Bencana banjir
Banjir dapat berupa genangan pada lahan yang biasanya kering seperti pada lahan pertanian, permukiman, pusat kota. Banjir dapat juga terjadi karena debit/volume air yang mengalir pada suatu sungai atau saluran drainase melebihi atau diatas kapasitas pengalirannya. Luapan air biasanya tidak menjadi persoalan bila tidak menimbulkan kerugian, korban meninggal atau luka-2, tidak merendam permukiman dalam waktu lama, tidak menimbulkan persoalan lain bagi kehidupan sehari-hari. Bila genangan air terjadi cukup tinggi, dalam waktu lama, dan sering maka hal tersebut akan mengganggu kegiatan manusia. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, luas area dan frekuensi banjir semakin bertambah dengan kerugian yang makin besar.
Secara umum dampak banjir dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung relative lebih mudah diprediksi dari pada dampak tidak langsung. Dampak yang dialami oleh daerah perkotaan dimana didominasi oleh permukiman penduduk juga berbeda dengan dampak yang dialami daerah perdesaan yang didominasi oleh areal pertanian.
Banjir yang menerjang suatu kawasan dapat merusak dan menghanyutkan rumah sehingga menimbulkan korban luka-luka maupun meninggal seperti yang terjadi di Wasior maupun Bohorok. Banjir juga dapat melumpuhkan armada angkutan umum (bus mikro, truk) atau membuat rute menjadi lebih jauh untuk bisa mencapai tujuan karena menghindari titik genangan seperti yang sering terjadi di jalur pantura Jawa. Banjir mengganggu kelancaran angkutan kereta api dan penerbangan. Penduduk seringkali harus mengungsi sementara ke tempat yang lebih aman, bebas banjir seperti yang setiap tahun terjadi di Cienteung, Bandung Selatan.
Banjir juga merupakan bencana yang relatif paling banyak menimbulkan kerugian. Kerugian yang ditimbulkan oleh banjir, terutama kerugian tidak langsung, mungkin menempati urutan pertama atau kedua setelah gempa bumi atau tsunami. Bukan hanya dampak fisik yang diderita oleh masyarakat tetapi juga kerugian non-fisik seperti sekolah diliburkan, harga barang kebutuhan pokok meningkat, dan kadang-kadang sampai ada yang meninggal dunia.
Penyebab Terjadinya Banjir: Perubahan Guna Lahan
Terjadinya banjir disebabkan oleh kondisi dan fenomena alam (topografi, curah hujan), kondisi geografis daerah dan kegiatan manusia yang berdampak pada perubahan tata ruang atau guna lahan di suatu daerah. Banjir di sebagian wilayah Indonesia, yang biasanya terjadi pada Januari dan Februari, yaitu diakibatkan oleh intensitas curah hujan yang sangat tinggi, misalnya intensitas curah hujan DKI Jakarta lebih dari 500 mm (BMKG, 2013).
faktor penyebab banjir adalah perubahan guna lahan, pembuangan sampah, erosi dan sedimentasi, kawasan kumuh di sepanjang sungai, system pengendalian banjir yang tidak tepat, curah hujan tinggi, fisiografi sungai, kapasitas sungai yang tidak memadai, pengaruh air pasang, penurunan tanah, bangunan air, kerusakan bangunan pengendali banjir.
Berdasarkan kodisi geografisnya, kawasan yang terletak di dataran banjir mempunyai resiko yang besar tergenang banjir. Selain Jakarta, beberapa kota besar di Indonesia terletak di dataran banjir sehingga mempunyai resiko yang besar tergenang banjir. Banjir saat ini banyak yang terjadi pada wilayah dataran banjir. Sebanyak 13 sungai di Jakarta berpotensi banjir (Bisnis Indonesia, 2012).
Terjadinya banjir juga dipengaruhi oleh kegiatan manusia atau pembangunan yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lingkungan. Banyak pemanfaatan ruang yang kurang memperhatikan kemampuannya dan melebihi kapasitas daya dukungnya.
Di wilayah perkotaan, ruang terbuka hijau dan taman kota luasnya masih banyak yang dibawah luas yang ideal untuk sebuah kota, kini semakin berkurang terdesak oleh permukiman maupun penggunaan lain yang dianggap mampu memberikan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi.
