Dalam transaksi modern sekarang ini, sistem keuangan yang dikembangkan oleh Negara-negara barat adalah dengan menggunakan uang kertas. Efek samping yang dirasakan dalam kegiatan ekonomi yang menjadikan uang sebagai alat transaksi adalah nilainya akan berubah dalam setiap kurun waktu yang berbeda karena nilainya akan mengalamai penyusutan (terdepresiasi). Hal inilah yang membuat uang kertas dapat dipergunakan sebagai alat komoditi perdagangan, ini adalah kehancuran nilai mata uang yang dijadikan sebagai sarana spekulasi, dan ini akan menyebabkan nilai mata uang (yang notabene berubah waktu tersebut) atau dikenal dengan time value of money akan jatuh. Jatuhnya nilai mata uang akan menyebabkan kehancuran dan krisis dalam perekonomian suatu negara secara nasional.
Ketika krisis ekonomi datang bertubi-tubi, kesenjangan sosial semakin lebar, bencana ekonomi seolah menjadi keniscayaan. Era baru ekonomi dan keuangan dunia yang ditandai oleh kemapanan fiat money, fractional reserve requirement, dan interest dianggap sebagai tiga pilar penting dalam sistem moneter konvensional. Disebut era baru karena penggandaan uang begitu dahsyatnya sehingga pertumbuhan sektor riil akan selalu tertinggal dari lompatan pertumbuhan sektor moneter.
Masalah krisis keuangan dan inflasi
Ketika krisis ekonomi datang bertubi-tubi, kesenjangan sosial semakin lebar, bencana ekonomi seolah menjadi keniscayaan. Era baru ekonomi dan keuangan dunia yang ditandai oleh kemapanan fiat money, fractional reserve requirement, dan interest dianggap sebagai tiga pilar penting dalam sistem moneter konvensional. Disebut era baru karena penggandaan uang begitu dahsyatnya sehingga pertumbuhan sektor riil akan selalu tertinggal dari lompatan pertumbuhan sektor moneter.
Masalah krisis keuangan dan inflasi
Ketika interaksi keuangan (moneter) dunia berjalan berdasar sistem mata uang emas, dunia hidup dalam tahapan yang mapan, perekonomian dan keuangan stabil. Ketika sistem pertukaran berbasis emas lenyap, mulailah kekacauan keuangan terjadi hingga meredup dan terabaikannya kesepakatan Bretton Woods. Setelah itu, lenyaplah sistem pertukaran berbasis emas, dan transaksi berjalan hanya menggunakan fiat money. Akibatnya, kondisi keuangan berambah buruk. Akhirnya, krisis semakin cepat terjadi dan menyatu dengan krisis yang lain.
Perjanjian Bretton Woods pada tahun 1944 menekankan bahwa perekonomian utama di dunia akan beroperasi pada pertukaran yang tetap dan berbasis emas senilai U$ 35 per ons, sementara kurs lainnya akan diselaraskan dengan dolar (dan secara tidak langsung selaras dengan emas). Sistem ini dioperasikan secara efektif hingga Richard Nixon secara unilateral mengeluarkan AS dari standar emas pada 1971 dan menggunakan sistem kurs mengambang tanpa dukungan standar emas maupun benda lainnya. Seiring kebijakan ini, suplai dolar AS di seluruh dunia menggelembung dan inflasi tahunan meningkat dari 2% rata-rata pada abad ini hingga ke angka 6% dan mencapai puncaknya sebesar 20% dibeberapa negara.
Perjanjian Bretton Woods pada tahun 1944 menekankan bahwa perekonomian utama di dunia akan beroperasi pada pertukaran yang tetap dan berbasis emas senilai U$ 35 per ons, sementara kurs lainnya akan diselaraskan dengan dolar (dan secara tidak langsung selaras dengan emas). Sistem ini dioperasikan secara efektif hingga Richard Nixon secara unilateral mengeluarkan AS dari standar emas pada 1971 dan menggunakan sistem kurs mengambang tanpa dukungan standar emas maupun benda lainnya. Seiring kebijakan ini, suplai dolar AS di seluruh dunia menggelembung dan inflasi tahunan meningkat dari 2% rata-rata pada abad ini hingga ke angka 6% dan mencapai puncaknya sebesar 20% dibeberapa negara.
