Pada dasarnya setiap keluarga ingin membangun keluarga bahagia dan penuh rasa saling mencintai baik secara lahir maupun batin, dengan kata lain bahwa setiap keluarga sungguh menghendaki dapat membangun keluarga harmoni dan bahagia yang sering disebut keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Pada kenyataannya bahwa tidak semua keluarga dapat berjalan mulus dalam mengarungi hidupnya, karena dalam keluarga tidak sepenuhnya dapat dirasakan kebahagiaan dan saling mencintai dan menyayangi, melainkan terdapat rasa ketidaknyamanan, tertekan, atau kesedihan dan saling takut dan benci di antara sesamanya. Hal ini diindikasikan dengan masih dijumpainya pada sejumlah rumah tangga yang bermasalah, bahkan terjadi berbagai ragam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
KDRT memiliki dampak yang sangat berarti terhadap perilaku anak, baik berkenaan dengan kemampuan kognitif, kemampuan pemecahan masalah, maupun fungsi mengatasi masalah dan emosi. Adapun 5 dampak KDRT secara rinci akan dibahas berdasarkan tahapan perkembangannya sebagai berikut:
1. Dampak terhadap Anak berusia bayi
Usia bayi seringkali menunjukkan keterbatasannya dalam kaitannya dengan kemampuan kognitif dan beradaptasi. Anak bayi yang menyaksikan terjadinya kekerasan antara pasangan bapak dan ibu sering dicirikan dengan anak yang memiliki kesehatan yang buruk, kebiasaan tidur yang jelek, dan teriakan yang berlebihan. Bahkan kemungkinan juga anak-anak itu menunjukkan penderitaan yang serius. Hal ini berkonsekuensi logis terhadap kebutuhan dasarnya yang diperoleh dari ibunya ketika mengalami gangguan yang sangat berarti. Kondisi ini pula berdampak lanjutan bagi ketidaknormalan dalam pertumbuhan dan perkembangannya yang sering kali diwujudkan dalam problem emosinya, bahkan sangat terkait dengan persoalan kelancaran dalam berkomunikasi.
2. Dampak terhadap anak kecil
Dalam tahun kedua fase perkembangan, anak-anak mengembangkan upaya dasarnya untuk mengaitkan penyebab perilaku dengan ekspresi emosinya. Expresi marah dan kasih sayang yang terjadi secara alamiah dan berpura-pura. Selanjutnya ditegaskan bahwa ekspresi marah dapat menyebabkan bahaya atau kesulitan pada anak kecil. Kesulitan ini semakin menjadi lebih nampak, ketika ekspresi verbal dibarengi dengan serangan fisik oleh anggota keluarga lainnya. Bahkan banyak peneliti berhipotesis bahwa penampilan emosi yang kasar dapat mengancam rasa aman anak dalam kaitannya dengan lingkungan sosialnya.
Dalam tahun kedua fase perkembangan, anak-anak mengembangkan upaya dasarnya untuk mengaitkan penyebab perilaku dengan ekspresi emosinya. Expresi marah dan kasih sayang yang terjadi secara alamiah dan berpura-pura. Selanjutnya ditegaskan bahwa ekspresi marah dapat menyebabkan bahaya atau kesulitan pada anak kecil. Kesulitan ini semakin menjadi lebih nampak, ketika ekspresi verbal dibarengi dengan serangan fisik oleh anggota keluarga lainnya. Bahkan banyak peneliti berhipotesis bahwa penampilan emosi yang kasar dapat mengancam rasa aman anak dalam kaitannya dengan lingkungan sosialnya.