Akibat dari berkurangnya RTH kota maka tingkat infiltrasi di kawasan tersebut menurun sedangkan kecepatan dan debit aliran permukaannya meningkat. Ketika turun hujan lebat dalam waktu yang lama, maka sebagian besar air hujan akan mengalir diatas permukaan tanah dengan kecepatan dan volume yang besar dan selanjutnya terakumulasi menjadi banjir. Banyak kawasan atau jalan-jalan di Bandung yang mengalami hal seperti tersebut sehingga mirip sungai di tengah kota.
Dalam hal perilaku atau kesadaran masyarakat terhadap lingkungan, masih banyak masyarakat yang belum atau kurang menyadari bahwa perilaku sehari-hari atau kegiatan yang dilakukannya dapat merugikan orang lain, baik di daerah tersebut maupun di daerah lain.
Banjir di DAS Citarum juga disebabkan oleh beragam persoalan seperti penggundulan kawasan hulu DAS, penurunan muka tanah akibat penggunaan air yang berlebihan, sedimentasi, dan perilaku masyarakat di sekitar sungai yang kurang baik dalam memperlakukan lingkungan, terutama dalam membuang sampah ke badan sungai (Kodoatie dan Syarief, 2006; Rosyidie dkk, 2012).
Salah satu penyebab terjadinya banjir Bandung Selatan adalah terjadinya perubahan guna lahan di wilayah hulu DAS Citarum terutama di kawasan Gunung Wayang. Kawasan yang semula penggunaan lahannya didominasi oleh hutan, baik yang dikelola oleh perhutani maupun pihak lain (termasuk masyarakat), kini telah banyak yang berubah menjadi pertanian hortikultura dengan tanaman musiman seperti kentang, wortel, dll yang memerlukan waktu singkat untuk dapat dipanen (Rosyidie dkk, 2012).
Kegiatan tersebut dalam waktu singkat memang mampu memberikan pendapatan yang cukup besar kepada petani, namun dampak lingkungan yang ditimbulkan cukup serius bukan hanya bagi wilayah tersebut tetapi juga bagi wilayah dibawahnya. Banyak tanah dengan kelerengan tinggi/terjal ditanami tanaman musiman sehingga tidak mampu melindungi tanah dari erosi. Walaupun masyarakat sudah dihimbau untuk beralih ke pekerjaan lain dan menanami lahan mereka dengan tanaman keras atau tanaman tahunan, namun dengan pertimbangan ekonomi dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari maka tidak banyak penduduk yang bersedia merubah pola tanam mereka. Akibatnya, tingkat erosi di kawasan tersebut tetap tinggi sehingga menimbulkan sedimentasi dan banjir di wilayah bawahnya.
Berdasarkan kualitas atau kondisinya, banyak DAS yang dalam kondisi kritis. Jumlah DAS kritis mengalami peningkatan dari 22 DAS (1970) menjadi 36 DAS (1980) dan sejak tahun 1999 menjadi 60 DAS. Peningkatan jumlah DAS kritis tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan DAS selama ini belum benar (Departemen Kehutanan, 2009).
Dari 458 DAS yang ada di Indonesia, sebanyak 282 daalam kondisi kritis (terdiri dari 222 DAS kritis dan 60 DAS termasuk kritis berat) dan 176 berpotensi kritis, yang diakibatkan terutama oleh alih fungsi lahan. Semakin hilangnya vegetasi di bagian hulu DAS menyebabkan DAS tidak mampu berfungsi menyerap air hujan, bahkan mengalami erosi dan menyebabkan aliran air banyak membawa sedimentasi ke arah hilir (AntaraJawaBarat 2013).
Dari 41 DAS di Jawa Barat, banyak yang berada dalam kondisi kritis dan sangat kritis. DAS Citarum merupakan salah satu DAS di propinsi Jawa Barat, yang dalam kondisi kritis (Pikiran Rakyat, 2012). Kekritisan DAS dapat dilihat dari berbagai kriteria seperti perbedaan debit minimum dengan debit maksimum, luas lahan kritis, tingkat erosi dan sedimentasi, kualitas atau pencemaran air, dll.
Kekritisan DAS juga dapat dilihat dari berkurangnya luas vegetasi penutup permanen dan bertambah luasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam penyimpanan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan tanah longsor pada waktu musim penghujan dan kekeringan pada waktu musim kemarau (Departemen Kehutanan, 2009).
