Jenis-jenis racun jamur dan efek bahaya gejalanya

Jamur merupakan salah satu jenis tumbuhan yang banyak dijumpai di alam bebas terutama muncul pada waktu musim penghujan atau di tempat lembab lainnya. Beberapa jenis jamur yang dapat dikonsumsi antara lain: jamur kancing atau champignon (Agaricus bisporus); Jamur Tiram atau hiratake (Pleurotus sp.); Jamur Merang (Volvariella volvaceae); Jamur shiitake (Lentinus edodes); Jamur kuping (jamur kuping putih: Tremella fuciformis; jamur kuping hitam : Auricularia polytricha; Jamur kuping merah : Auricularia auricula-judae).

Untuk menentukan satu jenis jamur apakah dapat dikonsumsi sangatlah sulit, jamur liar yang tumbuh di alam bebas tidak dianjurkan untuk dikonsumsi jika tidak dapat membedakan ciri-ciri jamur tersebut secara pasti. Jangan pernah untuk mencoba mengidentifikasi sendiri jamur liar untuk dapat dikatakan aman dan dapat dikonsumsi.

Jamur merupakan tubuh buah yang tampak di permukaan media tumbuh dari sekelompok fungi (Basidiomycota) yang berbentuk seperti payung. Bentuk tubuh buah jamur pada umumnya tersusun oleh bagian-bagian yang dinamakan tudung (pileus), bilah (lamellae), cincin (annulus), batang/tangkai (stipe), cawan (volva) dan akar semu (rhizoids).

Ada beberapa jenis racun/toksin pada jamur beracun.dan menyebabkan bermacam-macam dampaknya pada kesehatan manusia, yaitu Amatoxin/Amanatin (Cyclopeptida), Gyromitrin, Orellanine, Ibotenic Acid, Muscimol, Psilocybin, Coprine.

1. Amatoxin/Amanitin (Cyclopeptide)

Terbagi menjadi tiga kelas toksin: Amatoxins, Phallotoxins dan Virotoxins. Dari ketiga kelas tersebut Amatoxins yang sering menyebabkan keracunan. Amatoxins merupakan bicyclic octapeptides dengan indole-(R) –sulphoxide bridge bekerja menghambat polimerase RNA II yang menggangu sintesa mRNA. Racun ini mengganggu transkripsi DNA dan menyebabkan nekrosis pada sel-sel dengan sintesa protein tingkat tinggi. Kerusakan yang paling penting adalah nekrosis hati. Mekanisme ini diperkirakan sebagai penyebab tertundanya gejala gastroenteritis yang parah dan periode laten yang panjang pada fase intoksikasi ini.

Kelompok jamur amatoxins adalah kelompok jamur Amanita (Amanita phalloides, Amanita virosa) atau dikenal dengan The Death cap atau Destroying Angel, The Fool’s Mushroom (A. verna). Keracunan yang disebabkan amatoxins memiliki karakteristik dengan periode laten yang panjang 6-24 jam dimana selama itu korban tidak menunjukkan tanda-tanda keracunan. Gejala keracunan terdiri dari empat fase:

a. Fase laten/tidak menunjukkan gejala (<24 jam dan biasanya 12 jam setelah tertelan)
b. Fase gastrointestinal (6-24 jam setelah tertelan) : rasa nyeri perut, muntah, diare yang berair, hypovolemia, gangguan elektrolit, gangguan asam basa, penurunan masa protrombin.
c. Period of well-being (24-48 jam setelah tertelan) : fungsi hati dan ginjal menurun.
d. Fase hepatik (3-5 hari setelah tertelan) : peningkatan LFT/Liver Function Test (gangguan fungsi hati), gagal hati akut dan ginjal akut.

2. Gyromitrin

Gyromitrin merupakan salah satu grup hidrazin yang mengikat protein, banyak ditemukan pada genus Gyromitra. Toksin Gyromitrin (N -methyl-Nformylhydrazone) terurai dengan cepat dalam lambung dan duodenum menjadi asetaldehida dan N-methyl-N-formylhydrazine, melalui hidrolisis lambat diubah menjadi monomethylhydrazine (MMH) dan hidrazin lainnya. Monomethylhydrazine diyakini menjadi penyebab utama dari keracunan jamur spesies Gyromitra esculenta (the false Morel) dan spesies Gyromitra lainnya (Gyromitra gigas and G. fastigiata). MMH ini digunakan dalam bahan
bakar roket dan menyebabkan keracunan serupa pada pekerja industri penerbangan.