Pada tahun ketiga ditemukan bahwa anak-anak yang merespon dalam interaksinya dengan kemarahan, maka yang ditimbulkannya adalah adanya sikap agresif terhadap teman sebayanya. Yang menarik bahwa anak laki-laki cenderung lebih agresif daripada anak-anak perempuan selama simulasi, sebaliknya anak perempuan cenderung lebih distress daripada anak laki-laki. Selanjutnya dapat dikemukakan pula bahwa dampak KDRT terhadap anak usia muda (anak kecil) sering digambarkan dengan problem perilaku, seperti seringnya sakit, memiliki rasa malu yang serius, memiliki self-esteem yang rendah, dan memiliki masalah selama dalam pengasuhan, terutama masalah sosial, misalnya : memukul, menggigit, dan suka mendebat.
3. Dampak terhadap Anak usia pra sekolah
Cumming (1981) melakukan penelitian tentang KDRT terhadap anak-anak yang berusia TK, pra sekolah, sekitar 5 atau 6 tahun. Dilaporkannya bahwa Anak-anak yang memperoleh rasa distress pada usia sebelumnya dapat diidentifikasi tiga tipe reaksi perilaku. Pertama, 46%-nya menunjukkan emosi negatif yang diwujudkan dengan perilaku marah yang diikuti setelahnya dengan rasa sedih dan berkeinginan untuk menghalangi atau campur tangan. Kedua, 17%-nya tidak menunjukkan emosi, tetapi setelah itu mereka marah. Ketiga, lebih dari sepertiganya, menunjukkan perasaan emosional yang tinggi (baik positif maupun negatif) selama berargumentasi. Keempat, mereka bahagia, tetapi sebagian besar di antara mereka cenderung menunjukkan sikap agresif secara fisik dan verbal terhadap teman sebayanya.
Berdasarkan pemeriksaan terhadap 77 anak, Davis dan Carlson (1987) menemukan anak-anak TK yang menunjukkan perilaku reaksi agresif dan kesulitan makan pada pria lebih tinggi daripada wanita. Hughes (1988) melakukan penelitian terhadap ibu dan anak-anak yang usia TK dan non-TK, baik dari kelompok yang tidak menyaksikan KDRT maupun yang menyaksikan KDRT. Disimpulkan bahwa kelompok yang menyaksikan KDRT menunjukkan tingkat distress yang jauh lebih tinggi, dan kelompok anak-anak TK menunjukkan perilaku distres yang lebih tinggi daripada anak-anak non-TK. deLange (1986) melalui pengamatannya bahwa KDRT berdampak terhadap kompetensi perkembangan sosial-kognitif anak usia prasekolah. Ini dapat dijelaskan bahwa anak-anak prasekolah yang dipisahkan secara sosial dari teman sebayanya, bahkan tidak berkesempatan untuk berhubungan dengan kegiatan atau minat teman sebayanya juga, maka mereka cenderung memiliki beberapa masalah yang terkait dengan orang dewasa.
Cumming (1981) melakukan penelitian tentang KDRT terhadap anak-anak yang berusia TK, pra sekolah, sekitar 5 atau 6 tahun. Dilaporkannya bahwa Anak-anak yang memperoleh rasa distress pada usia sebelumnya dapat diidentifikasi tiga tipe reaksi perilaku. Pertama, 46%-nya menunjukkan emosi negatif yang diwujudkan dengan perilaku marah yang diikuti setelahnya dengan rasa sedih dan berkeinginan untuk menghalangi atau campur tangan. Kedua, 17%-nya tidak menunjukkan emosi, tetapi setelah itu mereka marah. Ketiga, lebih dari sepertiganya, menunjukkan perasaan emosional yang tinggi (baik positif maupun negatif) selama berargumentasi. Keempat, mereka bahagia, tetapi sebagian besar di antara mereka cenderung menunjukkan sikap agresif secara fisik dan verbal terhadap teman sebayanya.