Salah satu penyebab terjadinya banjir di sejumlah wilayah Kabupaten Bandung dan Sumedang adalah penurunan alih fungsi lahan DAS Citarum. Pada saat ini kondisi hutan di hulu DAS Citarum sudah sangat kritis akibat perambahan hutan atau illegal logging, yang dilakukan oleh masyarakat untuk kemudian ditanami tanaman hortikultura seperti sayuran (Pikiran Rakyat 2010). Akibatnya, pada waktu turun hujan maka hutan sudah tidak mampu untuk menyimpan air. Air hujan akan langsung mengalir sebagai aliran permukaan dan terjadi banjir.
Saat ini hulu DAS Citarum sudah tidak dapat lagi menyerap atau menahan air hujan sehingga terjadi erosi dan kemudian material hasil erosi tersebut terbawa air mengalir ke wilayah hilir (Pikiran Rakyat, 210).
Kompleksnya permasalahan banjir di Kabupaten Bandung dan wilayah lainnya ternyata juga terkait dengan kelemahan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan dan perilaku manusia (Pikiran Rakyat, 2010).
Banjir di luar Jawa dari tahun ke tahun juga meningkat dengan salah satu penyebab utama karena pembalakan liar. Daerah yang semula mengalami genangan biasa sekarang sudah menjadi bencana karena bertambahnya tinggi dan lama genangan (Kodoatie dan Syarief, 2006).
Diantara berbagai faktor penyebab terjadinya banjir tersebut diatas, faktor perubahan guna lahan atau tata ruang merupakan penyebab utama terjadinya banjir di banyak daerah (Kodoatie dan Syarief, 2006).
Di Gunung Wayang, hulu DAS Citarum, kawasan yang semula didominasi oleh hutan kini telah banyak yang berubah menjadi pertanian holtikultura dengan tanaman kentang, wortel, dll yang memerlukan waktu singkat untuk dapat dipanen (Lestari, 2012; Rosyidie dkk, 2012). Akibatnya, tingkat erosi di kawasan tersebut tinggi sehingga menimbulkan sedimentasi dan banjir di wilayah bawahnya.
Kondisi DAS Citarum yang kritis juga akibat pola penggunaan lahan dan juga terjadinya fenomena perubahan iklim berpotensi mengakibatkan banjir dengan frekuensi yang lebih sering.
Menurut Rizaldi (Kompas, 2013), sampai tahun 2025 guna lahan di DAS Citarum yang paling tinggi tingkat pertumbuhannya adalah permukiman. Bila pola penggunaan lahannya sampai tahun 2010 tidak mengalami perubahan maka pertambahannya bisa mencapai 4.000 Hektar per tahun. Pertambahan areal permukiman yang sangat pesat berasal dari alih fungsi lahan dari hutan dan persawahan menjadi permukiman dan non sawah. Diperkirakan per tahun sekitar 2.500 hektar hutan dan 2.600 hektar sawah mengalami perubahan.
Luas daerah di cekungan Bandung yang sering terkena banjir mencapai 22.000 hektar dengan periode ulang banjir lebih dari 25 tahun. Bila kecenderungan perubahan kondisinya masih seperti saat ini maka diperkirakan pada 2025 periode ulang banjir di kawasan tersebut akan menjadi lebih cepat, yaitu antara 10-25 tahun (Kompas, 2013).
Rizaldi menegaskan bahwa di Cekungan Bandung terdapat 2.000 hektar lahan yang biasanya mengalami banjir setiap 2 atau 3 tahun, akan menjadi banjir tahunan akibat dari perubahan guna lahan dan perubahan iklim (Kompas, 2013).
Referensi:
Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (2013): Analisis Hujan Bulan Januari 2013. Buletin BMKG.
Bisnis Indonesia (2012): 13 Sungai di Jakarta Berpotensi Banjir. Edisi 21 November 2012.
Kodoatie, Robert, J dan Roestam Sjarief (2006): Pengelolaan Bencana Terpadu.
Penerbit Yarsif Watampone, Jakarta. Rosyidie, Arief, dkk. (2012): Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum. Laporan Penelitian LPPM, ITB
Kodoatie, Robert, J dan Roestam Sjarief (2006): Pengelolaan Bencana Terpadu. Penerbit Yarsif Watampone, Jakarta. Departemen Kehutanan (2009): Kerangka Kerja Pengelolaan DAS di Indonesia.
Komentar
Posting Komentar