti kapas, kesumba, kacang, mentimun, kelapa, jagung, ketela, ubi dan cabai. Semua barang dagangan ditransit di pelabuhan Kuta kemudian dikirim ke luar Bali oleh pedagang-pedagang asing. Dengan peranan Kuta sebagai tempat transit perdagangan, maka kerajaan Badung yang menguasai Kuta mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi bagi kerajaan-kerajaan di Bali yaitu sebagai penyalur barang-barang perdagangan.
Stratifikasi sosial masyarakat Badung terbagi menjadi empat wangsa antara lain: brahmana, ksatria, wesya disebut triwangsa dan jaba (kaula). Tiap-tiap wangsa memiliki penggolongannya sendiri-sendiri sehingga tampak sangat bervariasi misalnya wangsa Brahmana terbagi menjadi Siwa dan Budha, ksatria terbagi menjadi ksatria.
Sistem perekonomian kerajaan Badung meliputi cara pengolahan tanah dan pembagian air (subak). Sumbersumber ekonomi yang didapat dan pengelolaan sumber-sumber ekonomi yang berlimpah dari kerajaan Badung dilakukan dengan cara berikut.
1. Perdagangan Budak
2. Iuran Negara yang diperoleh dari orang-orang Bugis yang tinggal di sekitar Dukuh/ Kepaon/ Kuta dan sekitar Serangan/ Kesiman.
3. Pemungutan pajak tanah, pemungutan pajak pasar, pajak pelabuhan, pajak sabungan ayam.
4. Bertani, yang dilakukan orang Bali dengan membajak dan mengerjakan sawah sehingga ketika musim panen, mereka menjual beras dan hasil pertanian lainnya kepada pedagang-pedagang dari pulau lain, seperti Jawa, Lombok, Sulawesi, Banda yang datang ke Badung.
5. Beternak sapi, yaitu sapi-sapi Bali yang kualitasnya terkenal sangat bagus sehingga banyak permintaan terhadap sapi-sapi Bali tersebut.
Insiden Perahu Sri Komala hingga Puputan mengakibatkan perlawanan terhadap belanda
Pada tanggal 27 Mei 1904 sebuah perahu dagang terdampar di pantai timur kerajaan Badung.9 Perahu dagang itu bernama Sri Komala, memakai bendera Belanda dan berlayar dari Banjarmasin mengangkut barang dagangan milik orang Cina bernama Kwee Tek Tjiang. Oleh karena kapal itu kandas dan pecah maka para penumpang kapal menurunkan barang yang masih dapat diselamatkan. Barang itu terdiri dari peti kayu, koper kulit, dan nahkoda minta bantuan kepada bandar di Sanur untuk ikut menjaga keamanan barang-barang yang diturunkan. Atas permintaan pemilik barang maka peristiwa terdamparnya kapal itu dilaporkan kepada raja Badung, I Gusti Gde Ngurah Made Agung.
Dengan adanya laporan tersebut, raja Badung pergi ke tepi pantai dan memerintahkan kepada Boen Tho, seorang Cina di Sanur untuk membantu mengamankan barang-barang dari kapal itu. Semua barang yang terdiri dari gula pasir, minyak tanah dan terasi diturunkan dari kapal dan diangkut ke darat oleh 11 orang Bali yang melakukan tugasnya dengan jujur dan tidak ada yang mencuri. Pada tanggal 29 Mei 1904, datang utusan raja Badung ke pantai untuk mengadakan pemeriksaan. Kedatangannya disambut oleh Kwee Tek Tjiang yang membuat laporan palsu dengan menyatakan bahwa rakyat kerajaan Badung telah mencuri 3700 ringgit uang perak serta 2300 buah uang kepeng. Laporan ini tidak diterima oleh utusan raja karena tidak disertai bukti.