Berdasarkan pemeriksaan terhadap 77 anak, Davis dan Carlson (1987) menemukan anak-anak TK yang menunjukkan perilaku reaksi agresif dan kesulitan makan pada pria lebih tinggi daripada wanita. Hughes (1988) melakukan penelitian terhadap ibu dan anak-anak yang usia TK dan non-TK, baik dari kelompok yang tidak menyaksikan KDRT maupun yang menyaksikan KDRT. Disimpulkan bahwa kelompok yang menyaksikan KDRT menunjukkan tingkat distress yang jauh lebih tinggi, dan kelompok anak-anak TK menunjukkan perilaku distres yang lebih tinggi daripada anak-anak non-TK. deLange (1986) melalui pengamatannya bahwa KDRT berdampak terhadap kompetensi perkembangan sosial-kognitif anak usia prasekolah. Ini dapat dijelaskan bahwa anak-anak prasekolah yang dipisahkan secara sosial dari teman sebayanya, bahkan tidak berkesempatan untuk berhubungan dengan kegiatan atau minat teman sebayanya juga, maka mereka cenderung memiliki beberapa masalah yang terkait dengan orang dewasa.
4. Dampak terhadap Anak usia SD
Jaffe dkk (1990) menyatakan bahwa pada usia SD, orangtua merupakan suatu model peran yang sangat berarti. Baik anak pria maupun wanita yang menyaksikan KDRT secara cepat belajar bahwa kekerasan adalah suatu cara yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik dalam hubungan kemanusiaan. Mereka lebih mampu ,mengekspresikan ketakutan dan kecemasannya berkenaan dengan perilaku orangtuanya. Hughes (1986) menemukan bahwa anak-anak usia SD seringkali memiliki kesulitan tentang pekerjaan sekolahnya, yang diwujudkan dengan prestasi akademik yang jelek, tidak ingin pergi ke sekolah, dan kesulitan dalam konsentrasi. Wolfe et.al, 1986: Jaffe et.al, 1986, Christopoulus et al, 1987 menguatkan melalui studinya, bahwa anak-anak dari keluarga yang mengalami kekerasan domistik cenderung memiliki problem perilaku lebih banyak dan kompetensi sosialnya lebih rendah daripada keluarga yang tidak mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Sementara studi yang dilakukan terhadap anak-anak Australia, (Mathias et.al, 1995) sebanyak 22 anak dari usia 6 sd 11 tahun menunjukkan bahwa kelompok anak-anak yang secara historis mengalami kekerasan dalam rumah tangganya cenderung mengalami problem perilaku pada tinggi batas ambang sampai tingkat berat, memiliki kecakapan adaptif di bawah rata-rata, memiliki kemampuan membaca di bawah usia kronologisnya, dan memiliki kecemasan pada tingkat menengah sampai dengan tingkat tinggi.
Jaffe dkk (1990) menyatakan bahwa pada usia SD, orangtua merupakan suatu model peran yang sangat berarti. Baik anak pria maupun wanita yang menyaksikan KDRT secara cepat belajar bahwa kekerasan adalah suatu cara yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik dalam hubungan kemanusiaan. Mereka lebih mampu ,mengekspresikan ketakutan dan kecemasannya berkenaan dengan perilaku orangtuanya. Hughes (1986) menemukan bahwa anak-anak usia SD seringkali memiliki kesulitan tentang pekerjaan sekolahnya, yang diwujudkan dengan prestasi akademik yang jelek, tidak ingin pergi ke sekolah, dan kesulitan dalam konsentrasi. Wolfe et.al, 1986: Jaffe et.al, 1986, Christopoulus et al, 1987 menguatkan melalui studinya, bahwa anak-anak dari keluarga yang mengalami kekerasan domistik cenderung memiliki problem perilaku lebih banyak dan kompetensi sosialnya lebih rendah daripada keluarga yang tidak mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Sementara studi yang dilakukan terhadap anak-anak Australia, (Mathias et.al, 1995) sebanyak 22 anak dari usia 6 sd 11 tahun menunjukkan bahwa kelompok anak-anak yang secara historis mengalami kekerasan dalam rumah tangganya cenderung mengalami problem perilaku pada tinggi batas ambang sampai tingkat berat, memiliki kecakapan adaptif di bawah rata-rata, memiliki kemampuan membaca di bawah usia kronologisnya, dan memiliki kecemasan pada tingkat menengah sampai dengan tingkat tinggi.