Dengan sistem tersebut, negara-negara di dunia akhirnya tergantung pada belas kasihan Amerika Serikat. Amerika mengatasi kekosongan anggaran belanja negara-negara tersebut dengan mencetak (menerbitkan) uang kertas dolar semu, yakni tanpa adanya back up emas yang cukup.
Setiap kali pencetakan uang dolar bertambah, kemungkinan dipertukarkannya dolar dengan emas semakin kecil. Inilah yang benar-benar terjadi setelah perang Dunia Kedua dan setelah diterapkannya Marshall Plan. Akhirnya, AS lalu membatalkan pertukaran seluruh dolar yang beredar dengan emas. Amerika mengharuskan pertukaran dolar yang beredar di luar negeri saja, tetapi tidak bagi dolar yang beredar di dalam negeri AS. Akibatnya, muncul krisis. Sebab, keberadaan emas hanya cukup untuk menutupi jumlah dolar yang beredar di luar negeri saja. Akan tetapi, kemampuan itu semakin berkurang hingga terjadi krisis berikutnya pada tahun 1961 hingga 1965, yakni ketika emas yang ada pada simpanan Amerika tidak lagi mencukupi untuk mengganti dolar yang beredar di luar negeri sesuai dengan harga yang ditetapkan dalam pertemuan Bretton Woods. Akibatnya, nilai persediaan dolar negara-negara di dunia jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai nominalnya, sehingga terjadi keguncangan perekonomian dunia.
AS mengalami defisit antara Januari 1958 hingga Desember 1960 sekitar U$ 4 miliar dari pengeluaran emasnya. Ini merupakan akibat dari pertambahan nilai dolarnya di luar negeri. Akibatnya, kepercayaan terhadap dolar menurun, yang mendorong terjadinya peningkatan permintaan cadangan emas dan permintaan pertukaran dolar dengan emas. Akhirnya, pembiayaan anggaran belanja Amerika dengan dolar berlangsung tanpa disertai lagi dengan adanya cadangan emas. Akibat penurunan cadangan emas terhadap dolar, AS meminta bantuan negara-negara di Dunia untuk membantunya.
Kemudian disepakati untuk menggalakkan pengumpulan emas, dan pelaksanaannya dengan jalan jika harga emas meningkat karena suatu sebab (kondisi) di pasar, bank segera mengintervensi secara tunai dengan mengucurkan emas untuk membeli dolar, dengan tujuan mengembalikan tingkat harga kurs dolar terhadap emas ke tingkat harga kesetimbangan. Sebaliknya, jika harga menurun, Bank Sentral segera membeli sejumlah emas untuk menaikkan tingkat harga semula.
Hal itu berlangsung selama beberapa tahun. Akan tetapi, secara perlahan terjadi saling intervensi ke pasar sebagai bentuk penawaran, khususnya antara tahun 1965 hingga berakhir pada 17 pebruari 1968. Hal itu menjadi perkara yang melemahkan pencetakan emas di negara-negara anggota. Perancis terseret krisis pada bulan Juni 1967. Krisis semakin cepat. Poundsterling terseret pada musim gugur tahun 1967. Kemudian terjadi krisis emas pada tahun 1968. Kedua krisis itu menyebabkan penurunan cadangan emas negara-negara di dunia selama enam bulan sebesar U$ 2,5 miliar.
Selanjutnya, terjadi pertemuan di Washington pada 17 Maret 1968. Dalam pertemuan itu disepakati penghapusan cadangan emas, dan membiarkan harga emas bebas dan berubah-ubah sesuai dengan kekuatan penawaran dan permintaan. Krisis emas yang disebutkan terdahulu itu menyebabkan berkurangnya pencetakan emas di Amerika, dari U$ 14 miliar pada tahun 1965 menjadi U$ 10,48 miliar pada bulan maret 1968, yakni tatkala cadangan emas dihapus. prosentase emas Amerikauntuk krisis, pada saat itu adalah batas jumlah terendah sesuai dengan yang dinyatakan undang-undang sebagai nisbah cadangan emas dalam negeri terhadap dolar (yaitu 25%).
Selanjutnya Asmenghapus penukaran dolar yang dimiliki untuk pecahan tertentu di luar negeri terhadap emas, dan membatasi penggantiannya dengan emas hanya untuk ekspor luar negeri yang resmi saja. Artinya, cadangan dolar emas di dalam negeri (25%) telah disembunyikan (disimpan). Akan tetapi, AS belum mampu memenuhi penggantian pengeluaran resmi luar negeri akibat impor dan ekspor pecahan khusus. Demikian juga transaksi pecahan yang umum dalam hubungan internasional dengan negara lain. Atas dasar ini, AS menetapkan penghapusan sistem pertukaran emas secara sempurna tahun 1971.