Kwee Tek Tjiang yang merasa tidak puas karena laporannya tidak ditanggapi, menghadap sendiri kepada raja Badung untuk mengadukan kehilangan uangnya itu. Raja Badung menolak pengaduannya karena setelah diadakan pemeriksaan kepada rakyatnya, ternyata tuduhan Kwe Tek Tjiang tidak sesuai. Apalagi rakyat Badung dituduh merampas perahu Sri Komala tersebut pada tanggal 27 Mei 1904. Kwee Tek Tjiang kemudian menghadap residen J. Eschbach. Dihadapan residen, Raja Badung sudah menyatakan rakyatnya tidak melakukan perampasan dan pencurian seperti yang dituduhkan pemilik kapal, tetapi residen tetap memaksa raja Badung harus mengganti kerugian sebesar 3000 ringgit. Namun raja Badung yang yakin rakyatnya tidak melakukan pencurian menolak membayar ganti rugi walaupun pemerintah Hindia Belanda mengultimatumnya.
Penolakan raja Badung mengakibatkan pemerintah Hindia Belanda mengirimkan angkatan laut ke perairan Badung untuk melakukan blokade ekonomi di laut. Pemerintah Hindia Belanda bertujuan agar para pedagang yang semula melakukan perdagangan dari dan ke Badung, menghentikan kegiatannya melalui laut. Akibatnya, sejumlah pedagang tidak berani melakukan kegiatan perdagangan.
Selama blokade itu, ada banyak laporan yang disampaikan kepada Raja Badung mengenai kejadian-kejadian pelanggaran yang dilakukan oleh orang kapal jaga. Negeri Badung juga menderita banyak kerugian atas pajak cukai ekspor yang jumlahnya mencapai 1500 ringgit, yang diberlakukan sejak penutupan negeri Badung. Lebih dari itu, semua biaya yang dikeluarkan untuk membayar kapal-kapal jaga sebesar 2173 ringgit dibebankan juga kepada Raja Badung,sehingga Raja Badung harus membayar biaya keseluruhannya sebesar 5173 ringgit. Raja Badung yang merasa terhina dan marah tentu saja tidak menerima perlakuan tersebut, yang oleh karena itu beliau dengan tegas menolak untuk membayar semua ongkos untuk biaya operasional kapal-kapal jaga.
Ekspedisi militer Belanda ke Badung tidak terjadi seketika, tetapi terlebih dahulu diawali dengan perundingan yang gagal. Pertama Residen Buleleng mengirim surat kepada Raja Badung yang isinya menyatakan bahwa Frederik Albert Liefrinck, yang pernah menjabat sebagai Residen Bali dan Lombok dan sekarang duduk sebagai anggota Raad van Nederlandsch-Indie, akan dikirim untuk berunding bersama-sama dengan Residen Bali dan Lombok yang baru pulang dan Raja Badung untuk menyelesaikan masalah kesulitan dan kerugian yang diderita negeri Badung. Namun demikian dalam musyawarah itu juga tetap ditegaskan mengenai keharusan Raja Badung untuk mengganti biaya selama penutupan negeri Badung sebesar 10.213 ringgit.
Biaya itu dipotong dengan uang cukai pajak yang sudah diterima oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebanyak 8040 ringgit. Artinya Raja Badung masih harus membayar kembali sebanyak 2173 ringgit dan 3000 ringgit untuk kerugian pemilik perahu Sri Komala, sehingga jumlah keseluruhannya adalah 5173 ringgit. Jika Raja Badung tetap menolak maka pemerintah Hindia Belanda akan mengerahkan pasukannya untuk menyerang negeri Badung dan segala akibat yang akan menimpa rakyatnya merupakan tanggungjawab Raja Badung. Oleh karena Raja Badung menolak usulan Belanda, yang berarti perundingan mengalami kegagalan, maka perang akan segera terjadi. Demikianlah selanjutnya pemerintah Hindia Belanda mengultimatum negeri Badung dan mengeluarkan Surat Keputusan untuk memblokade serta mengirimkan ekspedisi militernya ke negeri Badung.
