Situs Semedo merupakan sebuah situs baru yang ditemukan pada tahun 2005. Situs Semedo mulai dikenal sejak adanya temuan penduduk berupa beberapa fragmen tulang binatang vertebrata yang telah mengalami fosilisasi. Temuan tersebut berupa tulang panjang, tanduk, dan gigi binatang. Temuan-temuan tersebut kemudian dilaporkan ke Dinas Kebudayaan Tegal dan saat ini sebagian telah tersimpan di Museum Sekolah Slawi, Tegal.
Secara geologis, situs ini merupakan bagian dari Jajaran Pegunungan Serayu Utara yang terdorong ke atas oleh gerakan geosinklinal Pulau Jawa bagian utara. Wilayah Semedo kemungkinan besar merupakan batas Pulau Jawa bagian timur pada akhir Kala Pliosen ketika Jawa Tengah dan Jawa Barat masih berada di bawah muka laut pada sekitar 2-2,4 juta tahun yang lalu.
Situs Semedo menunjukkan posisi situs paleontologis yang cukup tua. Jajaran Kedung banteng Bumiayu-dan Ajibarang merupakan daerah tertua setelah Cisaat atau pun Cijulang (yang berdasarkan temuan Fauna Satir dan Cisaat, merupakan fauna yang sangat tua, mencapai setidaknya 1,5 juta tahun). Dengan potensi faunal Kala Plestosen yang demikian tersebut, sudah pasti bahwa Situs Semedo mewakili salah satu situs yang paling tua di Jawa Tengah.
Selain fauna yang cukup tua, Situs Semedo juga memiliki potensi temuan alat batu. Sejauh ini telah ditemukan 114 buah alat-alat batu, yang dibuat dari jenis batu rijang (chert) batu gamping kersikan, umumnya berwarna coklat kekuningan dan ada pula yang berbahan kalsedon. Alat-alat tersebut berupa alat-alat masif (misalnya kapak penetak) dan alat-alat non-masif (serpih dan serut). Adanya temuan alat-alat batu di diantara temuan fosil binatang vertebrata menunjukkan arti penting Situs Semedo sebagai sebuah tempat yang pernah dihuni oleh manusia purba.
Beberapa waktu lalu, tepatnya pada Januari 2011 di sekitar Situs Semedo, tepatnya di Bukit Semedo, telah ditemukan rangka manusia. Temuan tersebut telah menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat dan penentu kebijakan di lingkungan Kabupaten Tegal. Mengingat begitu tinggi potensi data ekofak maupun artefak yang ada di situs ini maka data tentang temuan ini sangat penting artinya bagi perkerangkaan dan penanganan situs.
Ada dua masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu apakah jenis manusia yang rangkanya ditemukan di Situs Semedo? dan Bagaimana hubungan temuan rangka manusia dengan temuan fosil fauna dan alat batu di situs ini?
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui jenis manusia serta keterkaitan antara temuan rangka manusia dengan Situs Semedo sebagai salah satu tempat yang memiliki temuan fauna dan alat batu yang berasal dari kala Plestosen.
Manusia purba adalah jenis manusia yang hidup pada kala plestosen dan merupakan spesies dari homo erectus. Di Indonesia hingga kini telah ditemukan 76 individu homo erectus. Species ini hidup sejak 1,8 hingga 0,3 juta tahun yang lalu. Secara anatomis spesies homo erectus memiliki ciri bentuk tengkorak yang masif, terutama pada bagian sisi kanan dan kiri tengkorak. Tulang kening (torus supra orbitalis) sangat menonjol. Bentuk atap tengkorak pendek dan memanjang ke belakang, dan lebar maksimal tengkorak terletak pada bagian dasar tengkorak. Tulang tengkorak tebal terutama pada bagian atap tengkorak. Bagian frontal (dahi) miring ke belakang. Pada bagian occipital (bagian belakang tengkorak) membentuk sudut, kapasitas otak 700-1100 cc. Pada bagian alat kunyah sangat kuat terlihat dari besarnya rahang. Geraham ke-2 merupakan gigi yang paling besar. Dengan kondisi tengkorak seperti ini, tampak samping tengkorak terlihat prognatisem (tonggos). Tampak belakang, tengkorak terlihat membentuk kontur segilima. Pada bagian infra cranial (tulang bagian anggota badan) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan homo sapiens.