Selanjutnya Asmenghapus penukaran dolar yang dimiliki untuk pecahan tertentu di luar negeri terhadap emas, dan membatasi penggantiannya dengan emas hanya untuk ekspor luar negeri yang resmi saja. Artinya, cadangan dolar emas di dalam negeri (25%) telah disembunyikan (disimpan). Akan tetapi, AS belum mampu memenuhi penggantian pengeluaran resmi luar negeri akibat impor dan ekspor pecahan khusus. Demikian juga transaksi pecahan yang umum dalam hubungan internasional dengan negara lain. Atas dasar ini, AS menetapkan penghapusan sistem pertukaran emas secara sempurna tahun 1971.
Dari uraian sebelumnya jelas betapa kejam krisis akibat sistem pertukaran yang dipakai. Dengan sistem keuangan seperti itu, negara pemilik uang cetakan bisa terseret ke dalam krisis perekonomian dunia akibat pencetakan dollar tambahan untuk menutupi sejumlah kepentingannya secara khusus. Negara lain akhirnya terseret arus untuk ikut menyelesaikan kelemahan neraca anggaran Amerika. Belum lagi dengan adanya penentangan terhadap keputusan pemerintas AS untuk menghapus penggantian uangnya (yaitu mata uang dolar menjadi cadangan luar negeri) dengan emas, baik sebagian atau keseluruhannya. Hal itu menyebabkan cadangan negara-negara lain berupa dolar menurun hingga mempengaruhi strategi perekonomian negara.
Charles de Gaule, Presiden Perancis kala itu mengingatkan hal itu dalam ceramahnya yang terkenal pada 14 Pebruari 1965, bahwa dolar dulu di backup dengan nilai yang lemah, yaitu (emas sebesar) 20%. Seandainya negara-negara ingin menukar cadangan devisanya yang berbentuk dolar dengan emas, sesuai harga resmi, AS tidak akan sanggup memenuhinya, sementara, sesuai dengan ketentuan sistem emas, penggantian itu wajib dilakukan.
Uang itu sendiri sesungguhnya bukanlah kekayaan, melainkan hanyalah satuan yang digunakan untuk mengukur kekayaan, yang tergantung kepada kontrol volumenya. Jika Bank Sentral membanjiri pasar finansial dengan mencetak lebih banyak uang (meningkatkan likuiditas), jelas tidak ada pertambahan kekayaan di situ. Ini dapat meningkatkan transaksi finansial namun juga menciptakan atau bahkan menghancurkan nilai kekayaan tergantung kepada berbagai faktor, misalnya inflasi. Di dalam ekonomi riil, kekayaan dihasilkan melalui penciptaan aset keras yang produktif semacam pertanian, barang produksi dan sebagainya, yang kemudian dijual untuk menunai laba. Kekayaan pun bisa ditingkatkan dengan meningkatkan produksi. Misalnya Kita memproduksi lebih banyak barang dan jasa lalu menjualnya untuk memperoleh laba lebih banyak.
Uang itu sendiri sesungguhnya bukanlah kekayaan, melainkan hanyalah satuan yang digunakan untuk mengukur kekayaan, yang tergantung kepada kontrol volumenya. Jika Bank Sentral membanjiri pasar finansial dengan mencetak lebih banyak uang (meningkatkan likuiditas), jelas tidak ada pertambahan kekayaan di situ. Ini dapat meningkatkan transaksi finansial namun juga menciptakan atau bahkan menghancurkan nilai kekayaan tergantung kepada berbagai faktor, misalnya inflasi. Di dalam ekonomi riil, kekayaan dihasilkan melalui penciptaan aset keras yang produktif semacam pertanian, barang produksi dan sebagainya, yang kemudian dijual untuk menunai laba. Kekayaan pun bisa ditingkatkan dengan meningkatkan produksi. Misalnya Kita memproduksi lebih banyak barang dan jasa lalu menjualnya untuk memperoleh laba lebih banyak.
