Mitos Orang Jawa dalam Memilih Waktu yang Tepat untuk Bercinta
kehidupan orang Jawa banyak dipengaruhi mitos, hal ini tampaknya berkaitan dengan paham kejawen yang mereka anut. Mitos di Jawa erat kaitannya dengan keyakinan atau kepercayaan. Banyak ragam mitos orang Jawa, misalnya mitos larangan, mitos tentang dewa-dewa, mitos ajisaka, mitos semar dan lainnya.
Seperti ajaran tentang seks dalam masyarakat Jawa juga melewati sastra baik sastra lisan maupun sastra tulis, yaitu karya sastra. Sebagai contoh, sastra lisan unen-unen yang berbunyi witing tresno, jalaran saka kulina. Tidak banyak orang yang tahu arti dari unen-unen tersebut, dibalik itu semua terdapat arti yang sangat mendalam dalam kehidupan manusia, karena tiada cinta tanpa mengenal siapa dan bagaimana orang yang dekat, dengan kata lain cinta tumbuh dengan sendirinya karena suatu kebiasaan. Secara sadar atau tidak sadar, hubungan persahabatan atau lainnya, antara laki-laki dan perempuan pasti melibatkan emosi atau perasaan, maka semakin dekat hubungan mereka maka semakin dekat pula hubungan emosi di antara keduanya.
Masyarakat Jawa juga mempercayai bahwa bercinta pada malam tertentu akan bertuah baik dan tidak baik. Mitos tersebut telah dipercayai secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Hal diperkuat oleh sabda Kanjeng Nabi Muhammad dalam Ensiklopedi Serat Centhini ketika menasehati Dewi Fatimah dan Sayid Ali mengenai menunaikan kewajiban suami istri adalah sebagai berikut, “Wahai Ali, nasihatku, jangan engkau bercinta pada tanggal satu atau akhir bulan, keduanya tidak baik. Jika jadi anaknya kecil, lagi pula jangan bercinta tanpa lampu penerangan. Jika kelak menjadi anak, maka anakmu bodoh dan kurang berbudi.
Jangan pula bercinta pada hari Ahad dan malamnya. Jika jadi anak, maka anaknya menjadi penjahat. Juga jangan bercinta pada hari Rabu dan malamnya, itu tidak baik sebab bila jadi anak maka anaknya akan celaka. Jangan bercinta pada waktu fajar, itu juga tidak baik. Jika jadi anak, maka anaknya akan kelewat hina. Jangan pula ditengah hari, jika jadi anak, dia akan menjadi tukang jampi. Begitu pula jangan bercinta pada malam menjelang hari raya, sebab jika jadi anak, akan menjadi durhaka pada ayah ibunya. Jangan pula bercinta pada saat menjelang hari raya besar, kemungkinan bila jadi anak, akan menjadi siwil adatnya.
Jangan bercinta di tempat yang terkena sinar matahari, sebab anaknya kelak akan menjadi anak yang jauh rezeki. Lagi pula jangan bercinta sambil berdiri sebab anaknya kelak akan menjadi anak yang mempunyai sakit beser, sedikit-sedikit kencing. Jangan pula bercinta pada hari Sabtu juga malamnya, sebab anaknya akan celaka dengan air, bisa tenggelam dalam kolam atau terkena musibah banjir. Jangan pula bercinta dengan mengusap vagina dan penis dengan kain jarik atau pakaian, tetapi lebih baik diusap dengan kain yang tidak dipakai anggota tubuh, sebab anaknya akan menjadi kurang baik budinya.
Jangan bercinta sambil berbicara dan menggunjing, sebab anaknya kelak akan menjadi suka menganiaya. Jangan bercinta dengan melihat vagina, anaknya akan menjadi biadab, jangan bercinta dibawah pepohonan, anaknya suka menganiaya. Juga jangan bercinta menjelang malam Barahat, sebab anaknya kelak akan mempunyai penyakit yang tak kunjung sembuh. Janganlah bercinta di penginapan, kelak anaknya akan celaka sekali. Jangan bercinta pula saat istri datang bulan, sebab bila jadi anaknya akan menderita penyakit kusta. Bila wanita sedang haid jangan menggodanya, lebih baik mencari pelampiasan lain.
Jangan pula bercinta pada Sabtu Legi, anaknya jelek juga gila. Jangan bercinta pada malam 3 grebeg Maulud, Puasa, Besar, itu tidak baik, anaknya akan menderita penyakit ayan. Hindarilah bercinta Sabtu Legi dan malam 3 Maulid tersebut, alangkah lebih baik tahanlah rasa syahwat tersebut. Karena larangan orang tua itu bila dilanggar, akan mendapat mara bahaya.
Baiknya bercinta pada malam Senin, anaknya akan rajin mengaji. Bercintalah pada hari Selasa menuju siang, anaknya banyak yang suka. Bercintalah pada hari Kamis, anaknya banyak rejeki. Bercintalah pada malam Jum’at, anaknya akan pandai. Serta bercinta pada hari Jum’at dan Kamis, anaknya akan menjadi penghulu. Saat bercinta mulailah dengan berdoa, membaca basmalah dan taawud. Bila tidak anaknya akan kurang berbudi.
