Dampak pestisida bagi manusia dan lingkungan

Pestisida
Pestisida secara umum diartikan sebagai bahan kimia beracun yang digunakan untuk mengendalikan jasad penganggu yang merugikan kepentingan manusia. Dalam sejarah peradaban manusia, pestisida telah cukup lama digunakan terutama dalam bidang kesehatan dan bidang pertanian. Di bidang kesehatan, pestisida merupakan sarana yang penting. Terutama digunakan dalam melindungi manusia dari gangguan secara langsung oleh jasad tertentu maupun tidak langsung oleh berbagai vektor penyakit menular. Berbagai serangga vektor yang menularkan penyakit berbahaya bagi manusia, telah berhasil dikendalikan dengan bantuan pestisida. Dan berkat pestisida, manusia telah dapat dibebaskan dari ancaman berbagai penyakit berbahaya seperti penyakit malaria, demam berdarah, penyakit kaki gajah, tiphus dan lain-lain.

Di bidang pertanian, penggunaan pestisida juga telah dirasakan manfaatnya untuk meningkatkan produksi. Dewasa ini pestisida merupakan sarana yang sangat diperlukan. Terutama digunakan untuk melindungi tanaman dan hasil tanaman, ternak maupun ikan dari kerugian yang ditimbulkan oleh berbagai jasad pengganggu. Bahkan oleh sebahagian besar petani, beranggapan bahwa pestisida adalah sebagai “dewa penyelamat” yang sangat vital. Sebab dengan bantuan pestisida, petani meyakini dapat terhindar dari kerugian akibat serangan jasad pengganggu tanaman yang terdiri dari kelompok hama, penyakit maupun gulma. Keyakinan tersebut, cenderung memicu pengunaan pestisida dari waktu ke waktu meningkat dengan pesat.

Disamping perusahaan perkebunan, petani yang paling banyak menggunakan berbagai jenis pestisida ialah petani sayuran, petani tanaman pangan dan petani tanaman hortikultura buah-buahan. Khusus petani sayuran, kelihatannya sulit melepaskan diri dari ketergantungan penggunaan pestisida. Bertanam sayuran tanpa pestisida dianggap tidak aman, dan sering kali pestisida dijadikan sebagai garansi keberhasilan berproduksi.

Berikut ini adalah dampak racun pestisida bagi manusia dan lingkungan:

1. Dampak senyawa kimia pestisida organokhlorin
Pestisida yang seharusnya digunakan untuk membasmi hama ternyata berdampak pada pencemaran lingkungan baik itu air, udara maupun tanah. Pestisida organoklorin merupakan bahan kimia yang masuk dalam kategori Persisten Organic Pollutants (POPs) yang berbahaya bagi kesehatan. Organoklorin Secara kimia tergolong insektisida yang toksisitas relatif rendah akan tetapi mampu bertahan lama dalam lingkungan. Racun ini bersifat mengganggu susunan syaraf dan larut dalam lemak Hal ini dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan karena bahan kimia ini dapat menyebabkan kanker, alergi dan merusak susunan saraf (baik sentral ataupun peripheral serta dapat juga mengganggu sistem endokrin yang menyebabkan kerusakan pada sistem reproduksi dan sistem kekebalan yang terjadi pada mahluk hidup, termasuk janin.

Karakteristik pestisida organoklorin yang dapat memberikan efek negatif menurut Gorman & Tynan (Dalam Warlina, 2009) adalah:

a. Terurai sangat lambat dalam tanah, udara, air dan mahluk hidup serta menetap dalam lingkungan untuk waktu yang lama.

b. Masuk dalam rantai makanan dan dapat terakumulasi pada jaringan lemak, sehingga sukar larut dalam air.

c. Dapat terbawa jauh melalui udara dan air.