Jika kita memenuhi pasar finansial dengan uang, maka kita akan menciptakan inflasi. Ini karena ada lebih banyak uang yang beredar digunakan untuk membeli sejumlah barang yang jumlahnya tetap, sehingga menurunkan nilai uang, dan barang yang hendak dipertukarkan menuntut lebih banyak uang untuk barang yang sama pada periode waktu tertentu. Misalnya, sepiring bakso kini harganya mencapai 800% lebih mahal dibandingkan 15 tahun lalu, ini karena nilai uangnya sendiri yang menurun. Pada saat yang sama, sejumlah aset semacam properti, tanah, atau emas tidak akan berkurang karena semuanya menyimpan nilai intrinsik yang tetap sama sepanjang masa, namun karena nilai uang kertas menurun, efeknya akan terasa pada daya beli (kemampuan uang untuk membeli barang dan jasa) lebih rendah, sehingga dalam makna yang sesungguhnya, kekayaan pun menurun, karena uang menurun nilainya, jika dibandingkan dengan aset tak bergerak yang riil.
Dewasa ini kita telah menyaksikan bahwa kemampuan orang untuk menyimpan terus menurun dari waktu ke waktu, terlepas dari fakta bahwa kita memperoleh lebih banyak pendapatan dibanding sebelumnya. Daya beli uang telah menurun dalam wujud nyata karena nilai aset pada umumnya tetap sama, namun jumlah uang yang diperlukan untuk membeli berbagai aset tak bergerak (tanah, properti, barang) meningkat. Dengan kata lain, masyarakat di zaman sekarang memiliki lebih sedikit simpanan dibandingkan masyarakat pada dua dekade lalu. Inflasi merupakan peningkatan harga secara keseluruhan dalam sistem ekonomi. Pada umumnya, hampir semua negara menentukan 2000 macam benda yang esensial dan membandingkan seluruh harganya dengan harga pada periode lain untuk mengamati pergerakan harga. Masalah fundamental yang ditimbulkan oleh naiknya inflasi adalah karena inflasi mengurangi daya beli masyarakat.
Jika harga-harga naik dan pendapatan tetap tidak berubah, maka jumlah pembelian yang dapat dilakukan pada masa sebelum kenaikan harga lebih tinggi dari saat harga telah naik. Karena itu, ekonomi mungkin mengalami peningkatan seiring kenaikan harga, namun laju inflasi yang meningkat sebenarnya berarti melemahnya keadaan masyarakat. Inflasi akan senantiasa menjadi masalah di barat karena mereka dapat mencetak uang sesuka hati. Hal tersebut juga akan terjadi di berbagai negara.
Kemampuan mencetak uang sesuka hati memicu efek penurunan dalam ekonomi. Asetaset semacam tanah dan property memiliki nilai intrinsik, namun karena efek pencetakan uang, jumlah aset semacam itu yang dapat dibeli seseorang terus menurun nilainya. Apa yang kita temukan karena uang dapat dicetak sesuka hati, pemerintah mencetak uang secara berkala. Uang tersebut kemudian dipakai membeli barang yang jumlahnya sama. Efek lanjutan dari masalah ini adalah walau ada banyak uang dalam sistem ekonomi, daya beli (kemampuan uang untuk mengimbangi barang dan jasa) jatuh, dan karenanya dalam istilah riil, kekayaan selalu menurun akibat uang terdevaluasi (nilainya menurun).
Kemampuan mencetak uang sesuka hati memicu efek penurunan dalam ekonomi. Asetaset semacam tanah dan property memiliki nilai intrinsik, namun karena efek pencetakan uang, jumlah aset semacam itu yang dapat dibeli seseorang terus menurun nilainya. Apa yang kita temukan karena uang dapat dicetak sesuka hati, pemerintah mencetak uang secara berkala. Uang tersebut kemudian dipakai membeli barang yang jumlahnya sama. Efek lanjutan dari masalah ini adalah walau ada banyak uang dalam sistem ekonomi, daya beli (kemampuan uang untuk mengimbangi barang dan jasa) jatuh, dan karenanya dalam istilah riil, kekayaan selalu menurun akibat uang terdevaluasi (nilainya menurun).
Emas dan perak solusi masalah inflasi
Sistem mata uang emas dan perak (gold and silver standard) adalah penggunaan emas dan perak sebagai standar satuan uang. Kedua logam tersebut dapat digunakan sebagai mata uang tanpa batasan bentuk. Sistem ini telah dikenal sejak zaman dulu dan dipergunakan di dalam negara Islam. Di beberapa negara, sistem tersebut telah menjadi satu-satunya sistem uang utamanya. Bahkan sistem uang perak tersebut tetap dipakai di Indocina hingga tahun 1930, pada tahun yang sama qirsy emas telah diganti dengan qirsy perak.