Bercinta setelah Duha itu juga baik, kerena anaknya akan menjadi ulama dan banyak rejekinya. Itu semua adalah perkataan para orang tua, bila dilaksankan akan mendapatkan kebaikan dan jauh dari mara bahaya, untuk menghindari naas atau kejelekan alangkah baiknya menghindari bercinta padaa tanggal-tanggal tertentu, seperti menghindari naas para Nabi. Pada tanggal 13 Asyura Nabi Ibrahim dibakar, tanggal 3 Maulid Nabi Adam turun ke bumi. Tanggal 16 Robiul akhir Nabi Yusuf diamsukkan sumur, tanggal 5 Jumadil Nabi Nuh tenggelam beserta kaumnya yang ingkar, awal Puasa Nabi Musa terjun ke laut.
Tanggal 24 Puasa Nabi Yunus dimakan ikan paus, tanggal 25 Besar Nabi Muhammad dilempar batu hingga tanggal 2 giginya. Juga menghindari tanggal 3, 5, 13, 16, 24, 25 disetiap bulan karena tidak baik. Juga bulan Puasa, Syawal, Dulkaidah pantangan untuk bercinta adalah pada hari Jumat. Bulan Besar, Sura, Sapar pantangan untuk bercinta jatuh pada hari Sabtu dan Ahad. Bulan Maulid, Rabingulakir, Jumadil awal pantangan untuk bercinta terdapat pada hari Senin dan Selasa. Bulan Jumadil akir, Rajab, Ruwah pantangan untuk bercinta adalah pada hari Rabu dan Kamis.
Melihat pandangan di atas, masyarakat Jawa sangat mempercayai akan hal tersebut karena sifat masyarakat Jawa sangat menghargai petuah atau ajaran leluhurnya. Mitos-mitos tentang mempercayai hari-hari tertentu untuk melakukan hubungan seksual dan tidak melakukan hubungan seksual sangat lekat pada masyarakat Jawa. Memang banyak yang tidak percaya terhadap mitos-mitos tersebut, tetapi banyak pula yang telah membuktikan kebenaran mitos tersebut.
Menyikapi hal tersebut alangkah bijaksana kita bisa mengambil hikmah dibalik mitos tersebut dan menjalankannya untuk mendapatkan keturunan yang baik dan berguna bagi orang tua, masyarakat, dan nusa bangsa. Sikap bijaksana juga dijalankan dalam menyikapi pernyataan di atas, dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, sebab Tuhan adalah zat yang Maha Mengetahui dan Maha Berkehendak.
Menyikapi hal tersebut alangkah bijaksana kita bisa mengambil hikmah dibalik mitos tersebut dan menjalankannya untuk mendapatkan keturunan yang baik dan berguna bagi orang tua, masyarakat, dan nusa bangsa. Sikap bijaksana juga dijalankan dalam menyikapi pernyataan di atas, dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, sebab Tuhan adalah zat yang Maha Mengetahui dan Maha Berkehendak.
Penjelasan di atas mengacu pada Serat Centhini (1985: 90-99) I jilid pupuh Sinom dan Asmaradana. Dalam pupuh tersebut dijelaskan tentang berbagai macam hari baik dan buruk untuk melakukan hubungan suami istri. Ditegaskan pula bagaimana pantangan terhadap hari-hari yang disebutkan, ada pula nasehat-nasehat bagi pasangan yang baru menikah untuk melakukan hubungan badan. Pemilihan hari yang baik demi mendapatkan keturunan yang baik. Seperti telah dijelaskan bahwa melakukan hubungan seks pada malam Senin, anaknya akan menjadi anak yang rajin mengaji, hari Selasa menuju siang, anaknya akan banyak yang suka dan menjadi idola bagi orang-orang, hari Kamis anaknya akan banyak rejeki merupakan pengharapan menjadi orang yang sukses dalam bidangnya kelak, bercinta pada malam Jum’at, anaknya akan pandai kaya ilmu dunia dan akhirat (agama). Bercinta pada hari Jum’at dan Kamis, anaknya akan menjadi penghulu dan banyak memberi pertolongan bagi sesamanya.
Ada pula hari yang pantang untuk melakukan hubungan seks, yaitu hari saat naas nabi-nabi juga hari-hari berikut yaitu pada hari Sabtu Legi, anaknya jelek juga gila, menjadi aib keluarga kebanyakan penyakit gila yang menjadi bawaan lahir. Jangan bercinta pada malam 3 grebeg Maulud, Puasa, Besar, anaknya akan menderita penyakit ayan dan kunjung tiada obatnya. Juga jangan bercinta saat wanita haid, anaknya akan mempunyai penyakit kusta. Jadi secara garis besar nasehat-nasehat itu menjadikan suatu pegangan dan petuah sendiri untuk melakukan hubungan seks demi mendapatkan keturunan yang baik secara jasmani dan rohani.
Referensi:
Kamajaya. 1985. Serat Centhini. Yogyakarta: CV. Surya Gading.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Dwiyanto, Djoko. 2008. Ensiklopedi Serat Centhini. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Dwiyanto, Djoko. 2008. Ensiklopedi Serat Centhini. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Komentar
Posting Komentar