Berdasarkan karakteristik yang mudah terbawa jauh oleh udara dan air, maka sering ditemukan konsentrasi POPs yang sangat tinggi dalam berbagai spesies pada level yang tinggi dari rantai makanan, seperti pada ikan paus, burung elang dan mamalia, termasuk manusia. Aplikasi pestisida dari udara jauh memperbesar resiko pencemaran, dengan adanya hembusan angin. Pencemaran pestisida di udara tidak terhindarkan pada setiap aplikasi pestisida. Sebab hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah pasti, sebagian besar pestisida yang disemprotkan akan terbawa oleh hembusan angin ke tempat lain yang bukan target aplikasi, dan mencemari tanah, air dan biota bukan sasaran.

d. Organoklorin sebagai senyawa yang mencemari air

Di dalam air, partikel pestisida tersebut akan diserap oleh mikroplankton-mikroplankton. Oleh karena pestisida itu persisten, maka konsentrasinya di dalam tubuh mikroplankton akan meningkat sampai puluhan kali dibanding dengan pestisida yang mengambang di dalam air. Mikroplanktonmikroplankton tersebut kelak akan dimakan zooplankton. Dengan demikian pestisida tadi ikut termakan. Karena sifat persistensi yang dimiliki pestisida, menyebabkan konsentrasi di dalam tubuh zooplankton meningkat lagi hingga puluhan mungkin ratusan kali dibanding dengan yang ada di dalam air. Bila zooplankton zooplankton tersebut dimakan oleh ikan-ikan kecil, konsentarsi pestisida di dalam tubuh ikan-ikan tersebut lebih meningkat lagi. Demikian pula konsentrasi pestisida di dalam tubuh ikan besar yang memakan ikan kecil tersebut. Rantai konsumen yang terakhir yaitu manusia yang mengkonsumsi ikan besar, akan menerima konsentrasi tertinggi dari pestisida tersebut.

2. Dampak Senyawa Kimia Pestisida Organofosfat
Penelitian Sandi (2004) menemukan bahwa dalam lahan pertanian di daerah lembang yang telah tercemar insektisida organofosfat ditemukan bakteribakteri bergenus Bacillus yang dapat mendegradasi senyawa organofosfat.

Senyawa Organofospat merupakan penghambat yang kuat dari enzim cholinesterase pada syaraf. Asetyl cholin berakumulasi pada persimpangan persimpangan syaraf (neural jungstion) yang disebabkan oleh aktivitas cholinesterase dan menghalangi penyampaian rangsangan syaraf kelenjar dan otot-otot. Golongan ini sangat toksik untuk hewan bertulang belakang.Organofosfat disintesis pertama kali di Jerman pada awal perang dunia ke-II. Bahan tersebut digunakan untuk gas syaraf sesuai dengan tujuannya sebagai insektisida. Pada awal sintesisinya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP), parathion dan schordan yang sangat efektif sebagai insektisida tetapi juga toksik terhadap mamalia. Penelitian berkembang tersebut dan ditemukan komponen yang paten terhadap insekta tetapi kurang toksik terhadap manusia (misalnya : malathion).

Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan beberapa milligram untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa. Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase dalam sel darah merah. Organofosfat dapat terurai di lingkungan dalam waktu ± 2 minggu.

Ketika pestisida organofosfat memasuki tubuh manusia atau hewan,pestisida menempel pada enzim kholinesterase. Karena kholinesterase tidak dapat memecahkan asetilkholin, impuls syaraf mengalir terus (konstan) menyebabkan suatu twiching yang cepat dari otot-otot dan akhirnya mengarah kepada kelumpuhan. Pada saat otot-otot pada sistem pernafasan tidak berfungsi terjadilah kematian.

3. Dampak senyawa kimia pestisida karbamat
Karbamat merupakan insektisida yang bersifat sistemik dan berspektrum luas sebagai nematosida dan akarisida. Golongan karbamat pertama kali disintesis pada tahun 1967 di Amerika Serikat dengan nama dagang Furadan. Umumnya karbamat digunakan untuk membasmi hama tanaman pangan dan buah-buahan pada padi, jagung, jeruk, alfalfa, ubi jalar, kacang-kacangan dan tembakau. Dengan dilarangnya sebagian besar pestisida golongan organokhlorin, maka pestisida golongan organofosfat (OP) dan karbamat menjadi alternatif bagi petani di dalam mengendalikan hama penyakit tanaman di lapangan. dilaporkan bahwa insektisida golongan karbamat yang banyak digunakan di lapangan terdiri dari jenis karbofuran, karbaril dan aldikarb. Penggunaan pestisida ternyata memiliki kelemahan-kelemahan seperti efek toksik (keracunan) terhadap kesehatan manusia dan ternak yang bukan target utamanya serta menimbulkan pencemaran lingkungan. Dari ketiga golongan pestisida tersebut, golongan OP dan karbamat bersifat sangat toksik pada hewan non-target meskipun kedua golongan ini mudah terurai di alam bebas maupun dalam mata rantai makanan.