5. Dampak terhadap Anak remaja
Pada usia ini biasanya kecakapan kognitif dan kemampuan beradaptasi telah mencapai suatu fase perkembangan yang meliputi dinamika keluarga dan jaringan sosial di luar rumah, seperti kelompok teman sebaya dan pengaruh sekolah. Dengan kata lain, anak-anak remaja sadar bahwa ada cara-cara yang berbeda dalam berpikir, merasa, dan berperilaku dalam kehidupan di dunia ini. Misalnya studi Davis dan Carlson (1987) menyimpulkan bahwa hidup dalam keluarga yang penuh kekerasan cenderung dapat meningkatkan kemungkinan menjadikan istri yang tersiksa, sementara itu Hughes dan Barad (1983) mengemukakan dari hasil studinya bahwa angka kejadian kekerasan yang tinggi dalam keluarga yang dilakukan oleh ayah cenderung dapat menimbulkan korban kekerasan, terutama anak-anaknya.
Pada usia ini biasanya kecakapan kognitif dan kemampuan beradaptasi telah mencapai suatu fase perkembangan yang meliputi dinamika keluarga dan jaringan sosial di luar rumah, seperti kelompok teman sebaya dan pengaruh sekolah. Dengan kata lain, anak-anak remaja sadar bahwa ada cara-cara yang berbeda dalam berpikir, merasa, dan berperilaku dalam kehidupan di dunia ini. Misalnya studi Davis dan Carlson (1987) menyimpulkan bahwa hidup dalam keluarga yang penuh kekerasan cenderung dapat meningkatkan kemungkinan menjadikan istri yang tersiksa, sementara itu Hughes dan Barad (1983) mengemukakan dari hasil studinya bahwa angka kejadian kekerasan yang tinggi dalam keluarga yang dilakukan oleh ayah cenderung dapat menimbulkan korban kekerasan, terutama anak-anaknya.
Tetapi ditekankan pula oleh Rosenbaum dan O’Leary (1981) bahwa tidak semua anak yang hidup kesehariannya dalam hubungan yang penuh kekerasan akan mengulangi pengalaman itu. Artinya bahwa seberat apa pun kekerasan yang ada dalam rumah tangga, tidak sepenuhnya kekerasan itu berdampak kepada semua anak remaja, tergantung ketahanan mental dan kekuatan pribadi anak remaja tersebut. Dari banyak penelitian menunjukkan bahwa konflik antar kedua orangtua yang disaksikan oleh anak-anaknya yang sudah remaja cenderung berdampak yang sangat berarti, terutama anak remaja pria cenderung lebih agresif, sebaliknya anak remaja wanita cenderung lebih dipresif.
referensi:
Cummings, E.M., Zahn-Waxler, C. and Radke-Yarrow, M. 1981, 'Young children's responses to expressions of anger and affection by others in the family', Child Development, vol.52, pp.1274-82.
Davis, L. and Carlson, B. (1987), 'Observation of spouse abuse: what happens to the children?', Journal of Interpersonal Violence vol.2, no.3, pp.278- 91.
Hughes, H. (1986), Research with children in shelters: implications for clinical services, Children Today, vol.15, no.2, pp.21-5.
deLange, C. (1986), 'The family place children's therapeutic program', Children's Today, pp.12-15.
Christopoulos, C., Cohn, D., Shaw, D., Joyce, S., Sullivan-Hanson, J., Kraft, S. and Emery, R. (1987), 'Children of abused women: adjustmenet at time of shelter residence', Journal of the Marriage and the Family, vol. 49, pp. 611-19.
Mathias, J., Mertin, P. and Murray, B. (1995), 'The psychological functioning of children from backgrounds of domestic violence', Australian Psychologist, vol.30, no.1 (March).
Komentar
Posting Komentar