Homo erectus di Jawa hidup pada kala plestosen bawah hingga plestosen atas. Temuan fosil homo erectus kadang tidak disertai dengan temuan alat. Hal ini kemudian menjadi pertanyaan, apakah homo erectus belum mengenal pembuatan alat batu dan hanya menggunakan alat yang terbuat dari bambu dan kayu. Temuan yang ada di situs Sangiran menunjukkan bukti bahwa fosil homo erectus ditemukan pada layer yang sama dengan temuan alat batu dengan ciri teknologis paleolitik. Temuan alat serpih dan kapak perimbas-penetak di Sangiran telah menegaskan bahwa alat-alat ini telah dibuat oleh homo erectus sejak 0,8 hingga 0,32 juta tahun yang lalu.
Manusia dalam beradaptasi dengan lingkungan membutuhkan sarana untuk menaklukkan lingkungannya. Salah satu bentuk adaptasi adalah dengan mengeksploitasi apa yang tersedia dalam lingkungan tersebut dan membuat alat untuk mempermudah proses adaptasinya. Adaptasi penguasaan lingkungan dengan menghasilkan alat dengan bahan batu, kayu dan tulang yang kemudian digunakan untuk berburu hewan dan mengumpulkan makanan. Kedua konsep ini mendasari adanya kemungkinan hubungan antara temuan rangka manusia yang ada di Situs Semedo dengan potensi temuan fosil dan alat batu.
Penelitian
Data arkeologi adalah informasi yang diperoleh peneliti dari hasil pengamatan dan analisisnya atas tinggalan arkeologi yang bersifat fisik. Tinggalan arkeologi dapat berujud artefak (benda alam yang diubah manusia sebagian atau seluruhnya), fitur (artefak yang tidak dapat diangkat dari konteksnya), dan ekofak (benda alam yang dimanfaatkan manusia masa lalu atau tulang manusia itu sendiri). Dalam penelitian ini untuk memperoleh data utama dilakukan dengan cara observasi atau pengamatan langsung ke lapangan. Dalam hal ini data lapangan yang akan dicari adalah data tentang temuan rangka manusia dan lingkungan tempat temuan rangka tersebut.
Observasi lapangan dilakukan penulis pada tanggal 7-8 April 2011 bersama Drs. Priyatno Hadi Sulistiyarto, M.Hum dan Ngadimin. Untuk mendapatkan data pendukung dilakukan dengan cara studi literatur dengan mengumpulkan artikel, tulisan dan laporan penelitian yang pernah dilakukan di Situs Semedo. Selain itu juga untuk mengetahui ciri-ciri manusia purba sebagai salah satu species yang diyakini pernah menghuni dan menghasilkan alat batu di situs ini. Dari hasil studi pustaka diperoleh dua data tentang Situs Semedo, yaitu data yang berkaitan dengan fauna dan lingkungan situs serta data tentang temuan alat batu di Situs Semedo.
Fauna dan Rekonstruksi Lingkungan Situs Semedo
Beberapa temuan fosil tulang vertebrata telah diteliti oleh Fitriawati. Dalam skripsinya ia melakukan identifikasi taksonomis dan latar belakang lingkungan tempat hidup fauna-fauna tersebut. Dari penelitiannya diperolah kesimpulan bahwa fosil binatang yang ditemukan di situs ini berasal dari jenis familia bovidae (kerbau, sapi, banteng), cervidae (kijang, rusa), cheloniidae (kura-kura), hippopotamidae (kuda nil), proboscidae (gajah purba), rhinocerotidae (badak), dan suidae (babi). Selain itu, juga ditemukan binatang dari kelas chondrichtyes (hiu) dan ordo crododilian (buaya). Jenis-jenis binatang tersebut telah dapat memberi gambaran lingkungan masa lalu di Situs Semedo yang secara garis besar terdiri atas tiga macam, yaitu lingkungan hutan terbuka atau sabana, lingkungan sungai, dan lingkungan perairan pantai.
Analisis terhadap kondisi fisik temuan tulang menunjukkan bahwa temuan fosil di Situs Semedo mengalami fosilisasi tidak jauh dari tempat binatang tersebut mati pendapat ini didasari oleh jenis temuan tulang yang beragam, dominasi temuan tulang panjang, dan kondisi tulang yang masih memiliki bentuk-bentuk menyudut. Ditemukannya fosil binatang laut seperti penyu dan ikan hiu mengindikasikan bahwa lingkungan Situs Semedo sebelumnya merupakan lingkungan laut. Kondisi Pulau Jawa seperti ini terjadi pada 2,4-2 juta tahun yang lalu. Temuan species mastodon memiliki kesamaan dengan kelompok fauna Satir yang berumur 2-1,5 juta tahun yang lalu. Temuan species stegodon diduga memiliki kesamaan dengan species stegodon trigonosepalus yang merupakan anggota dari kelompok fauna Cisaat yang berumur 1,2-1 juta tahun yang lalu. Temuan species elepas memiliki kesamaan dengan kelompok fauna Kedung Brubus yang berusia 0,8-0,7 juta tahun yang lalu. Dari beberapa data ini diketahui rentang waktu usia fauna Situs Semedo, yaitu antara 2,-0,7 juta tahun yang lalu.
