Rahasia dan kepercayaan mistis di hutan wonosadi

Hutan wonosadi
Masyarakat pemangku adat Hutan Wonosadi utamanya adalah warga dusun Duren dan Sidorejo yang termasuk dalam wilayah Desa Beji Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Beji terdiri 14 pedusunan, selain dua yang sudah disebutkan sebelumnya, yaitu: Tungkluk, Serut, Ngelo Kidul, Ngelo Lor, Beji, Grojogan, Banaran, Bejono, Bendo, Tegalrejo, Daguran Lor dan Daguran Kidul. Dusun-dusun tersebar di antara tanah perbukitan dan di antaranya berbatu-batu besar.

Wilayah hutan Wonosadi terdiri dari kurang lebih seluas 25 ha hutan inti. Tanah ini merupakan tanah negara dan berstatus sebagai Tanah Oro-Oro. Wilayah hutan bahkan sedang diajukan untuk menjadi Hutan Adat. Pengajuan dilakukan kepada Menteri Kehutanan melalui Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul. Wilayah hutan inti didukung oleh wilayah hutan penyangga yang merupakan hutan rakyat seluas kurang lebih 25 ha (sumber lain mengatakan luas hutan penyangga adalah 28,7 ha) yang terdiri dari 15 ha berada di wilayah Dusun Duren dan 10 ha berada di wilayah Dusun Sidorejo. Wilayah hutan penyangga ini merupakan tanah hak sehingga masyarakat berhak untuk menanami dan mengelolanya sendiri meskipun tetap dalam koordinasi dengan pengelola hutan karena keberadaannya sangat mendukung hutan inti. Selebihnya adalah hutan produksi yang dikelola masyarakat yang berupa sisa lahan dari luas wilayah 725,88 ha.

Mengenai nama Wonosadi ada beberapa tafsir. Wonosadi, asal katanya Wonosandi, yang terdiri dari kata wono yang artinya hutan dan sandi yang artinya rahasia. 

Tafsir tentang rahasia apa yang ada di hutan Wonosadi antara lain:

1. Rahasia Pertama. Hutan Wonosadi berasal dari hutan alam belantara yang luas. Ketika datang pelarian Majapahit yang hendak mencari wahyu kraton dan tempat pertapaan datanglah mereka di wilayah ini. Wilayah hutan diyakini dihuni oleh kawanan jin yang dipimpin Gadhung Melati. Ketika Rara Resmi dengan kedua putranya menemukan tempat ini, mereka harus bertarung dengan raja jin tersebut. Setelah kawanan jin kalah dari dua pangeran Majapahit ini, maka mereka bersama-sama hidup menunggu hutan Wonosadi. Hutan Wonosadi menjadi keramat bagi masyarakat sekitar.
2. Rahasia Kedua. Karena wilayah hutan menjadi tempat tinggal dan pertapaan orang-orang Majapahit, maka dimungkinkan di hutan ini disimpan pusaka-pusakn kraton Majapahit.
3. Rahasia Ketiga. Hutan Wonosadi dikenal mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati yang banyak. Berbagai jenis flora dan fauna hidup di sini. Oleh karenanya ia menjadi pusat studi berbagai ilmu seperti biologi, kehutanan, dan lainnya. Kekayaan tanaman obat sangat dikenal masyarakat sejak dulu. Bila ada orang melahirkan atau sakit lainnya, maka dianjurkan mengambil tanaman obat di sini. Mbah Ongoloco dikenal dengan jiwa penolongnya. Karena fungsi obatnya ini hutan Wonosadi dikenal dengan Wono Usodo (hutan penyembuhan). Rahasia yang ketiga inilah yang paling dipahami masyarakat.

Pernik-pernik mitologis ini masih hidup sampai sekarang. Rahasia hutan masih menjadi pertanyaan. Banyak tafsir dikemukakan mengenai rahasia ini. Ada tafsir yang mengatakan bahwa rahasia yang dimaksud adalah kekayaan obat-obatan. Tafsir yang lain adalah kemungkinan harta benda yang dibawa para nenek moyang dari Majapahit ketika melarikan diri kala itu. Tafsir yang lain lebih menunjuk pada keanehan-keanehan yang terjadi yang dirasakan masyarakat sampai saat ini.

Keangkeran hutan masih menjadi hal yang dipertimbangkan apabila anggota masyarakat akan melakukan hal-hal yang di luar kebiasaan adat. Hal ini menyebabkan tidak adanya anggota masyarakat yang berani merusak hutan. Keberadaan Ki Onggoloco dan dimungkinkan juga raja jin Gadhung Melati memberikan aura tersendiri bagi eksistensi hutan. Beberapa pendapat dari narasumber penelitian menunjukkan masih berkembangnya kepercayaan ini. Tidak hanya dari para orang tua yang relatif masih mendapatkan cerita langsung dari para orang tua mereka, pendapat para pemuda pun tidak berbeda. 

Di bawah ini beberapa kepercayaan yang hidup di masyarakat yang menunjukkan ”kekuatan” mitologis hutan Wonosadi.

