Mitos dan fenomena kasus bunuh diri di gunung kidul

Mitos pulung gantung dan fenomena bunuh diri di gunung kidul


Bunuh diri merupakan cara yang dilakukan seseorang untuk mengakhiri hidupnya. Ketidakstabilan kondisi sosial-ekonomi, kemiskinan dan pengangguran, orientasi individualisme dan kolektivisme merupakan realitas yang kini sering dijumpai. Fenomena tersebut berpotensi menjadi sumber stres, dan jika stres itu cukup besar, lama atau spesifik maka akan mengganggu kesehatan jiwa individu. Ketidakmampuan individu mengelola stres akan mengarahkan perilaku individu pada perilaku destruktif, dimana puncak dari perilaku destruktif adalah bunuh diri.

Depresi merupakan faktor terjadinya bunuh diri remaja. Kurangnya perhatian orang tua, perasaan malu kepada masyarakat, sikap orang tua yang mengekang dan tidak adanya tempat untuk berbagi cerita membuat korban tertekan. Hal tersebut menimbulkan gangguan jiwa yaitu depresi. Akibatnya, korban melakukan bunuh diri sebagai alternatif penyelesaian masalah.

Gejala bunuh diri di kalangan anak dan remaja di Indonesia nampaknya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Fenomena ini baru menjadi perhatian publik sejak 1998. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) di dalam laporan paruh tahun 2012 ini menyebutkan bahwa dari bulan Januari sampai dengan Juli 2012, sudah terjadi peristiwa 20 kasus anak bunuh diri. Menurut Arist Merdeka Sirait, Ketua umum Komnas Perlindungan Anak, dari 20 kasus tersebut, penyebab bunuh diri terbanyak adalah urusan putus cinta remaja (delapan kasus), frustasi akibat ekonomi (tujuh kasus), anak yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis (empat kasus) dan masalah sekolah (satu kasus). Kasus anak bunuh diri termuda adalah berusia 13 tahun. 

Persoalan ekonomi adalah motif yang dapat dideteksi dari kasus bunuh diri. Namun, bunuh diri anak dan remaja yang terjadi, seperti kasus di atas, memberikan nuansa lain. Yakni, persoalan bahwa seorang anak dipaksa berdinamika dengan realitas yang kompleks di luar kemampuan nalar dan kontrol emosinya dalam mengatasi permasalahan – dan memilih jalan pintas untuk memecahkan masalahnya.

Meski tidak terdapat data nasional yang spesifik soal bunuh diri, angka ini kemungkinan akan terus bertambah sampai dengan akhir tutup tahun. Tinggi angka bunuh diri anak dan remaja ini tentu sangat memprihatinkan. Apa yang sebenarnya terjadi terhadap dunia anak dan remaja di Indonesia? Mengapa dari tahun ke tahun peristiwa bunuh diri di kalangan anak dan remaja di Indonesia terus meningkat? Apa motif mereka melakukan bunuh diri? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, diperlukan eksplorasi lebih mendalam. Tulisan pendek ini hanya bermaksud memaparkan gejala bunuh diri anak dan remaja dalam konteks pemahaman budaya lokal di Indonesia, khususnya di daerah kabupaten Gunung Kidul (Yogyakarta).

Mitos pulung gantung
Secara khusus di kabupaten Gunung Kidul, dikenal istilah “pulung gantung”. Istilah ini merujuk pada kepercayaan setempat mengapa seseorang sampai melakukan bunuh diri. Diyakini, orang melakukan tindakan bunuh diri karena merasa memperoleh “pulung” atau “wahyu” berupa semacam tanda bintang dari langit di malam hari. Bintang ini berbentuk cahaya bulat berekor seperti komet, kemerah-merahan agak kuning dengan semburan biru. Bintang ini jatuh dengan cepat, menuju atau seolah-olah menuju, ke rumah (atau dekat rumah) si “korban” bunuh diri. Si korban akan melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri – dari sinilah imbuhan “gantung” itu berasal.