Keracunan karbamat bersifat akut yang dapat terjadi melalui inhalasi, gastrointestinal (oral) atau kontak kulit. Karbamat dapat menimbulkan efek neurotoksik melalui hambatan enzim asetilkholinesterase (AchE) pada sinapsis syaraf dan myoneural junctions yang bersifat reversible. Gejala klinis keracunan karbamat merupakan reaksi kholinergik yang berlangsung selama 6 jam. Tingkat keparahannya tergantung pada jumlah karbamat yang terkonsumsi dengan gejala klinis berupa pusing, kelemahan otot, diare, berkeringat, mual, muntah, tidak ada respon pada pupil mata, penglihatan kabur, sesak napas dan konvulsi.

Penggunaan pestisida karbamat yang tidak bijaksana akan menimbulkan efek samping bagi kesehatan manusia, sumber daya hayati dan lingkungan pada umumnya. Petani yang tidak dilengkapi alat pelindung diri pada saat menggunakan pestisida, besar kemungkinan akan terpapar pestisida karbamat yang dapat memasuki tubuh baik melalui pernapasan maupun kontak dengan kulit. Selain kecerobohan pada saat penggunaan pestisida di bidang pertanian, juga ketidaktahuan atau karena higiene perorangan masyarakat yang menggangap remeh dampak buruk terhadap kesehatan.

Dampak pestisida pada tubuh sebagai penghambat kerja enzim kolinesterase dengan cara menempel enzim tersebut. Sehingga asetilkolin tidak dapat dipecah menjadi kolin dan asam asetat oleh enzim kolinesterase. Apabila terdapat pestisida organofosfat di dalam tubuh, kolinesterase akan mengikat pestisida organofosfat tersebut, sehingga terjadi penumpukan substrat asetilkolin pada sel efektor. Keadaan ini dapat menyebabkan gangguan fungsi saraf.

Pemaparan pestisida terhadap petani dapat melalui kulit, sistem pernapasan maupun oral. Selanjutnya dijelaskan akibat pemaparan pestisida golongan organofosfat dan karbamat dapat menimbulkan keracunan yang bersifat akut, efek sistemik biasanya timbul setelah 30 menit terpapar melalui inhalasi; 45 menit setelah tertelan (ingested); 2 - 3 jam setelah kontak dengan kulit.

Gejala yang ditimbulkan dari keracunan pestisida golongan karbamat antara lain: timbulnya gerakan otot tertentu, pupil atau mata menyempit menyebabkan penglihatan kabur, mata berair, mulut berbusa dan berair liur banyak, sakit kepala, pusing, keringat banyak, detak jantung sangat cepat, mual, muntah-muntah, kejang perut, mencret, sukar bernafas, otot tidak dapat digerakkan atau lumpuh dan pingsan. Mekanisme terjadi keracunan adalah pestisida berikatan dengan enzim dalam darah yang berfungsi mengatur kerja saraf, yaitu kolinesterase. Apabila kolinesterase terikat atau dihambat, maka enzim tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam tubuh terutama meneruskan untuk mengirimkan perintah kepada otot-otot tertentu, sehingga otot-otot bergerak tanpa dapat dikendalikan. Karena karbamat cepat terurai di dalam tubuh, maka proses menghambat enzim kolinesterase ini berlangsung singkat.


Referensi:

Dewi Oka. 2007. Biomarker pencemaran insektisida organofosfat dalam tanah pertanian.
Sutikno S. 1992. Dasar-Dasar Pestisida dan Dampak Penggunaannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Pohan, Nurhasmawaty. 2004. Pestisida dan Pencemarannya. Universitas Sumatera Utara.

Komentar