Dalam pemerintahan Islam, Rasulullah saw. Telah menggunakan mata uang tersebut dalam berbagai muamalah saat itu. Keduanya beredar di masyarakat meski belum memiliki bentuk baku. Rasulullah saw. Saat itu tidak pernah mencetak uang tertentu dengan ciri khas tertentu. Sebab, yang menjadi standar mata uang ini bukanlah ukuran, ukiran ataupun bentuknya, tetapi berat masing-masing satuan uang. Kondisi semacam ini berlangsung terus sepanjang hayat Rasulullah saw., masa khulafaur Rasyidin, pada awal masa Bani Umayyah hingga masa Abdul Malik bin Marwan, Abdul Malik kemudian melihat perlunya mengubah emas dan perak-baik yang sudah diukir atau belum yang dipergunakan dalam transaksi, ke dalam cetakan dan ukiran Islami; kemudian dibentuk dalam satu timbangan yang tidak berbeda-beda, serta berbentuk barang yang tidak perlu lagi ditimbang. Lalu beliau mengumpulkan mulai yang besar, kecil, dan cetakan ke dalam satu timbangan Makkah. Setelah itu, Abdul Malik mencetak dirham dari perak dan dinar dari emas. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun ke-75 Hijriah. Sejak tanggal itulah uang Islam menjadi khas mengikuti satu ciri khas yang tidak berbeda-beda lagi.
Dalam pemerintahan Islam, Rasulullah saw. Telah menggunakan mata uang tersebut dalam berbagai muamalah saat itu. Keduanya beredar di masyarakat meski belum memiliki bentuk baku. Rasulullah saw. Saat itu tidak pernah mencetak uang tertentu dengan ciri khas tertentu. Sebab, yang menjadi standar mata uang ini bukanlah ukuran, ukiran ataupun bentuknya, tetapi berat masing-masing satuan uang. Kondisi semacam ini berlangsung terus sepanjang hayat Rasulullah saw., masa khulafaur Rasyidin, pada awal masa Bani Umayyah hingga masa Abdul Malik bin Marwan, Abdul Malik kemudian melihat perlunya mengubah emas dan perak-baik yang sudah diukir atau belum yang dipergunakan dalam transaksi, ke dalam cetakan dan ukiran Islami; kemudian dibentuk dalam satu timbangan yang tidak berbeda-beda, serta berbentuk barang yang tidak perlu lagi ditimbang. Lalu beliau mengumpulkan mulai yang besar, kecil, dan cetakan ke dalam satu timbangan Makkah. Setelah itu, Abdul Malik mencetak dirham dari perak dan dinar dari emas. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun ke-75 Hijriah. Sejak tanggal itulah uang Islam menjadi khas mengikuti satu ciri khas yang tidak berbeda-beda lagi.
Kedua logam ini dapat digunakan secara bersamaan karena sistem uang emas pada dasarnya sama seperti sistem uang perak. Negara Islam sejak Rasulullah saw. Hijrah telah mengambil kebijakan berdasarkan standar uang emas dan perak secara bersama sama, tanpa adanya pemisahan. Karenanya, kebijakan moneter tetap harus senantiasa berpijak pada standar emas dan perak tersebut secara bersamaan. Uang yang beredar di masyarakat harus berupa emas dan perak, baik diwujudkan dalam bentuk fisik emas dan perak atau mempergunakan uang kertas dengan jaminan emas dan perak yang disimpan di tempat tertentu semisal bank sentral.
Sistem berbasis emas sebenarnya menjamin kestabilan nilai tukar. Kesatuan keuangan untuk semua negara dengan sistem emas atau uang kertas subtitusi yang secara sempurna bisa dipertukarkan dengan emas pada waktu yang sama. Karena itu, harga tukar antara uang suatu negara dengan uang negara lain menjadi stabil karena terikat dengan emas yang sama nilainya dan sudah dikenal luas. Dinar Islam, misalnya, adalah 4,25 gram emas; poundsterling Inggris sesuai dengan ketentuan undang-undangnya, yaitu 2 gram emas murni; franc Perancis setara dengan 1 gram emas murni. Dengan demikian, harga tukar atau kurs menjadi stabil. Jadi, kurs pertukarannya adalah dua dinar Islam dapat ditukar dengan sembilan franc Perancis atau dengan 4,5 poundsterling Inggris. Kurs pertukaran ini akan tetap, karena hakikatnya adalah menukarkan emas dengan emas. Sistem ini mewujudkan kemantapan dan kestabilan nilai mata uang, baik untuk dalam negeri maupun luar negeri. Buktinya, harga emas pada tahun 1910 adalah sama dengan harga emas pada tahun 1890.