Mitos “pulung gantung” ini selalu muncul dari mulut ke mulut, sesudah terjadi peristiwa bunuh diri yang dialami oleh warga. Mitos “pulung gantung” ini seolah menjadi pembenaran suratan nasib secara alamiah, yang tidak perlu dipertanyakan lebih lanjut. Meski demikian, warga setempat tidak mengingkari fakta bahwa sebelum seseorang itu melakukan bunuh diri, biasanya didahalui oleh berbagai problema pribadi yang tidak mampu dipecahkan. Ini umumnya, menjadi “pengetahuan umum” di kalangan warga. Misalnya, mengalami penyakit yang tak kunjung sembuh, beban hutang, dan putus harapan untuk melanjutkan sekolah, atau juga putus asa karena ditinggal pergi pacar atau suami/ istri.

Hal ini misalnya, dapat dilihat pada satu kasus. Pada tanggal 24 Desember 2011, seorang pelajar SMP putri berusia 15 tahun, bernama Cicilia Putri, melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri dengan slendang di kayu blandar dekat kamarnya. Warga mempercayai bahwa beberapa hari sebelum kejadian bunuh diri ini, terlihat tanda cahaya bulat berekor dari langit yang jatuh di dekat rumah Cicilia Putri. Meski demikian, kedua orangtuanya yang tinggal di Bandung (Jawa Barat) menduga yang bersangkutan bunuh diri karena stress berat diputus cinta oleh pacarnya.

Mitos “pulung gantung” di kabupaten Gunung Kidul merupakan bagian dari proses kulturisasi akan penerimaan suratan nasib yang seolah terjadi secara alamiah. Bunuh diri semacam ini sudah menjadi pengetahuan yang direproduksi di lingkungan masyarakat sekitar sehingga seolah menjadi “bahan ajar” bagaimana mengatasi masalah dan problema hidup yang tak lagi bisa dikendalikan oleh nalar dan kontrol emosi dari pelakunya.

Kasus bunuh diri di gunung kidul
Pada tahun 2005, Kabupaten Gunung kidul merupakan wilayah dengan angka bunuh diri tertinggi di Indonesia, terutama di Kecamatan Tepus. Pelaku bunuh diri sebagian besar dilakukan oleh orang dewasa dan orang tua. Faktor penyebab bunuh diri antara lain, penyakit, stres, frustasi, tekanan ekonomi, masalah keluarga, rasa malu dan faktor yang lain. Keadaan ini sangat memprihatinkan dan menjadi perhatian khusus pemerintah. Sebagaimana halnya yang dikatakan oleh Dokter ahli Jiwa Kabupaten Gunung kidul.

Kabupaten Gunung kidul menempati peringkat tertinggi nasional (9 per 100.000), lebih tinggi dibanding kota metropolitan Jakarta (1 per 100.000). Polres Gunung kidul medokumentasikan telah terjadi 250 kasus bunuh diri pada rentang tahun 2005 - 2012.Rata-rata terjadi 31 kasus bunuh diri per tahunnya. Sementara itu pada bulan Januari sampai Oktober 2016 sudah tercatat 15 kasus bunuh diri yang didominasi gantung diri. Angka tersebut didominasi oleh usia lanjut (65 tahun ke atas), kemudian usia dewasa tengah (40 - 65 tahun), selanjutnya usia dewasa muda (20 - 40 tahun) dan sebagian kecil sisanya adalah usia remaja (12 - 19 tahun).

Kabupaten Gunung Kidul (Yogyakarta) terkenal sebagai daerah yang memiliki angka bunuh diri anak dan remaja tertinggi di Indonesia. Untuk selama lima tahun terakhir, angka bunuh diri di kabupaten ini cukup tinggi. Menurut kepolisian setempat, sepanjang tahun 2011 terdapat 28 kasus peristiwa bunuh diri anak dan remaja. Menurut sumber Wahana Komunikasi Lintas Spesialis, persentase angka bunuh diri di kabupaten Gunung Kidul adalah sembilan kasus per 100.000 penduduk. Sebagai perbandingan, persentase angka bunuh diri di Jakarta hanya sekitar 1,2 kasus per 100.000 penduduk.