Gejala keracunan biasanya muncul setelah 6-12 jam setelah tertelan :
a. Periode laten (tidak menunujukan gejala keracunan) : <48 jam setelah tertelan
b. Gejala awal : 2-8 jam setelah terhirup uap jamur yang sedang dimasak, 6-24 jam setelah tertelan: kembung, mual, muntah, kram perut, diare berat (yang mungkin berdarah).
c. Gejala akhir : vertigo, kehilangan koordinasi otot, demam, penyakit kuning, kegagalan hati, methemoglobinemia, disfungsi ginjal, seizure, koma.

3. Orellanine

Cortinarius merupakan genus yang memiliki kurang lebih 800 spesies di Amerika Utara. Sejak peristiwa keracunan pertama karena spesies C. Orellanus, Cortinarius banyak ditemukan mengandung racun Orellanine. The Lethal webcaps, dua spesies genus Cortinarius, yang termasuk dalam jamur beracun di dunia yaitu the Deadly webcap (Cortinarius rubellus) dan the Fool's webcap (C. Orellanus). Keracunan karena toksin Orellanine ditandai dengan periode laten yang lama, gejala keracunan awal seperti mual, muntah, nyeri pada abdomen, anoreksia dan diare akan tertunda selama 12-14 jam setelah tertelan.

Organ target utama dari racun orellanine adalah ginjal, fase ginjal karena keracunan biasanya berkembang 4-15 hari setelah tertelan, terdiri dari gejala haus berat, diuresis dan rasa sakit berkembang dalam segitiga lumbal atas ginjal. Gejala keracunan yang umum adalah sakit kepala terus-menerus, menggigil, kelesuan, kelelahan, ketidaknyamanan muskuloskeletal dan sendi dan kurangnya nafsu makan disertai dengan oligura gagal ginjal yang progresif, atau lebih jarang poliuria, dan akhirnya anuria. Pada pemeriksaan laboratorium, tanda-tanda gagal ginjal terbukti nyata.

Orellanine memiliki struktur bipyridal dan beberapa persamaan struktural dengan paraquat, meskipun perilaku elektrokimia tampak jelas berbeda.

Diperkirakan orellanine menyebabkan kerusakan ginjal karena produksi oksigen reaktif. Kerusakan membran diinduksi melalui reaksi radikal berantai kemudian akan menyebabkan perubahan permeabilitas membran sel yang menyebabkan cedera dan gagal ginjal akut.

4. Ibotenic Acid dan Muscimol

The Fly Agaric (Amanita muscaria) dan Panthercap (Amanita pantherina) menghasilkan toksin Ibotenic Acid dan Muscimol, keduanya mengandung asam yang dengan cepat dilepaskan dari tubuh jamur karena proses memasak dan merebus, namun proses ini tidak menghilangkan semua zat beracun yang dikandungnya atau tidak memperlihatkan toksisitas yang lebih rendah. Muscimol 5 kali lebih potensial dari Ibotenic Acid. Ibotenic Acid. Muscimol.

Timbulnya gejala umumnya terjadi dalam 30-180 menit. Efek toksik bisa berlangsung 12 jam. Pengaruh utama dari Ibotenic Acid dan Muscimol adalah disfungsi sistem saraf pusat, biasanya depresi SSP. Diawali dengan gejala mual, muntah, pusing, vertigo, ketiadaan koordinasi, mengantuk.

Gejala-gejala ini sering diikuti dengan kebingungan, ataksia, euforia mirip keracunan etanol. Gejala berkembang menjadi aktifitas hiperkinetik, sentakan otot (muscle jerks), spasma atau kram dan delirium.

Ibotenic Acid secara struktural mirip dengan asam glutamat, sementara muscimol secara struktural mirip dengan GABA. Keduanya berperan seperti neurotransmiter yang mengontrol aktivitas neuronal pada SSP. Muscimol memiliki daya ikat yang tinggi kepada reseptor GABA-A dan meniru peranan GABA, Muscimol juga meningkatkan kadar serotonin SSP dan mengurangi tingkat Katekholamin, berpotensi menyebabkan halusinasi, kejang, dan myoclonus.