Menjelang kedatangan pasukan Belanda, raja Badung mengadakan rapat untuk membulatkan tekad seluruh rakyat untuk mengahadapi serangan Belanda yang akan datang. Dalam rapat itu seluruh rakyat menyatakan kesetiaannya kepada raja dan ikhlas mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk menghadapi serangan Belanda. Sebelum bergerak ke medan pertempuran, laskar kerajaan biasanya dikumpulkan di puri sambil menerima perintah dari raja bersamaan dengan pelaksanaan upacara yang dipimpin seorang pendeta. Persembahyangan yang dilakukan pada sebuah pura menunjukkan bahwa raja bersama rakyatnya sebagai makhluk cenderung menghubungkan dirinya dengan dzat tertinggi, Hyang Widhi. Dalam melakukan tindakan, rakyat dan raja mohon petunjuk Tuhan sesuai dengan yang digariskan oleh agama Hindu, agama yang dianut oleh mayoritas rakyat kerajaan Badung.
Di pihak Belanda, sesuai dengan ultimatum yang ditujukan terhadap Raja Badung agar menyerahkan diri dalam waktu 1 x 24 jam kepada Belanda dan memberikan tenggang waktu 2 x 24 jam kepada Tabanan, Gubernur Jenderal B. van Heutzs memerintahkan untuk mengirim ekspedisi militer pada tanggal 12 September 1906. Armada kapal perang yang akan mengangkut pasukan di selat Badung dikumpulkan.11 Setelah diadakan pengintaian oleh pasukan Belanda dari kapal marinir yang beroperasi di perairan Bali, maka diterima informasi bahwa tempat yang aman dan dianggap cocok sebagai tempat berlabuh untuk kekuatan ekspedisi adalah di Sanur.
Perang yang berlangsung selama enam hari (15-20 September 1906) berakhir dengan Puputan di kerajaan Badung. Keputusan puputan diambil Raja Badung setelah usai pertempuran di Sanglah, 18 September 1906. Dari geguritan Bhuwana Winasa didapatkan informasi, malam seusai perang yang merenggut nyawa banyak orang dari pihak Badung itu, Raja yang baru berusia 26 tahun itu mengadakan musyawarah dengan para pendeta kerajaan.
Perang bagi raja sangat boleh jadi bukan laku sia-sia, melainkan justru sebagai suatu pilihan cara untuk mengobarkan wirasa (emosi), yaitu menyulut api semangat keberanian dalam diri untuk membela kebenaran. Wirasa pada akhirnya meletupkan semangat, sehingga perang pun bisa dimaknai sebagai suatu kurban persembahan di medan laga. Tidak mengherankan bila sumber-sumber susastra agama Hindu di Bali, seperti kakawin Nitisastra kemudian mengalirkan pemahaman perang di medan laga berbuah kemuliaan, menuai sebutan perwira, dan dipuji-sanjung masyarakat.
Sebaliknya, menyerah, apalagi lari dari arena pertempuran, justru akan menuai makian. Perang bagi raja-raja justru menjadi pemicu kebangkitan gairah surgawi, kerohanian, bukan semata pertempuran raga dan perebutan kekuasaan. Di sana seperti ada ''janji'' surgawi atas pilihan terhadap keberanian dan wirasa (emosi) menjadi spirit pembangkit rasa lain, bahkan juga dipilih sebagai jalan ''penyucian''.
Referensi:
ANRI, Arsip Bali-Lombok No. 71.
ANRI, Nota betreffende de op de kust van Badoeng gestrande prauw Sri Koemala, 27 Agustus 1906.
J.C. van Leur, Indonesia trade and society, (Bandung, 1960), hal 22-56.
Miguel Covarrubias, op cit, hal. 27-28. Lihat juga Henk Schulte Nordholt, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002), hal. 95.
C, eerste deel, (Amsterdam, P.N. van Kampen, 1861), hal. 60.
Komentar
Posting Komentar