Kejadian bunuh diri selama 11 tahun tersebut terjadi hampir merata di seluruh kecamatan di Kabupaten Gunung kidul. Jumlah kecamatan di Kabupaten Gunung kidul adalah 18 kecamatan, namun secara umum Kecamatan Semin, Karangmojo, Wonosari dan Tepus mendominasi kejadian bunuh diri, yaitu sekitar 4-5 kejadian per tahun. Polres Gunung kidul juga mendokumentasikan data mengenai tindakan percobaan bunuh diri.Data percobaan bunuh diri pada tahun 2007-Agustus 2013 tercatat 15 kasus. Angka tersebut didominasi oleh usia dewasa muda (20 - 40 tahun) sebanyak 10 kasus, selanjutnya dewasa tengah (40 - 65 tahun) sebanyak 2 kasus, kemudian usia remaja (12 - 19 tahun) sebanyak 2 kasus dan usia lanjut (diatas 65 tahun) sebanyak 1 kasus. 

Fenomena lain terjadinya kasus bunuh diri di Gunung kidul, sering dikenal dengan istilah pulung gantung. Istilah tersebut merujuk pada kepercayaan atau mitos terhadap alasan seseorang melakukan tindakan bunuh diri. seseorang dapat melakukan bunuh diri apabila menerima pulung atau wahyu berupa tanda bintang dari langit di malam hari. Bintang akan jatuh dengan cepat menuju rumah atau dekat rumah si korban bunuh diri. Keyakinan mendapat pulung ini seakan akan menjadi pembenar dan keyakinan seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri dengan cara gantung. Kepercayaan atau mitos melihat pulung gantung akhirnya menjadi keyakinan dan memberikan pemahaman pembolehan terhadap bunuh diri.

Kasus korban dan korban gagal bunuh diri
  • Korban Desa Ngoro-oro (Alm. Cicilia Sari) dalam kehidupan sehari-hari adalah anak yang ceria, seperti anak-anak pada umumnya, bergaya tomboy, rambut cepak dan aktif dalam kegiatan remaja. Korban merupakan anak tunggal dan tinggal sendiri di rumah karena orangtuanya bekerja di luar daerah. Kurangnya perhatian orangtua, perasaan malu kepada masyarakat karena masalah yang menimpanya, sikap orangtua yang mengekang dan tidak adanya orang yang menjadi tempat berbagi cerita dan berkeluh kesah membuat korban tertekan. Hal tersebut menimbulkan gangguan jiwa yaitu depresi. Akibatnya, korban nekat melakukan bunuh diri sebagai alternatif penyelesaian masalah.
  • Korban gagal Desa Sidorejo (Sugimin) melakukan percobaan bunuh diri dengan melompat ke jurang Ngingrong, Wonosari, Gunung kidul. Tindakan tersebut dilatarbelakangi oleh rasa kecewa melihat sang mantan kekasih sedang berbincang dengan pria lain. Ketika pulang bekerja, korban melakukan aksinya tersebut. Setelah diselamatkan warga, korban mengatakan dirinya tidak sadar telah melakukan aksi nekat tersebut. Dalam kesehariannya Sugimin adalah orang yang ceria dan memiliki komunikasi sosial yang baik. Namun Sugimin tidak pernah menceritakan masalahnya kepada orang tua.
Lari dari realitas boleh jadi merupakan pilihan yang dapat ditoleransi ketimbang terus menerus dalam kesadaran yang menyakitkan.Sehingga nampaknya bunuh diri merupakan jalan pembebasan dari penderitaan.Permasalahan mengenai bunuh diri di Gunung kidul, khususnya di Kecamatan Tepus tidak boleh dibiarkan berlarut-larut dan harus segera ditemukan jalan keluarnya, baik berupa pencegahan maupun penanganan.


Referensi:
Henslin, James M. 2007. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi, Jilid I (Judul asli Esssentials of Sociology). -: Penerbit Erlangga.
Darmaningtyas. 2002. PULUNG GANTUNG Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul. Yogyakarta: Salwa Press.
Zahra, Roswiyani P. (2005). “Lingkungan Keluarga dan Peluang Munculnya Masalah Remaja. Jurnal Provitae (Vol. 1 No. 2 November). Hlm. 11-16.

Komentar