1. Munculnya suara dan angin dalam prosesi ritual Sadranan Wonosadi sebagaimana sudah dijelaskan di bagian atas. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa ada makhluk lain yang tinggal di hutan.
2. Dipercaya sering didengar suara tetapi tidak ada wujud.
3. Bahkan sampai sekarang masih diyakini adanya makhluk aneh yang sering merasuki raga manusia dan juga menunjukkan diri misalnya dalam foto yang terekam oleh pengunjung hutan. Gangguan-gangguan kepada pengunjung atau peneliti atau tamu yang lain juga sering terjadi.
4. Sangat diyakini, terlarang memanfaatkan kayu untuk dijadikan bangunan rumah. Hal ini akan menyebabkan rumah gampang lapuk, roboh atau terbakar. Keperayaan ini sangat dipegang teguh terutama oleh warga Duren. Masyarakat mempercayai pohon-pohon tersebut ada yang menunggu.
5. Kekeramatan hutan dirasakan masyarakat sampai sekarang. Salah satu sumber, forum.infojawa.org, menginformasikan bahwa pernah suatu saat masyarakat menebang pohon akasia karena dianggap banyak menyerap air sehingga diyakini mematikan mata air sekitarnya. Akan tetapi ketika batang-batang pohon dibawa dengan truk, enam ban truk yang membawanya meletus dan orang-orang yang membawanya cedera. Mungkin bisa saja dijelaskan bahwa barang bawaan truk tersebut terlalu berat, Tetapi mengapa harus enam ban sekaligus meletus menjadi bahan pertanyaan masyarakat. Percaya dan tidak percaya, mungkin itu yang dihadapi masyarakat sekarang yang sudah memikirkannya secara rasional.
6. Tidak hanya mengambil batang kayu, mengambil rumput pun dipercaya dilarang. Sebagian mereka mempercayai bila hal ini dilakukan maka ternak akan mati. Pernah suatu saat terjadi, ada keluarga yang mempunyai areal tegalan di dekat hutan, salah satu dari mereka memetik buah di hutan. Ternyata mereka, ibu dan anak-anaknya, diserang oleh segerombolan lebah. Meskipun mereka mengalami luka serius tetapi tidak sampai meninggal. Masyarakat memaknai ini sebagai peringatan karena dalam tahap tertentu serangan lebah yang hebat dapat menyebabkan kematian.
7. Hutan Wonosadi tidak mentolelir mereka yang berkeinginan jahat atau berbuat tidak senonoh. Sebagai contoh pernah ada pencuri yang merasa aman berlindung di hutan Wonosadi, tetapi ternyata malah secara lebih terang terlihat oleh warga sekitar. Pernah juga ada sepasang anak muda yang berasyik-masyuk (berpacaran) di wilayah hutan. Mereka ternyata masuk (”dimasukkan” oleh ”penguasa” hutan) ke areal perdu-perdu berduri dan mereka keluar dengan keadaan yang tidak mereka inginkan sebelumnya. Masyarakat memahami hutan sebagai tempat yang suci. Termasuk di dalamnya, hutan ini dianggap”tidak mau menerima” rabuk kotoran binatang.
8. Tentang perlindungan terhadap masyarakat, terdapat cerita mengenai seorang pencuri sapi di dusun Duren. Setelah mendapatkan seekor sapi, seorang pencuri membawa sapinya keluar dusun dengan memegangi talinya. Tetapi ternyata dalam perjalanan, sapi tersebut berubah menjadi seekor macan putih. Setelah itu tidak ada lagi pencuri yang berani masuk dusun.
9. Masyarakat mempercayai keberkahan lain. Bila ada warga (bahkan dari luar daerah) yang mempunyai keinginan yang kuat misalnya untuk mempunyai keturunan, menginginkan suatu jabatan, mereka bisa berdoa di Ngenuman dengan perantara Juru Kunci akan ”dimintakan” bantuan doa dari Mbah Onggoloco. Dan ketika keinginan terkabul, mereka disyaratkan untuk mengikuti Sadranan (istilahnya ”ngluwari” atau ”ngudari”) untuk menunjukkan kesyukuran karena keinginannya telah terwujud.

Masih banyak kepercayaan yang berkembang di masyarakat. Di antara mereka yang berpikiran masih terbelakang, mungkin akan memahami hal tersebut sebagai kepercayaan semata. Meskipun demikian kepercayaan ini masih hidup bahkan sampai generasi muda sekarang ini. Mereka mengatakan antara percaya dan tidak percaya. Dalam perkembangannya warga memahami dalam konteks yang lebih rasional terkait dengan akibat dari adanya kepercayaan dan mitos-mitos tersebut. 


Referensi:
Plamondon, Ann L., 1979, Whitehead Organic Philosophy of Science, University of New York Press, Albany.
Sartini, 2009, Mutiara Kearifan Lokal Nusantara, Kepel Press, Yogyakarta
Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2009, ”Model-model Analisis Data Kualitatif”, makalah dalam Pelatihan Metodologi Penelitian Kualitatif dan Metode Flsafat, Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.

Komentar