Sistem berbasis emas sebenarnya menjamin kestabilan nilai tukar. Kesatuan keuangan untuk semua negara dengan sistem emas atau uang kertas subtitusi yang secara sempurna bisa dipertukarkan dengan emas pada waktu yang sama. Karena itu, harga tukar antara uang suatu negara dengan uang negara lain menjadi stabil karena terikat dengan emas yang sama nilainya dan sudah dikenal luas. Dinar Islam, misalnya, adalah 4,25 gram emas; poundsterling Inggris sesuai dengan ketentuan undang-undangnya, yaitu 2 gram emas murni; franc Perancis setara dengan 1 gram emas murni. Dengan demikian, harga tukar atau kurs menjadi stabil. Jadi, kurs pertukarannya adalah dua dinar Islam dapat ditukar dengan sembilan franc Perancis atau dengan 4,5 poundsterling Inggris. Kurs pertukaran ini akan tetap, karena hakikatnya adalah menukarkan emas dengan emas. Sistem ini mewujudkan kemantapan dan kestabilan nilai mata uang, baik untuk dalam negeri maupun luar negeri. Buktinya, harga emas pada tahun 1910 adalah sama dengan harga emas pada tahun 1890.
Dinar dan dirham telah lama diketahui bebas dari inflasi. Orang-orang yang melawan upaya mengembalikan dinar dan dirham sebagai mata uang berpendapat bahwa emas sebagai komoditas juga mengalami inflasi, sebagaimana yang terjadi selama impor besar-besaran emas dari Afrika Selatan ke Spanyol. Meski demikian, data inflasi uang selama 150 tahun adalah kurang dari 0,1%. Peningkatan harga pada tahun-tahun berikutnya bukan karena pengaruh logam tersebut, tapi karena pengaruh introduksi “mata uang kredit” dengan menjadikan fiat money sebagai pengganti mata uang real. Inilah alasan mengapa spanyol yang telah menerima demikian banyak emas menjadi negara miskin dibandingkan dengan Eropa barat yang begitu cepat berekspansi dan memanipulasi dengan “mata uang kredit”
Ketika syariah Islam mengatur mata uang dengan emas dan perak, hal itu bisa diperuntukkan untuk dua hal: pertama, untuk jenis uang yang dipergunakan dalam melakukan transaksi, baik berupa tembaga, kertas uang atau lainnya, asalkan mempunyai penjamin berupa emas dan perak. Kedua, untuk emas dan perak itu sendiri. Dengan demikian, uang jenis apapun, baik emas maupun perak, uang kertas, tembaga, maupun yang lain dapat digunakan sebagai mata uang selama memungkinkan untuk ditukarkan menjadi emas dan perak karena emas dan peraklah yang menjadi standar. Standar uang yang pernah dibuat dan masyhur pada masa Rasulullah saw. Adalah ”uqiyyah, dirham, daniq, qirath, mitsqal, dan dinar. Apapun jenis dan penamaannya, semua jenis standar uang tersebut selalu dibuat dengan emas dan perak. Inilah yang digunakan oleh masyarakat Islam saat dalam melakukan transaksi.
Referensi:
Yusanto, M. Ismail dan M. Arif Yunus. 2009. Pengantar Ekonomi Islam. Bogor: Al Azhar.
Harwood, Jamal. 2009. Membedah Krisis Keuangan Global. Bogor: Pustaka Thoriqul Izzah.
Ibrahim, Ida Musdafia. 2014. Kaidah Fikih Dalam Mengatasi Transaksi yang Mengalami Inflasi, Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, 4 (1): 1-16.
Referensi:
Yusanto, M. Ismail dan M. Arif Yunus. 2009. Pengantar Ekonomi Islam. Bogor: Al Azhar.
Harwood, Jamal. 2009. Membedah Krisis Keuangan Global. Bogor: Pustaka Thoriqul Izzah.
Ibrahim, Ida Musdafia. 2014. Kaidah Fikih Dalam Mengatasi Transaksi yang Mengalami Inflasi, Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, 4 (1): 1-16.
Komentar
Posting Komentar