Temuan Alat Batu Dari penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta telah diperoleh setidaknya 114 temuan alat batu. Temuan tersebut terdiri dari alat masif dan nonmasif yang terbuat dari bahan batu rijang dan gamping kersikan. Temuan alat masif berupa kapak penetak atau Chopping tools serta batu inti berjumlah lebih sedikit dibandingkan dengan temuan alat nonmasif seperti serut (scapper) dan serpih (flake).
Artefak-artefak tersebut ditemukan di permukaan tanah yang berada di sekitar endapan teras sungai maupun di lahan tegalan. Letak temuan yang berada di permukaan dan endapan teras yang bukan merupakan endapan primernya membuat penetuan umur relatif dari temuan tersebut sulit dilakukan. Berdasarkan perbandingan dengan temuan alat batu di situs Sangiran, temuan alat di Situs Semedo memiliki kesamaan teknologi dan tipologi dengan alat batu Sangiran. Di situs Sangiran alat-alat batu seperti ini dihasilkan oleh species manusia homo erectus.
Temuan Rangka Manusia
Kondisi rangka yang sudah rapuh |
Temuan rangka manusia pertama kali dilaporkan oleh penduduk di punggungan Bukit Semedo. Bagian rangka yang pertama kali terlihat adalah bagian humerus (tulang lengan tangan). Temuan tersebut berada dalam tanah yang tersingkap oleh erosi pada kedalaman 20 cm sampai 50 cm. Secara umum kondisi rangka terutama bagian cranium (tengkorak) dalam keadaan utuh dan masih terselimuti matriks. Tulang berada dalam kondisi rapuh dan belum terlihat adanya proses fosilisasi, seluruh bagian tulang masih tersusun atas unsur organik. Matriks yang ada pada temuan ini berupa tanah berjenis lempung pasiran yang bertekstur agak halus. Beberapa tulang sudah hancur, bahkan costra (tulang rusuk) dan pelvis (tulang panggul) sudah tidak terlihat. Beberapa tulang yang sudah terlepas dari rangka adalah bagian phalang (tulang jari), humerus (tulang lengan), dan gigi. Dari kondisi gigi (incisor, canine, promolar) yang terlepas dapat diketahui bahwa kondisi sisi oclusall atau permukaan kunyah terlihat masih baik dan belum mengalami keausan.
Posisi rangka berada dalam keadaan miring dengan tangan terlipat (kedua pergelangan terletak di bawah dagu). Rangka berorientasi barat-timur dan menghadap ke selatan. Tidak ada temuan berupa bekal kubur maupun artefak lainnya.
Deskripsi Detail Tengkorak
Kondisi tengkorak tampak atas |
Kondisi tengkorak tampak depan |
tengkorak tampak samping |
Dalam evolusi manusia, bagian yang paling banyak mengalami perubahan adalah bagian kepala. Jika dilihat dari atas, kondisi tengkorak menunjukkan bahwa bagian terlebar terletak pada bagian parietal (bagian atap tengkorak). Selain itu, suture sagitale (tautan antar tulang atap tengkorak) dan sutura coronalis (tautan antara tulang dahi dengan atap tengkorak) masih terlihat jelas. Kondisi tengkorak dari arah depan menunjukkan adanya kemiringan pada os frontal (tulang dahi). Demikian juga pada bagian mandibulla (rahang bawah) terlihat lebih menjorok ke depan atau prognathisem. Bagian Os nasal (tulang hidung) terlihat panjang. Bentuk orbit mata oval, dan pada bagian atas orbit tidak menunjukkan adanya torus supra orbitalis (tonjolan tulang kening), sedangkan atap tengkorak berbentuk oval. Kondisi tengkorak jika dilihat dari samping menunjukkan kondisi yang pendek. Bagian malar (tulang pipi) patah dan melesak ke arah dalam.
Maxilla (rahang atas) sudah terlepas dan pada bagian ujungnya telah patah. Pada bagian ocipital (bagian belakang tengkorak) terdapat sudut, namun tidak terlalu tajam.