5. Psilocybin
 

Genus Psilocybe, Panaeolus, Copelandia, Gymnopilus, Conocybe dan Pluteus memproduksi toksin Psilocybin. Racun utama pada jamur Psilocybe yaitu psilocybin, psilocin, baeocystin, norbaeocystin yang dapat melepaskan efek neurotoksik mirip dengan LSD (d-lysergic acid) dengan struktur kimia yang berkaitan erat dengan serotonin, pengaruhnya terutama pada susunan saraf pusat (halusinasi) selain itu juga melepaskan beberapa efek pada saraf periferal.

Psilocybin berinteraksi dengan 5-HT (Serotonin) reseptor yang mengikat dengan afinitas tinggi pada 5-HT2A dan tingkat lebih rendah pada 5-HT1A. Psilocybin, psilocin, baeocystin, norbaeocystin tidak hilang dengan memasak jamur tersebut.

Gejala keracunan akan berkembang dalam kurun waktu 10 menit sampai 2 jam setelah tertelan:
  • 10-30 menit pertama akan timbul rasa gelisah, lemah, nyeri otot, dan rasa tidak nyaman pada perut. 
  • 30-60 menit timbul visual efek/halusinasi dan distorsi persepsi, berkeringat, kemerahan pada wajah, dan ketiadaan koordinasi. 
  • 60-120 menit semua gejala di atas menjadi sering muncul.

6. Coprine
 

Genus Coprinus (Coprinus atramentarius, Coprinus cornatus, Coprinus disseminatus, Coprinus micacues, Coprinus picaceus). memproduksi toksin coprine. Efek dari jamur ini tidak seperti jamur pada umumnya, efeknya akan terlihat jika dikonsumsi bersamaan dengan alkohol (etanol) sedangkan jika dikonsumsi secara tunggal tidak beracun. Keracunan juga dapat terjadi ketika alkohol dikonsumsi sesaat sebelum mengkonsumsi coprine, bahkan ketika alkohol dikonsumsi setelah 72 jam menelan coprine. Gejala keracunan akan terus berlangsung selama alkohol masih ada di lambung korban. Korban akan sembuh secara spontan jika alkohol dibebaskan.

Toksin ini dikatakan seperti Antabuse (disulfiram) yaitu obat untuk mencegah alkoholik dari minuman beralkohol dan memiliki gejala yang hampir identik. Mekanisme pasti dari coprine tidak diketahui. Diperkirakan bahwa efek toksik disebabkan oleh penghambatan yang ireversibel dari asetaldehida dehidrogenase, enzim yang bertanggung jawab untuk metabolisme etanol pada tahap asetaldehida.

Ketika masuk bersamaan dengan alkohol, kadar serum asetaldehida meningkat. Hasil asetaldehida dengan konsentrasi tinggi menyebabkan gejala tidak nyaman seperti flushing, mual, sakit kepala, pusing, dan hipotensi. Selain itu juga dapat menimbulkan kemerahan pada leher dan wajah, rasa logam pada mulut, sensasi geli/gatal (tingling) pada tungkai, mati rasa pada tangan, palpitasi, kepala berdenyut-denyut.

Disulfiram yang digunakan sebagai agen alkohol, juga menghambat asetaldehida dehidrogenase menghasilkan gejala yang sama ketika alkohol tertelan. Berbeda dengan disulfiram, coprine tidak menghambat dopamin beta-hidroksilase, enzim bertanggung jawab terhadap sintesis norepinefrin.


Referensi:
Fagg Murray, Death cap Mushroom – Amanita phalloides, Australian National Botanic Garden, Fungi Web, 2008.
White, Julian, Clinical Toxinology Short Course 1999 Handbook, Women’s and Children Hospital, Adelaide, Australia, 1999.
Keng Sheng Chew et all. Early Onset Muscarinic Manifestations after Wild Mushroom Ingestion, Emergency Medicine Department, School of Medical Sciencies, University Sains Malaysia, Malaysia. 2008.

Komentar