Dalam evolusi manusia, bagian yang paling signifikan mengalami perubahan adalah bagian tengkorak. Hal ini disebabkan oleh terjadinya perkembangan otak yang berimplikasi pada perkembangan bentuk tengkorak.8 Hasil identifikasi terhadap fisik rangka, terutama bagian tengkorak jika dibandingkan dengan ciri fisik homo erectus yang disampaikan dalam kerangka konsep menunjukkan adanya beberapa ciri yang tidak sesuai. Secara keseluruhan bentuk atap tengkorak yang ditemukan sudah membundar dan tulang tengkorak tipis. Pada bagian rahang tidak menunjukkan alat mastikasi (alat kunyah) yang masif, hal ini terlihat dari bentuk dan ukuran rahang yang tipis dan tidak kekar. Pada bagian depan tengkorak terlihat tidak terdapat torus supra orbitalis (tonjolan tulang kening/ diatas lobang mata).
Adanya beberapa ciri yang mengaju ke fisik homo erectus seperti bentuk tengkorak yang pendek dan tonggos disebabkan karena lokasi temuan yang berada di bawah jalan. Keletakan yang berada dibawah jalan ini telah menyebabkan terjadinya depresi terhadap rangka yang mengakibatkan kondisi tengkorak pendek dan bagian frontal terdapat kemiringan sehingga tengkorak tampak seperti prognathisem (tonggos). Hasil identifikasi keseluruhan menunjukkan bahwa rangka manusia ini merupakan species homo sapiens. Bila dikaitkan dengan kerangka konsep bahwa jenis manusia yang hidup pada kala plestosen dan menghasilkan alat batu paleolitik adalah species homo erectus maka temuan ini tidak memiliki kaitan langsung dengan Situs Semedo.
Kondisi temuan rangka secara umum masih utuh dan kondisi tulang rapuh. Seluruh tulang masih tersusun oleh unsur organik, beberapa tulang sudah hancur. Hal ini menunjukkan bahwa tulang belum mengalami fosilisasi. Belum memfosilnya sebuah rangka dapat disebabkan oleh dua hal. Yang pertama adalah lokasi pengendapan dan yang kedua adalah masa atau waktu. Lokasi pengendapan unsur organik yang mendukung proses fosilisasi adalah lingkungan endapan vulkanik atau lingkungan kapur. Sementara itu, waktu yang dibutuhkan untuk proses fosilisasi adalah minimal 7000 tahun.
Kondisi lingkungan temuan rangka, yaitu Bukit Semedo, merupakan lahan vulkanis yang memiliki mineral yang cukup mendukung proses fosilisasi. Belum memfosilnya temuan rangka tersebut diyakini karena rangka tersebut masih baru atau kurang dari 7000 tahun. Berdasarkan informasi dari LSM Gerbang Mataram yang diperoleh dari hasil wawancara pada saat observasi ke Situs Semedo, menunjukkan bahwa lokasi temuan rangka manusia tersebut merupakan jalan yang digunakan warga Desa Semedo selama kurang-lebih 50 tahun sehingga kemungkinan individu yang meninggal dan rangkanya ditemukan di tempat tersebut telah terdeposit selama lebih dari 50 tahun. Dari hasil identifikasi dapat diperkirakan bahwa umur individu tersebut masih muda. Hal ini terlihat dari pertautan suture coronela (tautan antara tulang dahi dengan atap tengkorak) dan suture sagitale (tautan antara tulang tengkorak sisi kanan dan sisi kiri) yang masih terlihat jelas. Selain itu, perkiraan umur individu juga diperoleh dari kondisi sisi occlusal (permukaan kunyah) yang masih bagus dan belum mengalami keausan.
Referensi:
Widianto, H. dan M. Hidayat. 2007. Semedo, Situs baru Kehidupan Manusia Purba Pada Kala Plestosen. Berita Penelitian Arkeologi: 1–15.
Bemellen, R.W. V.1949. The Geology of Indonesia:General Geology of Indonesia And Adjacent Archipelagoes (1A)
Widianto, H. 2007. Pemanfaatan Dan Evaluasi Pelaksanaan Program Pengembangan Budaya Situs
Semedo dan Candi Bulus. Laporan Penelitian Arkelogi. Yogyakarta: Balai Arkeologi.
Semedo dan Candi Bulus. Laporan Penelitian Arkelogi. Yogyakarta: Balai Arkeologi.
Widianto, H. 2009. Kehidupan Manusia Purba di Indonesia. Belum diterbitkan.
Widianto, H. 2000. Teknik Analisis Sisa Manusia. Berkala Arkeologi, (XX): 15–25. Simanjuntak, Truman, dkk. 2008. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.
Soejono, R.P., dan R.Z. Leirissa. 2007. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Presejarah di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Komentar
Posting Komentar